TITIK TEMU
[16] Dunia sempit!
____________________
Shena melangkahkan kakinya pelan ke arah hall sekolah barunya. Ada perasaan tidak suka karena dilihat dengan tidak biasa oleh orang-orang disekitarnya. Memang dia menarik perhatian, tetapi bisakah mereka pura-pura tidak memperhatikan dirinya. Ingin sekali Shena bilang kepada mereka semua jika dirinya merasa risih dilihat seperti itu. Namun dia memilih untuk diam, mengingat dengan baik apa yang Simon sempat sampaikan kepada dirinya sebelum keluar dari mobil tadi. Shena tidak mau sekolah di luar negeri dengan alasan apapun. Dia tidak ingin meninggalkan rumahnya atau seseorang yang berada dekat dengannya.
Papinya memang orang yang sangat tegas terhadap dirinya. Mungkin kali ini, gertakan tentang sekolah di luar negeri bukan hanya sekedar omong kosong. Apalagi setelah masalah yang Shena sebabkan beberapa bulan lalu dan membuatnya harus pindah ke sekolah ini. Masalah yang terus dia tutupi rapat-rapat dari orang-orang dan mungkin masalah yang akan terus menjadi luka untuknya sendiri. Shena menghela napas beberapa kali dan menatap sekolah barunya. Ya, tidak terlalu buruk. Tetapi tidak ada satupun orang yang dikenalnya di sini. Semuanya terasa baru.
Toh, selama di sekolah lama pun, Shena tidak mempunyai teman. Baginya, teman hanyalah orang yang akan menusuknya dari belakang jika lengah. Definisi teman untuk Shena bukanlah hal yang manis. Seperti yang selalu dikatakan oleh orang-orang pada umumnya. Jadi, Shena tidak berharap mempunyai teman. Lagipula untuk apa?
"Shena..."
Shena menoleh ke belakang ketika namanya dipanggil. Seingatnya, dia tidak punya kenalan di sekolah ini. Jangankan kenalan, suara ini saja tidak atau mungkin jarang dirinya dengar. Suara seorang cowok yang melambaikan tangannya ke arahnya saat ini. Membuat perhatian banyak orang terarah kepada mereka berdua. Ah, mungkin ada orang lain yang namanya sama dengannya. Nama Shena 'kan termasuk umum.
"Shena," ucap cowok itu sekali lagi. Kali ini di depannya. "Lo Shena, 'kan? Ingat gue enggak? Rainbow cafe?" Tanyanya dengan wajah sumringah.
Shena mengerutkan keningnya, mencoba untuk mengingat-ingat siapa orang yang berada di depannya ini. Cowok ini memang tidak asing, terlebih ada nama sebuah tempat yang rasanya haram untuk Shena pijaki lagi, Rainbow cafe. Walaupun jujur saja, racikan americano itu paling enak dan pas di lidahnya. Shena ingat, ingat siapa cowok di depannya ini.
"Si barista itu?" Tanya Shena memastikan.
"Nandan, panggil aja Nandan." Ucap cowok bernama Nandan itu dengan menyodorkan tangan kanannya ke arah Shena.
Dengan ragu, Shena menjabat tangan Nandan yang terlihat ramah kepada dirinya. Jujur saja, Shena tidak pernah mendapatkan perlakuan menyenangkan seperti ketika Nandan menyapanya. Shena merasa cukup senang walaupun dia perlu untuk menjaga jarak. Shena hanya tidak suka terlalu dekat dengan orang lain.
"Lo anak baru?" Tanya Nandan antusias.
Shena mengangguk, "Lo kelas apa?"
Nanda tersenyum sumringah, Shena mau bertanya balik kepadanya. Ah, rasanya sangat menyenangkan saat melihat bidadari cantik sepagi ini di sekolah ini. Nandan sudah lama tak melihat Shena di manapun. Dan Tuhan mempertemukan mereka di sekolah.
"Apa ini namanya takdir?" Batin Nandan dalam hati dengan wajah sumringahnya.
"Nan-dan," panggil Shena dengan nada sedikit keras.
"Hah?" Kaget Nandan. "G-gue kelas sebelas IPA-1. Lo udah tahu masuk kelas apa?" Tanya Nandan.
Shena menggeleng pelan, "katanya harus datang ke TU dulu. Gue juga enggak tahu tempatnya di mana."
"Wah, kebetulan banget. Gue mau persiapan alat-alat buat upacara juga. Gue anterin dulu deh ke TU." Tawar Nandan kepada Shena.
Dengan bingung, akhirnya Shena mengangguk saja. Toh, dia tidak kenal dengan siapapun di sini. Mereka juga sering menatapnya dengan tatapan aneh. Mungkin sebagian mengagumi kecantikan Shena, sebagian lagi mulai nyinyir karena Shena menjadi pusat perhatian sekarang. Cewek itu bahkan membuat banyak cowok penasaran. Merasa ingin berkenalan dan menjadikan Shena incaran untuk dijadikan pacar.
Nandan mengantarkan Shena tepat di depan ruang TU. Cowok itu memang banyak bicara, mungkin ramah sudah menjadi bawaan sejak lahir seorang Nandan. Jadi, Shena lumayan banyak mendengarkan cerita Nandan tentang sekolah ini dan bagaimana murid-muridnya. Walaupun hanya sekilas saja.
"Gue mau ke ruangan OSIS. Nanti kalau Lo butuh bantuan, bisa minta tolong ke gue. Kita teman ya," ucap Nandan lalu berjalan mundur sambil melambaikan tangannya ke arah Shena yang masih berdiri di depan ruang TU, memandanginya.
Shena tidak menjawab ucapan Nandan, berterimakasih pun tidak. Ah, sejak kapan seorang Shena mengatakan terima kasih atau tolong. Mungkin hampir tidak pernah. Shena selalu mendapatkan apapun yang dirinya inginkan. Semua orang selalu ingin dekat dengannya dengan berbagai macam modus. Dari yang ingin berteman, mendekatinya untuk dijadikan pacar, atau memanfaatkan dirinya. Shena tidak terlalu menanggapi Nandan. Dia tidak tahu apa maksud cowok itu mendekati dirinya. Yang jelas, Shena akan menjaga jarak dengannya. Walaupun menurutnya, Nandan baik dan juga nyambung ketika diajak bicara.
Selama di TU, Shena memperhatikan keluar ruangan. Di lapangan sudah ada beberapa orang ber-almamater biru dongker. Katanya, itu adalah sekumpulan anak-anak OSIS yang sedang menyiapkan alat-alat untuk upacara bendera hari Senin. Shena melihat Nandan sedang bercanda dengan beberapa perempuan di bawah pohon.
"Cowok playboy, rupanya." Lirih Shena memberikan penilaian.
Setelah itu, Shena diajak oleh salah satu pegawai TU untuk datang ke ruang guru yang berada disamping lapangan. Mereka memperhatikan Shena yang sedang berjalan dengan santai. Cewek itu memang seperti magnet yang menarik perhatian banyak orang.
Di ruang guru pun, semuanya baik kepadanya. Mungkin nama Papinya sudah terkenal seantero sekolah. Anak dari Erlangga sang konglomerat kaya raya selalu diperlakukan bak Tuan putri. Diistimewakan dengan perlakuan manis para guru kepadanya. Shena sudah tidak mempan dengan hal-hal manis seperti ini. Toh, di sekolahnya yang lama pun begitu. Setiap kali orang lain mendengar nama Papinya, maka akan langsung baik kepadanya
"Albi," panggil seorang guru kepada cowok berompi PMR yang baru saja lewat di depan ruang guru.
Shena menatap cowok itu, cukup kaget. Mengapa dunia sempit sekali, pikir Shena dalam hati. Mereka sama-sama bertukar pandang. Namun, cowok itu tetap tenang.
"Iya, Bu." Jawab cowok itu.
"Ini Shena, anak baru di kelas kamu. Tolong kamu antarkan dia ke barisan kelasmu." Pinta guru itu kepada cowok itu.
"Hm, say—" ucapan Shena terputus ketika cowok itu memotong ucapannya.
"Please, gue banyak banyak kerjaan hari ini. Jadi jangan buang-buang waktu." Tandas cowok itu galak.
"Oh, kalian sudah saling kenal?" Tanya guru itu.
"Enggak!" Jawab mereka kompak.
Guru itu hanya mengangguk pelan lalu tersenyum, "Shena, kamu ikut Albi sekarang ya."
Dengan sangat terpaksa, Shena mengekori cowok di depannya. Cowok yang bahkan tidak membuka mulutnya sama sekali walaupun mereka berjarak sangat dekat seperti ini. Shena dengar, namanya Albi. Cowok menyebalkan pemilik cafe itu. Shena kira, Albi sudah tidak sekolah lagi. Tetapi ternyata? Shena salah terka.
"Itu barisan kelas sebelas IPA-1." Ucap Albi sambil menunjuk ke arah sebuah barisan.
Bukannya berterimakasih, Shena langsung melenggang pergi.
"Cewek sinting!" Umpat Albi lalu melangkah ke arah pinggir lapangan.
Dunia sempit sekali!
•••••