Menikah Karena AIB

1136 Words
Tuduhan di Malam Pertama Bab 8 : Menikah Karena Aib Hari ini Mama dan Papa akan menikahkanku dengan Kak Zaki, katanya demi menutupi aib. Cih, aib! Dikira hanya mereka saja malu akan omongan orang-orang, aku lebih lagi. Kutatap perut yang kian membuncit, yang membuatku kesesahan untuk bergerak dan membuatku risau akan gerakannya di dalam sana, entah anak siapakah dia? Sungguh menyebalkan sekali takdir ini, seenaknya saja Tuhan membuatku hamil tanpa kuketahui siapa pelakunya. ‘Cekrek’ Terdengar pintu kamarku dibuka seseorang dan itu ternyata Mama yang sekarang sudah mendapat gelar nenek sihir karena sepak terjangnya sekarang, yang masih saja suka marah tak jelas. “Nak, kamu udah mandi?” tanyanya lembut. “Udah, ada apa?” Kulirik tajam dirinya yang terlihat sudah rapi. Kuraih ponsel yang ada di samping bantal dan membuka game favoritku, yang biasa kumainkan setiap detik jika sedang bosan. “Kok masih pakai daster sih? ‘Kan sebentar lagi kamu akan menikah dengan Zaki di bawah sana!” ujarnya dengan mengambil pakaian yang tadi malam diletakkannya di dalam lemariku. Aku hanya diam, dengan posisi masih duduk di atas tempat tidur sambil bermain game. “Habisi dia!” ujarku kesal karena saking menghayati game ini. “Vaulin, ayo ganti baju!” perintah Mama dengan menyodorkan gamis berwarna putih kepadaku. “Kok bajunya kayak mukena gitu? Aku nggak suka!” ketusku. “Vaulin, ayo pakai! Biar perut besarmu tak terlalu tampak, walau yang hadir hanya Pak Penghulu dan dua saksi. Ayo cepat, Mama bantu masang bajunya!” Mama mengambil ponsel di tanganku lalu menyimpannya di atas nakas. Karena malas ribut, aku menurut saja saat Mama mengganti bajuku dengan gamis yang kedodoran ini. Terserah saja, nikahnya juga sama Kakak sendiri, waktu sama Mas Yuta udah pakai kebaya bagus kok. Eh ... malah ingat mantan suami gila perawan itu lagi, cih aku benci dia! “Pakai jilbab juga?” Aku menatap jengkel Mama. “Iya, nurut aja kamu!” jawab Mama sambil memasangkan jilbab juga menepuk wajahku dengan bedak tipis dan lipstik. Taklama kemudian, Mama sudah menggandeng tanganku menuruni anak tangga yang sampai hari ini masih membuatku penasaran ingin terjun sampai ke bawah sana dengan tanpa menapakinya satu persatu. Besok-besok aku harus mencobanya, turun tangga dengan sekali lom-pat saja. “Ayo duduk di sini!” Mama menyuruhku duduk di samping Kak Zaki yang terlihat sudah rapi dengan baju koko berwarna putih juga kopiah berwarna hitam, dia terlihat seperti mau pergi sholat jumat saja, padahal perasaaan hari ini minggu. Kak Zaki terlihat fokus ke depan dan tak mau menolehku sedikit pun, mungkin sedang menghapalkan ijab kabul bohong-bohongan ini. Nikah karena untuk menutupi aib kok diseriusi begitu, aku aja santai. “Bagaimana, Pak Malik, Mas Zaki, apa bisa dimulai sekarang ijab kabulnya?” tanya pria yang sepertinya berperan sebagai penghulu dalam drama ini. “Iya, Pak Penghulu, silakan dimulai sekarang!” jawab Papa. “Hmm ... baiklah kalau begitu, prosesi ijab kabul akan segera kita mulai. Sebelumnya akan saya ingatkan lagi akan hukumnya menikahi wanita yang sedang hamil, bahwasannya ... sang suami belum boleh menggauli istrinya sampai sang istri melahirkan dan menikah kembali saat anaknya telah lahir. Pak Malik juga sudah menjelaskan tentang status masa iddah Mbak Vaulina yang sebenarnya akan habis setelah melahirkan nanti, akan tetapi karena sesuatu hal ... maka pernikahan ini harus tetap dilaksanakan. Saya juga berani melakukan hal ini berdasarkan permintaan Pak Malik dan Saudara Zaki sendiri,” jelas Pak Penghulu yang menurutku hanya basa-basi membuang waktu saja, aku capek duduk seperti ini, enaknya itu selonjoran. “Iya, Pak Penghulu, saya yang akan menanggung semuanya. Semua demi kebaikan putri saya, karena ini masa-masa sulit baginya juga kami,” jawab Papa dengan wajah yang menurutku hanya pura-pura sedih. Pak penghulu mengangguk dan bersiap menjabat tangan Kak Zaki, kakakku yang lumayan tampan tapi belum pernah punya pacar itu. Heran juga, biar diuber-uber cewek dari jaman SMA sampai kuliah, dia tetap cuek saja, nggak ada yang ditanggapin. Malahan kalau dapat kado dari para fansnya, dikasih ke aku. Setiap malam minggu juga, nyantainya ya sama aku. “Muhammad Zaki bin Hamzah (alm) saya nikah dan kawinkan engkau dengan Vaulina binti Lukman Malik dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan sebentuk cincin emas dibayar, tunai!” Ijab kabul palsu pun dimulai. “Saya terima nikah dan kawinnya Vaulina binti Lukman Malik dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan sebentuk cincin emas dibayar tunai!” “Bagaimana para saksi, sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Setelah Pak penghulu selesai membaca doa, Kak Zaki memasangkan cincin bermata love ke jari manisku dan dia memintaku mencium tangannya. Dia tersenyum senang saat aku terpaksa salim kepadanya sebab rasanya jengkel saja menjadi pemeran utama dalam drama nikah palsu ini. Aku yang sedang malas tersenyum, membuang wajah dari pandangannya. Aku itu bawaannya benci dengan semua orang, terutama bayi di dalam perutku ini. “Udah selesai ‘kan, Ma? Pinggangku sakit ini, mau selonjoran,” ujarku dengan meringis, memegangi perut juga pinggang. “Sudah selesai, Mbak Vaulin sudah bisa istirahat sekarang.” Pak Penghulu yang menjawab. Mama membantuku bangkit dan berpindah ke ruang tengah, di tempat favoritku menghabiskan waktu di kala siang yaitu dengan menonton sinetron omong kosong. “Ma, ambilin dasterku di kamar!” perintahku kepada Mama. Dia mengangguk dan menyuruh Bik Ijah yang mengambilnya ke kamarku di lantai atas, aku capek turun naik tangga, nunggu udah malam baru ke sana. “Ini, Non, dasternya.” Bik Ijah memberikan daster itu ke tanganku. Aku mengulurkan tangan ke atas, meminta bantuan kepadanya untuk bisa bangkit. Aku melangkah menuju kamar Kak Zaki, mau numpang ganti baju di kamar dia saja, sekarang ‘kan dia sudah jadi pemeran utama suami palsuku. Kami berdua akan mulai melakoni drama dengan judul ‘saudara tapi nikah’ hahhh ... kalau dibikin cerbung di KBM App pasti laku keras ini. ‘Cekrek’ Pintu kamar terbuka, padahal aku belum sempat memakai dasterku. “Ngapain kamu di sini, Dek?!” Kak Zaki terkejut dan langsung membalikkan tubuhnya menghadap pintu. “Numpang ganti pakaian, mau naik ke atas ... nggak kuat jalan aku,” jawabku dengan sambil memasang dasterku dan membiarkan saja gamis kedodoran itu tergeletak saja di lantai kamar Kak Zaki. Kulewati tubuh pria jangkung itu dan membuka pintu kamar, dia langsung menoleh ke arahku dengan menghembuskan napas. “Kenapa, Kak? Udah suami istri juga, walau hanya demi menutupi aib!” lirihku sambil melewatinya. “Bukan karena aib, Dek, tapi karena kita memang ditakdirkan untuk selalu bersama. Kak Zaki sayang sama kamu, lain kali kalau mau ganti baju, pintunya jangan lupa dikunci dulu!” Dia menarik tanganku dan membuat mata kami saling bertatapan untuk beberapa saat. Aku hanya memutar bola mata jengah, lalu menarik tanganku dari genggamannya. Kulangkahkan kaki ke dapur untuk mencari makanan sebab bawaannya selalu lapar saja. Akan tetapi, takkan kubiarkan bayi di dalam sana bisa makan enak. Akan kubuat dia kepedasan di dalam sana dengan mencemil kripik super pedas ini. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD