Peralihan Status

1231 Words
Tuduhan di Malam Pertama Bab 9 : Peralihan Status “Kak, aku numpang tidur di sini, ya? ‘Kan udah sah juga walau masih drama,” ujarku saat Kak Zaki membuka pintu kamarnya setelah gedoran heboh dariku beberapa saat yang lalu. Mama dan Papa yang ternyata ikutan keluar dari kamar dan menatap aneh ke arah kami, tumben sekali mereka akur? Aku melengos kesal. Malam ini ‘kan malam pertamaku bersama Kak Zaki, walau kami masih masa penyesuaian pergantian status, dari saudara menjadi suami-istri. Lucu, bukan? Emang, aku aja geli menjadi pemeran utama dalam drama aneh ini. Kak Zaki terlihat menghela napas panjang tapi menuntunku masuk juga dengan wajahnya yang letih. Nih suami emang nggak ada akhlak, masa dia tidur di kamarnya sendiri tanpa mengajakku tidur bersamanya. Aku ‘kan bosan kalau cuma main game sendirian di kamarku, kalau mabar mungkin akan semakin seru. “Kak, sini ponselnya kudownlodkan game kesukaan aku! Biar kita bisa mabar, adu jotos ... siapa yang menang. Capek main sendirian,” ujarku dengan mengulurkan tangan di hadapannya. “Katanya mau numpang tidur, kok malah ngajakin main game?” Dia menampal mulutnya yang menguap sembari meraih ponselnya di atas nakas. “Biar ngantuk, ya harus main game dulu!” jawabku sambil meraih ponselnya dan mencarikan game favoritku di playstore biar dia bisa main juga. Kak Zaki terlihat pasrah dengan wajah mengantuknya, padahal baru juga pukul 01.00 dini hari, dia udah tidur aja. Dasar payah! Alhasil, malam pertama kami terlewatkan dengan tanpa tertidur sedetik pun karena saking serunya permainan game kami, walau harus beberapa kali mengguncang bahu Kak Zaki karena ia tertidur sambil duduk. “Ya Allah, Dek, udah subuh ternyata, ini sih aku bisa ketiduran di kantor nanti,” keluhnya saat sudah terdengar suara azan subuh dari masjid dekat rumah. “Nggak usah ke kantor, kita tidur saja kalau gitu! Aku juga udah ngantuk ini, Kak. Ayo, sini!” Aku menguap dengan bersiap menarik selimut. “Hahh ... mana bisa gitu, bisa-bisa dipecat Papa kalau bolos, mana hari ini ada rapat penting. Kamu saja yang tidur, Kak Zaki mau mandi dan sholat subuh dulu,” ujarnya sambil beringsut dari tempat tidur. Sebelum ia turun dari tempat tidur, buru-buru kutarik ujung bajunya. “Apalagi, Dek? Tidur ah!” ujarnya sambil menoleh kepadaku lalu tersenyum jahil. “I love you, istriku sayang,” sambungnya sambil mendaratkan ciuman di dahiku yang tak sempat untuk kuhindari. Hoek ... aku mendadak mual dan menjulurkan lidah kepadanya dan disambut dengan tawa terbahak olehnya sambil turun dari ranjang. Pria berkaos putih itu meraih handuk lalu masuk ke kamar mandinya. Isshh ... Kak Zaki mah gelay, bikin jijay aja. Gitu deh orang nggak pernah mau pacaran tapi maunya langsung nikah sama mantan istri orang, noraknya kebangetan! *** “Dek, bangun! Ayo kita pergi!” Tak kuhiraukan guncangan di bahuku ini beserta suara berisiknya. “Dek, ayo kita jalan keluar!” Suaranya kembali terdengar meresahkan. “Isshh ... apaan sih, Kak? Aku itu ngantuk dan baru tidur dua menit,” jawabku asal. “Ayo bangun, lalu mandi! Kak Zaki mau ajakin kamu pergi ke suatu tempat,” ujarnya sambil menarik tanganku untuk bangun. “Kamu udah tidur setengah hari, Dek, bukannya dua menit lagi. Kakak aja udah pulang dari kantor ini,” sambungnya. “Emang mau ke mana? Perutku ini udah gede, jadi udah susah buat jalan, lagian malu juga dighibahin tetangga gara-gara hamil gede di malam pertama,” jawabku kesal. “Buruan mandi, atau mau Kakak yang mandiin!” Dia melempar handuk ke wajahku dengan sambil tersenyum nakal. “Isshh ... jijay, gelay!” jawabku sewot dan menuruti perintahnya. Aku yang kebetulan mendadak malas mandi semenjak hamil anak tak bertuan ini, memilih untuk mencuci wajah saja ketimbang mencuci seluruh tubuh. Saat aku keluar dari kamar mandi, Kak Zaki sudah tak ada lagi di kamar ini, tapi pakaianku sudah ia siapkan di atas tempat tidur. Padahal, aku ingin menggodanya, kali saja ia langsung mau ambil jatah seperti Dokter Yuta yang konyol itu. Isshh ... aku resmi membencinya, mantan suami yang kejam! Kudoakan takkan bisa punya istri yang hamil dia, karena dia memvonisku hamil di malam pertama kami, walau itu benar adanya. “Dek, udah siap belum? Ayo makan dulu!” Kak Zaki langsung menarik tanganku untuk keluar dari kamar. Dasar nggak ada sopan santunnya, main tarik aja, padahal aku belum juga sisiran ini. Huuhh ... dasar! “Bik, sisirin rambutku!” perintahku pada Bik Ijah sambil memberikan sisir di tanganku kepadanya. Wanita paruh baya itu menurut. “Ayo, Dek, buka mulutnya! Biar cepat kelar makannya, biar kita bisa cepat pergi soalnya kita kena antrian pukul 17.00,” ujarnya sambil mengulurkan sendok makanan di depan mulutku. Iisshh ... mau ke mana sih emangnya? Mencurigakan sekali, mentang-mentang aja udah ganti status jadi suami, sok romantis dia! Aku melengos kesal, tapi tetap membuka mulut juga dan menerima suapan demi suapan dari tangannya. Mungkin dia mau pencitraan jadi suami yang baik. Oke, oke, akan kuturuti maunya. Dia suami paling beruntung, dapat istri bonus anak setan! Aku menghentikan makan saat teringat dia di dalam sana yang akan kesenangan jika aku makan banyak, enak saja! “Stop, kak, aku udah kenyang!” ujarku padahal aslinya belum kenyang tapi demi menyiksa bayi tanpa ayah ini aku tak mau makan yang enak-enak. Kak Zaki langsung menuntunku untuk masuk ke mobilnya yang terparkir di halaman. Aku duduk dengan kesusahan, sebab bayi di dalam ini malah nendang-nendang tak jelas. Mau ditabok, tapi males nanti malah diomeli Kak Zaki. Dia mulai melajukan mobilnya lalu membelokkannya pada sebuah klinik bersalin. Eh, mau ngapain ke sini? Wong aku belum mau lahiran walau lupa hitungan bulannya. “Ayo turun, Sayang!” Kak Zaki mulai bikin mual lagi. “Jangan gelay deh, Kak!” Kusikut rusuknya saat dia membantuku untuk turun. Dia langsung terbahak, senang amat ternyata dia! “Mau ngapain ke sini?” tanyaku saat dia sudah menggandengku masuk. “Ya, periksain kehamilan kamulah, Dek, masa mau beli makanan.” Dia mulai ngelantur. Heran, semenjak ganti status jadi suami, Kak Zaki mulai error, suka mau ngelucu padahal nggak ada lucunya sama sekali. Dia menyuruhku untuk duduk di kursi panjang yang terdapat beberapa Ibu-ibu berperut buncit sama sepertiku, kami kayak korban busung lapar yang lagi antri jatah makan. Isshh ... aku benci hamil kayak gini, mana aku makin gendut dan jelek pula. “Ayo, Dek, sekarang sudah saatnya kita yang masuk!” Kak Zaki menghampiriku dengan sambil membantuku untuk bangkit. Aku menurut saja, pengen juga melihat wujud anak setan ini. Kak Zaki menggendeng tanganku masuk ke dalam ruangan dokter. Seorang wanita yang sepertinya pernah kulihat sebelumnya menyambut kami dengan senyumnya namun ekspresinya terlihat terkejut saat kami duduk di hadapannya. “Hmm ... selamat sore, Dokter, kami mau periksa kehamilan,” ujar Kak Zaki yang membuat sang dokter berwajah lumayan cantik itu buru-buru menundukan wajahnya dan beralih melihat buku catatan di depannya. “Ah, iya, selamat sore juga. Sama Ibu Vaulina dan Pak Zaki. Oke, kita langsung USG saja,” ujar sang dokter sambil bangkit dari kursinya dan memberikan arahan kepada asistennya untuk menyiapkan tempat tidur periksa. “Kak, dia wanita yang bersama Yuta di pantai waktu itu ‘kan?” bisikku kepada Kak Zaki. “Iya, Kakak nggak tahu kalau dia dokternya. Selingkuhan Yuta mungkin dia ini, cantikan kamu ke mana-mana kok,” jawabnya. Isshh ... masih sempat-sempatnya bercanda, padahal situasi menegangkan ini apalagi saat berhadapan dengan gundik mantan suamiku. Ternyata mereka sama-sama dokter kandungan, aku mencium sebuah konspirasi ini. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD