David membaringkan tubuhnya di sandaran kursi kerjanya begitu pasien terakhirnya hari itu keluar. Dia tidak pernah menyangka bisa kembali bertemu dengan wanita yang menjadi penguasa hatinya empat tahun yang lalu itu. Matanya perlahan terpejam seiring dengan pikirannya yang melayang ke masa lalu.
Wanita yang sangat dicintainya, bahkan David sempat berjanji dalam hatinya bahwa Sonya adalah pelabuhan cinta pertama dan terakhir dalam hatinya. Tapi itu dulu, sebelum Sonya pergi menghilang tanpa pamit atau mengucapkan kata perpisahan dengan baik padanya, sampai pada suatu hari kabar pernikahan Sonya sampai di telinganya melalui teman dekat mereka berdua.
Pintu ruangan praktek David diketuk oleh seseorang, menyadarkan David yang kemudian memperbaiki posisi duduknya.
“Masuk,” ucap David.
Dia mengira ada pasien yang tiba-tiba datang di akhir waktu prakteknya. Dia tidak pernah mempermasalahkan hal seperti itu. Baginya selama dia masih bisa membantu pasiennya, dia pasti akan selalu siap sedia.
Pintu ruangan prakteknya terbuka. Wajah cantik seorang wanita muncul dari balik pintu.
“Selamat sore, Dokter,” sapa wanita itu sambil tersenyum ke arah David.
David membalas senyum wanita itu, “Viona! Masuklah.”
Viona melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan kerja David.
“Senang melihatmu di sini, Mas,” ucap Viona sembari berjalan mendekati kursi yang sedang diduduki oleh David.
David memutar kursi kerjanya hingga menghadap ke arah Viona.
“Kamu baik-baik saja? Jangan katakan kamu menyetir mobil sendiri kesini, Viona.” David menatap tajam ke arah Viona.
Viona menyunggingkan sebuah senyuman di wajahnya sambil bersedekap. Tangannya yang terlipat di depan dadanya berhasil mengekspos dua tonjolan yang tidak sempurna tertutup oleh dress mini yang sedang di pakainya.
“Apa Mas benar-benar sedang mengkhawatirkan aku?” Viona memicingkan matanya ke arah David.
David menganggukkan kepalanya kemudian mengalihkan pandangannya dari hal yang tidak seharusnya dilihatnya walaupun si empunya pemandangan indah itu dengan sengaja menyuguhkannya.
“Tentu saja Mas mengkhawatirkanmu, Vi. Profesor Ryan baru saja berpulang dua hari yang lalu. Seharusnya kamu tetap berada di rumah bersama tante,” ucap David sembari berpura menulis sesuatu di atas berkas yang ada mejanya agar tidak terlalu memperlihatkan keengganannya melihat tampilan seksi perempuan yang berada di dekatnya itu.
“Aku bosan!”
David hanya diam tanpa tanggapan. Dia sangat tahu bagaimana karakter putri semata wayang pemilik rumah sakit tempatnya bekerja itu.
“Mas, kamu temani aku di rumah ya. Please!” ucap Viona merengek.
Sesuai dengan dugaan David, Viona pasti akan memintanya melakukan hal yang tidak-tidak.
“Mas akan mengantarkan kamu pulang. Kamu sudah makan?” tanya David sambil terus fokus pada berkas yang ada di depannya.
“Aku gak mau makan. Aku juga gak mau pulang.”
David menghelakan napasnya pelan, “Jadi kamu mau menginap di rumah sakit ini?”
“Aku mau Mas menginap di rumah.”
“Mas gak punya alasan melakukan hal itu,” jawab David.
“Lihat aku dong Mas kalau bicara. Masa lihatnya ke kertas mulu!”
David terkekeh. Viona pasti sudah menyadari bahwa dirinya sedari tadi sedang menghindar bertatapan dengannya.
“Sebentar lagi waktunya sholat maghrib. Kita sholat dulu ya.” David melihat jam yang ada di pergelangan tangannya kemudian bangkit dari tempat duduknya dan melepaskan jas putihnya.
Viona melihat gerakan David menggantungkan jas putihnya. Dia memajukan mulutnya kesal karena keinginannya tidak mendapat sambutan dari David.
“Ayo,” ajak David sembari berjalan menuju ke pintu ruangannya dan membukanya.
Viona tidak memiliki pilihan selain mengikuti keinginan David. Dia tidak ingin ditinggal di ruangan itu walaupun hal itu tidak mungkin dilakukan oleh David padanya.
David dan Viona berjalan menuju ke mesjid yang ada di dalam Rumah Sakit besar itu. Baru saja tiba di depan Mesjid, tiba-tiba seseorang memanggil nama David sambil berjalan mendekatinya.
“Dokter David!”
David dan Viona sontak melihat ke arah sumber suara.
“Dokter Ricky?” ucap David begitu melihat siapa yang memanggil namanya.
“Oh, ada Viona juga disini.” Dokter Ricky tersenyum ke arah Viona.
“Selamat malam, Dokter.”
“Malam, Viona.” Dokter Ricky menundukkan kepalanya pada putri pemilik rumah Sakit itu, “Apa ada hal penting di Rumah Sakit, Vi?”
Viona menggelengkan kepalanya, “Tidak ada, Dokter. Saya hanya ingin mengunjungi Rumah Sakit sebentar saja tadi.”
“Oh iya, Dokter David. Maaf tadi saya sedang ada operasi jadi baru melihat panggilan dan pesan dari dokter. Kebetulan juga kita bertemu di sini. Apa ada yang ingin Dokter katakan pada saya?” tanya Dokter Ricky.
“Maaf karena saya mengganggu kesibukannya, Dokter. Saya hanya ingin bertanya, apakah dokter tahu donor untuk transplantasi kornea pada anak?”
“Donor untuk transplantasi kornea?” Dokter Ricky mengernyitkan keningnya.
“Benar, Dokter. Saya tadi mendapatkan pasien dengan cacat kornea kongenital. Saya pikir ini merupakan ranah dokter selaku Dokter Mata Ahli Pediatrik Oftalmologi, karena itu saya ingin berkonsultasi dengan dokter tadi.”
“Donor mata pada anak tergolong sulit, Dokter, mengingat kita juga harus menyesuaikan umur pendonor dan resipien. Nanti saya akan cek dan mendaftarkan pasien itu di Eye Bank beberapa rumah sakit, termasuk rumah sakit kita. Tapi sebelumnya saya harus memeriksa pasiennya dulu agar bisa mendeteksi lebih jelas diagnosa dan tindakan yang dibutuhkan,” jelas Dokter Ricky.
“Tentu saja, Dokter. Nanti saya akan meminta pasien untuk berkonsultasi dengan Dokter Ricky terlebih dahulu. Sebelumnya terima kasih banyak atas solusinya, Dokter.” David tersenyum pada Dokter Ricky.
Tak lama kemudian terdengar kumandang adzan maghrib, membuat mereka terdiam sejenak.
“Sudah adzan, ayo kita sholat,” ajak Dokter Ricky.
“Mari, Dokter.”
Dokter Ricky berjalan masuk ke dalam mesjid menuju ke tempat wudhu diikuti oleh David dari belakang. Sementara Viona berdiri mematung sambil melihat ke arah David dari belakang.
“Ganteng, pintar, baik, rajin ibadah, perhatian lagi. Pasiennya aja di perhatikan sebegitunya, apalagi pasangannya nanti ya, kan? Aku akan pastikan perempuan yang beruntung itu adalah aku,” gumam Viona sambil tersenyum.
“Sholat, Vio. Ngapain berdiri disana?” tegur David yang baru saja selesai mengambil wudhunya.
“Baik, Sayang. Eh, Dokter,” ucap Vio sambil tersenyum genit ke arah David yang menggelengkan kepalanya kemudian masuk ke dalam mesjid untuk menunaikan ibadah sholat maghrib.
“Gak salah kalau mama dan papa sangat suka dengan David sejak David masih menempuh pendidikan spesialis dibawah bimbingan papa dulu. Kenapa aku harus kuliah di luar negeri sih dulu? Kan aku bisa lebih cepat mengenar dia,” celoteh Viona pada dirinya sendiri sambil berjalan menuju ke tempat wudhu.
Setelah selesai sholat maghrib, mereka segera berjalan keluar dari mesjid.
“Setelah ini jadi kan kita makan malam bareng?” tanya Viona yang berjalan di belakang David.
“Iya, jadi. Tapi selesai sholat isya aja ya. Kan nanggung waktunya. Kita ke rumah sakit sebentar. Ada yang mau Mas kerjakan sedikit,” jawab David sembari membenarkan gulungan di lengan kemejanya.
“Pikirannya ke kerjaan mulu. Kalau sudah menikah mas akan mengutamakan pekerjaan atau anak istri mas nanti?”
“Dua-duanya penting.”
“Itu pilihan, Mas. Gak bisa keduanya,” bantah Viona.
“Pasangan itu harus saling mengerti, Vi. Tidak ada yang boleh mendominasi dan ingin diutamakan. Baik suami atau istri. Yang boleh ada hanya saling mencintai dan saling menghargai.”
Viona tersenyum kemudian berjalan mengikuti David kembali menuju ke rumah sakit.
“Suster, tolong besok hubungi orangtua pasien atas nama Reyna. Minta orangtuanya datang kembali agar berkonsultasi dengan Dokter Ricky. Nama orangtuanya Sonya Fayola,” ucap David pada asistennya begitu tiba di depan ruangannya.
“Apa kamu menghapal nama semua pasienmu, Mas?” tanya Viona sambil berdiri di samping David yang sedang menuliskan sesuatu di kertas Rekam Medis.
“Tidak selalu,” jawab David sambil terus menulis.
Viona terus menatap David yang masih terus fokus pada lembaran kertas yang ada di depannya.