Babak Baru

2026 Words
Sonya melihat ke arah jam yang ada di dinding ruang tamunya. Jarum jam itu sudah menunjukkan pukul delapan malam. “Apa Mas Andra lembur lagi malam ini?” gumam Sonya sambil berjalan mondar mandir di dekat pintu rumahnya. “Apa Mas Andra tidak pulang lagi malam ini?” Sonya menghelakan napasnya. Kakinya melangkah menuju ke pintu kamar Reyna dan meniliknya sedikit dari depan pintu kamar itu, memastikan Reyna masih terlelap tidur. Tiba-tiba terdengar suara pintu rumah mereka yang terbuka. Dengan pelan Sonya kembali menutup pintu kamarnya dan segera melangkahkan kakinya menuju ke ruang depan. “Alhamdulilah, akhirnya mas pulang,” ucap Sonya smabil tersenyum melihat suaminya berjalan masuk ke dalam rumah. Andra menatap Sonya sekilas kemudian membuang muka kembali. Sonya segera mengambil tas yang sedang di pegang oleh suaminya. “Mas mau makan malam dulu atau mandi dulu?” tanya Sonya. “Tidak usah,” jawab Andra sambil berjalan menuju ke sofa ruang tamu dan duduk. Andra mengambil ponsel dari dalam saku jasnya. Netra Sonya mengikuti setiap gerakan yang dilakukan oleh suaminya itu kemudian ikut duduk di sofa yang berada di dekat suaminya. “Mas, tadi pihak rumah sakit menelponku. Mereka mengatakan bahwa Reyna masih punya kesempatan untuk melihat dengan jalan transplantasi. Besok kita diminta berkonsultasi dengan dokter pediatrik oftalmologi yang akan menangani operasi Reyna.” Andra sama sekali tidak memberikan respon apapun mengenai hal penting yang dikatakan oleh Sonya padanya. Matanya terus fokus pada layar ponselnya sambil tangannya terus mengetik sesuatu disana. “Mas denger aku kan?” tanya Sonya. Tak lama kemudian terdengar suara sebuah mobil yang berhenti di depan rumah mereka. Sebuah senyuman langsung terukir di wajah Andra dan dengan cepat dia berdiri dari tempat duduknya berjalan menuju ke pintu. Sonya langsung mengikuti suaminya dengan wajah bingung dan berjalan keluar melihat siapa yang datang ke rumah mereka malam itu. “Mama?” gumam Sonya begitu melihat sosok yang keluar dari mobil yang baru saja terparkir di halaman rumahnya. Sonya tersenyum dan langsung berjalan menyambut kedatangan ibu mertuanya itu. “Maaf Ma, tadi Andra ada meeting mendadak jadi gak bisa jemput,” ucap Andra sambil mencium tangan Ibunya. “Tidak apa-apa, Sayang. Mama mengerti kok kalau kamu sedang sibuk. Kamu kerja keras mencari uang setiap hari, bukan seperti orang tidak berguna yang hanya bisa menyusahkan dan memberikan aib di keluarga kita,” Regina, Ibunya Andra melirik tajam ke arah Sonya. Sonya tahu bahwa dia yang sedang di sindir oleh ibu mertuanya itu. Namun Sonya memilih mengabaikan rasa sakit hatinya. Dia sudah terlalu sering mendapatkan hinaan seperti itu dari keluarga suaminya. “Mama,” sapa Sonya sambil berjalan mendekati Regina dengan tersenyum. Baru saja Sonya akan mencium tangan ibu mertuanya itu, Ibu Mertuanya langsung menarik tangannya dengan kasar. “Diana, ayo sayang,” panggil Regina pada seseorang yang masih berada di dalam mobilnya. Tak lama kemudian seorang wanita dengan dandanan menor lengkap dengan pakaian seksinya keluar dari dalam mobil dan berjalan mendekati mereka. Sonya melihat wanita itu dengan tatapan bingung sekaligus tegang. Perasaannya tidak enak begitu netranya memindai penampilan terbuka wanita itu dari atas sampai ke bawah. “Mas,” ucap wanita itu sambil mencium tangan Andra, membuat Sonya seketika mengernyitkan keningnya. “Sonya, kamu bantu Pak Dirman membawa masuk koper kami ke dalam ya!” Belum sempat Sonya melontarkan pertanyaan atas apa yang dilakukan wanita itu pada suaminya, Ibu Mertuanya langsung mencercanya dengan sebuah kalimat perintah. “Baik, Ma,” jawab Sonya tersadar dari fokusnya. Semua pertanyaan yang ada di dalam pikirannya lebih baik di sampaikannya di dalam rumah saja. Membantah ibu mertuanya bukan hal yang baik. Sonya sangat paham dengan hal itu. “Oke, ayo kita masuk sayang.” Regina mengajak Diana masuk ke dalam rumah. Sonya mengira suaminya akan ikut membantunya mengangkat koper-koper itu kedalam, namun ternyata tidak. Andra ikut berjalan masuk ke dalam rumah bersama ibunya dan membiarkan Sonya mengangkat koper-koper itu bersama supir. “Kamu pasti capek kan, Sayang?” ucap Regina sambil membelai lembut kepala Diana begitu mereka duduk di sofa ruang tamu. “Sonya, buatkan minum untuk kami ya. Teh lemon hangat pakai madu,” perintah Andra begitu melihat Sonya berjalan masuk sambil menenteng dua koper di tangannya. Sonya menghelakan napasnya dengan kasar kemudian melanjutkan langkahnya masuk. “Kamu lihat istrimu itu kan? Benar-benar tidak tahu diri. Bukannya hormat pada suami yang sudah ngasih dia makan, malah main melengos begitu saja saat suami ngomong,” sindir Regina. Sonya segera melangkahkan kakinya lebih cepat agar tidak mendengar apapun lagi yang bisa menyakiti hatinya. Setelah membuatkan minuman yang di perintah oleh suaminya tadi, Sonya segera mengantarkannya ke depan. “Diminum tehnya, Bu,” ucap Sonya sambil menata teh yang di buatnya di atas meja. “Sonya, kenalkan ini Diana.” Renata memperkenalkan wanita yang di bawanya pada Sonya. Sonya mengulurkan tangannya ke arah Diana sambil tersenyum. “Dia juga istri Andra,” lanjut Regina. Senyum di wajah Sonya langsung berubah. Tangannya yang tadi menjulur ke arah Diana spontan ditariknya kembali. “A-apa mama bilang tadi? Istri Mas Andra?” mata Sonya terbelalak. Regina menghelakan napasnya dengan malas dan memutar matanya. “Kamu tuli ya? Nih Mama ulangi lagi. Diana adalah istri Andra. Istri kedua Andra. Mereka sudah resmi menikah.” Tubuh Sonya tiba-tiba kehilangan kekuatan. Dadanya terasa begitu sesak. “Apakah yang dikatakan mama barusan itu benar, Mas?” tanya Sonya dengan suara bergetar ke arah suaminya. “Benar. Mas dan Diana sudah menikah siri seminggu yang lalu.” Andra menatap Sonya dengan datar tanpa rasa bersalah sedikitpun. “Seminggu yang lalu? Bukankah waktu itu Mas bilang sedang ada tugas ke luar kota? Jadi Mas ke luar kota untuk menikah dengan Sonya?” wajah Sonya memerah karena syok. “Sudahlah, Sonya. Jangan drama deh! Wajar Andra menikah lagi. Dia juga berhak mendapatkan istri yang sempurna. Cantik, bisa merawat tubuh, bisa cari uang dan bisa memberikan anak yang sehat tanpa cacat!” sela Regina dengan ringan. Diana menggigit bibirnya beberapa saat dan mengepalkan tangannya dengan kuat, menahan gejolak emosi yang menjalar sampai ke ubun-ubunnya. “Aku juga seorang wanita yang berkarir sampai pada saat Mas Andra melamarku dan memaksaku untuk berhenti dari pekerjaanku, Ma. Aku juga wanita yang sangat terawat sampai saat Mas Andra membatasi semua kebutuhan pribadiku selama aku menjadi istrinya, dan tidak ada seorangpun yang menginginkan apa yang di derita oleh Reyna terjadi pada dirinya,” ucap Sonya dengan menatap tajam ibu mertuanya itu. “Kamu sudah berani melawan mama ya! Jangan menatap mama seperti itu, Dasar menantu kurang ajar!” bentak Renata sambil membelalak ke arah Sonya. “Ikut, Mas!” Andra menarik tangan Sonya dengan kasar dan membawannya masuk ke dalam kamar. Begitu mereka masuk di dalam kamar, Andra langsung menutup pintu kamarnya dan menguncinya. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Sonya, sukses membuat Sonya terhuyung kemudian jatuh tersungkur ke lantai. “Kurang ajar! Berani-beraninya kamu berkata lancang seperti itu di depan mamaku!” bentak Andra. Sonya memegangi pipinya yang terasa panas dan perih akibat hantaman tangan Andra. Belum lagi hilang memar di sekujur tubuh Sonya, kini Andra sudah kembali melukiskan perih itu di pipi Sonya. Sonya tertawa. Semakin lama tawanya semakin kuat. Hatinya yang terasa begitu perih membuatnya lupa bagaimana caranya menangis. “Apa yang kamu tertawakan, perempuan dungu?” Sonya menatap tajam suaminya kemudian bangkit berdiri. “Ya, benar. Aku memang terlalu dungu untuk menuruti semua ini. Aku pikir dulu kamu itu malaikat, Mas. Ternyata kamu lebih biadap dari seorang iblis!” “Kurang ajar!” Tamparan bertubi-tubi kembali menghujani wajah Sonya. Tak puas hanya dengan tamparan, Andra juga tak segan untuk menerjang tubuh lemah dan letih Sonya sampai terkulai di lantai. “Pergi kamu sekarang dari rumahku! Bawa anak cacat itu! Aku ingin lihat apa yang bisa kamu lakukan tanpa aku! Ini akibatnya jika kamu tidak menurut pada suamimu!” teriak Andra. Reyna tersentak bangun dari tidurnya dan menangis. Sonya langsung beringsut ke atas tempat tidur dan memeluk Reyna untuk menenangkannya. Andra mengambil koper dan memasukkan baju Sonya dan Reyna ke dalamnya secara asal. “Pergi kamu dari rumah ini!” “Kamu gila, Mas! Kamu tidak memikirkan bagaimana dengan Reyna?” “Persetan dengan anak cacat itu! Kamu sudah berani melawanku, maka kamu harus keluar dari rumah ini!” Andra menarik tangan Sonya keluar dari kamar kemudian melemparkan koper yang berisi baju Sonya dan Reyna keluar. Regina dan Diana berdiri dari tempat duduknya sambil tersenyum menyaksikan perbuatan kasar Andra pada Sonya. “Pergi!” ucap Andra lagi sambil membelalakkan matanya. Sonya terus menenangkan Reyna yang sedang menangis di pelukannya. Dengan cepat dilangkahkannya kakinya menuju ke sebuah meja yang ada di ruangan itu dan mengambil dompet beserta ponselnya dari atas meja. Setelah mengantongi dompet dan ponselnya, Sonya mengambil koper yang tadi dan melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu. tak ada satupun orang disana yang menghentikan langkahnya pergi. Sonya sadar bahwa kehadirannya memang tidak pernah dianggap. “Sabar ya, Sayang,” bujuk Sonya pada anaknya sambil memesan sebuah taksi dari ponselnya. Tak lama kemudian sebuah taksi datang dan berhenti di depannya. “Bisa tolong masukkan kopernya, Pak,” ucap Sonya pada supir taksi itu. “Baik, Bu.” Supir taksi itu segera keluar dan memasukkan koper Sonya ke dalam bagasinya, sementara Sonya telah masuk ke dalam mobil. “Kita ke kantor polisi terdekat dari sini ya, Pak,” ucap Sonya begitu supir taksi itu masuk ke dalam mobil. *** Keesokan paginya, David datang melakukan visit pasien rawat inap ke rumah sakit. “Dokter Ricky biasanya prakter jam berapa?” tanya David saat menulis hasil visitnya di rekam medis pasien di nurse station ruang rawat inap itu. “Jam dua siang, Dokter,” jawab seorang perawat yang mendampingi David visit hari itu. David melihat jam yang ada di pergelangan tangannya kemudian mengehlakan napasnya dengan pelan. “Baik. Semua sudah selesai. Saya akan ke ruang poli dulu.” David memberikan rekam medis pasien-pasien rawat inap yang sudah diperiksanya pagi itu. “Terima kasih, Dokter.” David berjalan menuju ke ruangan poli anak dan menghentikan langkahnya begitu bertemu dengan asistennya di sana. “Orangtua pasien atas nama Reyna kemarin sudah di beritahu kan tentang anjuran konsul ke dokter Ricky?” tanya David. “Sudah, Dokter. Ibu pasien mengatakan akan berdiskusi dengan suaminya terlebih dahulu.” David menganggukkan kepalanya, “Oke.” “Dokter David!” David melihat ke arah sumber suara yang memanggilnya. “Dokter Ricky?” “Berapa umur pasien cacat kornea kongenital yang dokter katakan kemarin?” tanya Dokter Ricky begitu berada tepat di samping David. “Suster, tolong ambilkan rekam medis Reyna Putri. Nama ibunya Sonya Fayola,” perintah David pada asistennya. “Baik, Dokter.” Perawat itu dengan cekatan memeriksa deretan rekam medis yang sudah di susunnya secara teratur sesuai abjad nama pasien. “Ini, Dokter.” Perawat itu menyerahkan sebuah berkas kepada David setelah memeriksa kecocokan nama pasien dan nama ibu pasien sesuai dengan yang di katakan David tadi. “Umurnya tiga tahun, Dokter. Silahkan jika Dokter ingin membaca riwayat pemeriksaannya.” Dokter Ricky mengambil rekam medis itu dari tangan David dan membacanya dengan cermat. “Mudah-mudahan ini memang rezeki anak ini, Dokter. Tadi saya di telpon oleh pihak eye bank Eleora International Hospital. Mereka mengatakan bahwa tersedia donor kornea untuk anak perempuan berumur tiga tahun di sana. Bisakah dokter bantu untuk menghubungi orangtua pasien itu? Donor mata pada anak sulit di dapat dan sangat dicari. Kita harus bergerak cepat karena saya hanya di beri waktu dua hari oleh rumah sakit itu,” jelas Dokter Ricky. “Baik, Dokter. Saya mengerti. Saya kan pastikan kembali pada orangtua pasien agar segera berkonsultasi pada dokter.” “Saya tunggu kabarnya, Dokter,” ucap Dokter Ricky sambil tersenyum. “Terima kasih, Dokter.” “Sama-sama, Dokter David,” jawab Dokter Ricky yang kemudian berjalan kembali menuju ke ruangannya. David membuka kembali rekam medis Reyna dan mencatat nomor ponsel Sonya yang ada di dalam rekam medis itu. “Dia masih memakai nomor ponselnya yang dulu,” batin David yang baru menyadari hal itu begitu akan menyimpan kontak Sonya di ponselnya. Nomor ponsel Sonya masih tersimpan sejak dulu di dalam ponselnya. Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya David menekan opsi dial pada layar ponselnya. “Halo?” David hampir saja menjatuhkan ponselnya karena terkejut mendengar suara wanita yang sangat di kenalnya itu. “Ha-halo Sonya,” jawab David gugup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD