s a t u

4479 Words
"Matahari udah hampir nongol. Shalat subuh dulu, De." Suara Ferdi lama-kelamaan mengganggu tidur nyenyak Windy. Pelupuk mata yang awalnya tertutup rileks kini semakin mengerut. Keningnya pun mengernyit. Menandakan tak lama lagi cewek itu akan terbangun. "Udah tau kalau nyepelein sholat itu dosa. Umur lu berapa sih? Lima tahun?" Aaarrgh! Ceramah itu lagi. Setiap pagi. Seperti kaset rusak yang benar-benar mengusik pendengaran. "Aku lagi dapet, Mas," gumam Windy. Cewek itu menarik selimutnya hingga menutupi kepala. Membungkus diri. Seperti ulat yang menjadi kepompong. Berdoa agar kakak laki-laki nomor duanya itu segera menjauh setelah mendengar alasan yang dia gumamkan. Namun ternyata, apa yang terjadi selanjutnya tak sesuai harapan. Kakaknya yang berbalut baju koko berserta sarung itu justru bersedekap. Bersandar di bibir pintu. "Emangnya kalau lagi dapet boleh kesiangan? Harus bilang apa gua sama Mas Ardi kalau lihat lu begini? Apa kata Mas Ardi dan Mama kalau anak perempuannya sekarang jadi pemalas?" Huffft! Windy benar-benar gerah jika Ferdi mengungkit perihal tanggung jawab sebagai kakak pada saudara tertua. Terlebih lagi jika terkait pada mendiang orang tuanya. Auto lose. "Iya, Mas, iyaaa. Aku bangun nih." Windy menyingkap selimutnya. Bangun dan duduk dengan mata yang masih terasa sangat berat. Mulutnya menguap lebar. Mengangkat kedua tangannya dan meluruskan kaki. Seperti kucing saja. Lalu tangannya mengusap-usap wajah yang agak berminyak, sisa-sisa krim perawatan kulitnya di malam hari. Ferdi terkekeh sendiri melihat adik perempuannya yang kini telah tumbuh dewasa itu. Tak tega melihat kondisi Windy yang sepertinya sangat kelelahan, dia berkata, "Buruan mandi. Lu nggak usah masak. Pagi ini sarapan bubur Mang Ujang depan komplek sebelah aja." Windy mengangguk-angguk lemah. Menguap lebar sekali lagi. Kemudian merenggangkan otot bahunya yang terasa kaku. "Tadi malam tidur jam berapa, De?" tanya Ferdi basa-basi setelah melirik buku-buku tebal dan alat tulis yang berserakan di lantai. Windy bergumam-gumam sendiri. Mengingat kapan dia menyerah belajar dan memutuskan untuk tidur tadi malam. "Hmm, jam dua? Atau jam tiga? Lupa. Hari ini ada mid test. Biokimia. Capek hapalin nama-nama enzim nggak jelas gitu, Mas." Ferdi tersenyum maklum. Ia menegakkan tubuhnya. Menjauh dari pintu dan memasuki kamar Windy. Kemudian duduk di tepian ranjang. "Jangan dihapal, Win. Dipahami," saran Ferdi. Masuk akal. Mata pria berumur dua puluh enam tahun itu menyipit. Terdapat kerutan tipis dan lucu pada sudut matanya. "Ngomong sih gampang! Mas kan pinter! Kita tuh beda. Apa daya otak aku yang cuma punya kapasitas kecil." Windy mengerucutkan bibir ketika Ferdi mengacak-acak rambut panjangnya. Membuat cewek itu semakin kusut. Puas dengan karyanya, Ferdian bangkit dan beranjak dari kamar Windy. Namun sebelum keluar, dia berkata, "Mandi gih. Gua ada janji. Nggak boleh telat ke kantor." Windy memutar bola matanya. Dengan malas, dia pun mengambil remote AC dan mematikan mesin penyejuk ruangan tersebut. "Eh," Ferdi menoleh ke belakang. "Jangan lupa kasurnya diberesin. Selimutnya dilipat rapiㅡ" "Iya, Mas, iyaaa! Ih, bawel banget sih!"   ¤¤¤¤   "Ajiiiib!" "Yeng puyeng puyeng pala aing, beibeh!" "Ugh! Salah! Harusnya itu Selulosa, njir!" "Au ah, nggak mau bahas lagi." "Mampus, tadi nama lu masuk BA, Nyet." "s**t, masa tahun depan gua harus ngulang lagi sih?!" "Tenang, bro, ini masih mid test." "Malam ini ada yang mau join gua tretetetet?!" "Ranggela!" "Buang stres, cuy." "Kagak bisa. Gua entar malam ikut qosidahan. Kagak bisa tretetetetet. Masih mode insyaf." Windy makin pusing mendengar obrolan teman-teman sekelasnya yang makin lama semakin tak karuan, efek selesai mid test mata kuliah sulit. Dia menunggu seseorang dari depan pintu toilet. Punggungnya bersandar pada balkon gedung fakultas. Mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kampus dari lantai tiga. Mood-nya lumayan buruk hari ini. Ujian yang baru saja berakhir benar-benar sukses merusak suasana hatinya. Apa yang ia pelajari semalam suntuk tidak banyak membantu. Pada akhirnya, cewek itu tak dapat menjawab semua soal essay yang ada. "Ini Si Selang kenapa lama banget?! Buang hajat udah hampir dua jam," rutuk Windy dengan majas hiperbolanya. Kaki cewek bertubuh mungil itu bergerak-gerak tak sabar. Tak tahan menunggu terlalu lama. Windy dengan kesal mengambil ponselnya yang tersimpan di kantong tasnya. Berniat untuk mengirim pesan untuk Selva yang sedari tadi ia tunggu-tunggu. "Yuk, Win!" "Astaghfirullah! Kaget gue!" Selva terbahak. "Yeeee, latah!" Cewek berambut sebahu dengan mata sipit itu sengaja mengejutkan Windy. Ia tahu benar, sahabat karibnya sejak zaman ospek tersebut memang kadang sering latah. "Lu apaan sih, Selang! Untung hape gue nggak jatuh! Gila aja, dari lantai tiga gini! Wassalam!" Selva tertawa makin keras. Seolah-olah apa yang diucapkan oleh Windy adalah lawakan terlucu yang pernah ia dengar seumur hidupnya. "Hahahaha! Ampun, Win! Ya elah, lu kalau nyerocos gitu cerewetnya ngalahin nenek gue," ejek Selva. Windy dengan gemas memukul-mukul lengan cewek itu. Dengan rahang terkatup keras, ia meneruskan omelannya. "Apa kabar kalau hape gue jatoh, Sel?! Para abang mana mau beliin lagi! Baru juga beli hape baru sebulan, kalau rusak lagi bisa mampus gue!" "Kalau rusak, lu minta beliin Dion dong. Percuma, punya gebetan tajir kok nggak dimanfaatin," sahut Selva asal. Mata Windy membelalak. "Wah, dasar lu biang gosip! Gebetan apaan? Awas ya, Sel. Jangan bikin hoax. Gue masih pengen hidup tenang. Gue nggak mau berurusan sama Dion's fans club," tegas Windy. "Selow, Sist. Elah, sensi amat. Hahaha!" Selva mengedipkan mata sebelah kanannya. Wah, sudah nasib punya teman seceriwis Selva. Cewek paling supel dengan jaringan dari kalangan mana pun. Manusia paling update dan biang informasi se-Universitas Rajawali. Terkadang Windy tak habis pikir bagaimana bisa ia berteman dengan cewek sebeken Selva. Sedangkan dirinya hanyalah cewek yang terlewat biasa dengan lingkup sosial terbatas. Kendati demikian, tak dapat didustakan bahwa sesungguhnya Windy termasuk jajaran cewek most wanted di Universitas Rajawali. The hidden diamond, katanya. Namun, karena cewek bernama lengkap Windiana Putri almarhum Bapak Soehendra itu cewek yang sederhana, terkesan rendah diri, dan sedikit pesimis. Makanya terkadang banyak cowok yang jadi berpikir lebih dari sekali untuk mendekati Windy. Sikap Windy yang terlalu ramah pada semua orang itu membuat mereka salah paham. Saat ada yang memintanya untuk menjalin kasih, Windy menolaknya. Selalu begitu. Hingga para cowok pun mulai menyerah untuk menjangkau Windy. Dan belakangan ini sedang beredar kabar burung tentang kedekatannya dengan Dion Devano Utama, mahasiswa tersohor di Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang kebetulan baru saja kenal dengan Windy. Berita itu menyebar dengan sangat cepat. Padahal Windy baru bertemu dengan cowok jangkung itu sekali. Windy yakin, seyakin-yakinnya bahwa Selva adalah dalang dari berita ini. karena sahabatnya itu berada di tempat kejadian perkara saat Windy bertemu dan berkenalan dengan Dion. "Sel, please, jangan nyebarin macem-macem. Dulu ama Dika juga lo buat gosip beginian sampai bikin dia salah pahamㅡ" Selva memotong protes Windy dengan berkata, "Siapa suruh sok jual mahal!" Kemudian ia dengan semangat menggandeng tangan temannya. "Yuk ah, ke kantin. Airin udah nungguin dari tadi." Windy pun terpaksa mengikuti langkah Selva menuju kafetaria utama Universitas Rajawali. Di sepanjang koridor, Windy hanya bisa tersenyum simpul menyaksikan bagaimana temannya yang terus-menerus menerima sapaan itu. Maklum, selebritinya FMIPA. Anak hitsnya Rajawali. Sudah menjadi resiko Windy yang terjangkit ketenaran Selva. Tak dapat dipungkiri, Windy juga mendapat keuntungan karena mempunyai sahabat seperti Selva. Koneksi yang ia miliki juga menjadi semakin luas setiap harinya. Contohnya seperti Dion tadi. Kabarnya, cowok itu tajir minta ampun. Mobilnya gonta-ganti. Selera fashion-nya pun tak dapat diragukan. Pakaian yang membungkus tubuh tinggi proporsional itu juga selalu merk yang harganya selangit. Maklum, anak tunggal orang kaya. Dan beberapa minggu lalu, saat Selva mengajak Windy untuk sekedar jalan-jalan, cewek itu mengenalkannya pada Dion. Walaupun katanya tak disengaja. Anggap saja begitu. Sembari menuruni tangga, Selva bertanya, "Dapet Line dari Mita? Tadi malam dia ngajakin ketemuan di MKG. Kangen katanya." Windy mengangguk. "Dapet sih, tapi kayaknya gue nggak bisa ikutan deh. Hari ini gue ama Mas Ferdi mau jemput Mas Ardi. Baru balik dinas dari Semarang. Sekalian makan malam." "Lu nanti dijemput, Mas Ferdi?" tanya Selva antusias. Matanya selalu berbinar-binar kala mendengar Windy menyebutkan nama abang keduanya. Windy memincingkan matanya. Lalu mengangguk lagi. "Iya, emang kenapa?" Ada sebuah kecurigaan saat melihat reaksi Selva. "Ikuuuut!" Sudah diduga. Pasti Selva akan berkata seperti itu. "Ngapain ikut?" "Pedekate sama calon masa depan." Selva nyengir. "Najisun deh ah punya ipar kayak lu. Yang ada entar abang gue bisa stres." Selva mencibir. Mencubit lengan Windy dengan gemas. "Ih," Windy berkilah agar cubitan yang dilakukan Selva berakhir. "Lagian kan abang gue udah punya calon. Wleeee!" Selva makin sewot. "Peduli amat! Selama Mas Fer belum ijaban, sah-sah aja dong." Lagi-lagi begitu. Windy hanya dapat memutar bola matanya. "I'm so done with you, Sel." Yang dicibir pun tetap memaksa. "Nggak mau tau! Pokoknya gue ikut!" "Dasar selang muka badak," kata Windy sembari tertawa. "Sak karepmu, Sel. Tapi mobil luㅡ" "Ya biarin aja parkir di kampus. Yang penting ketemu Mas Fer-ku. Lalalalaaa." Selva sumringah lebar. "Mas Fer, Mas Fer! Yuk ah, lagi pengen makan soto lamongan nih!" ajak Windy. Kemudian dia menarik tangan Selva dan mempercepat langkahnya menuju kafetaria utama Rajawali.   ¤¤¤¤   "Besok pagi jam setengah sepuluh kau bawa lagi. Saya ada kelas jam delapan. Jangan coba-coba kau telat! Kalau kau telat, jangan harap skripsi kau cepat selesai. Saya harus ke bandara jam sebelas. Lewat dari jam sembilan, skripsi kau ku tinggal." Mahasiswa semester akhir di hadapannya itu mengangguk-angguk saja. Mengamini kehendak Dosen Pembimbing tugas akhirnya. Sekali lagi, Si Pak Dosen berkata dengan logat bataknya, "Ya sudah, Bagus. Kau bisa keluar. Bawa ini kau punya tugas." Cowok dengan potongan rambut undercut two block itu mengambil sebundel kertas tugas akhirnya. Berdiri dari kursi yang berhadapan langsung dengan Pak Dosen. "Bagus kali korang punya nama, Bagus. Suka kali saya sebutnya." Bagus nyengir kuda. "Terima kasih, Pak. Saya permisi dulu." Kemudian menyodorkan tangan kanannya, menjabat tangan Pak Dosen asal Sumatera Utara tersebut. "Ya ya ya, bagus sekali, Bagus. Selain bagus rupa kau, bagus pula kelakuan kau. Ku kawinkan dengan anak gadisku saja, mau kau? Mau sajalah!" Cowok itu tidak menanggapi tawaran itu. Baiklah, ini semakin aneh dan canggung. Bagus hanya bisa tertawa kaku dan sekali lagi berkata, "Saya pamit, Pak. Selamat siang." Kali ini ia benar-benar pamit dan keluar dari ruangan Pak Dosen. Bagus menghela napas lega. Senyum ramahnya segera sirna. Bagus memijit-mijit kedua pipinya. Rasanya hampir kram karena terlalu banyak tersenyum. Padahal ia terkenal sebagai mahasiswa paling cool seantero Fakultas Teknik Informatika Universitas Rajawali. Pelit senyum. k*****t memang. Untung cakep. Setalah berjalan beberapa langkah, ponselnya lagi-lagi bergetar. Ia segera memasukkan skripsi yang sudah dibubuhi oleh berbagi coretan-coretan itu ke dalam tas ranselnya. Dengan malas Bagus merogoh saku celana jeans. Membaca nama penelpon dan menerimanya. "Apa?" tanya Bagus tanpa basa-basi. Dia bergegas meninggalkan koridor gedung rektorat. Berjalan menuju tangga utama. Tak peduli sedang berselisihan dengan dosen-dosen ataupun pegawai lainnya. Berlagak sibuk. "Di Rektorat. ... Baru selesai nyetor. ... Mau balik ke kost, ada apaan emang?" Sesampainya di area parkir, Bagus lagi-lagi merogoh saku celananya. Kali ini mengambil kunci mobil dan mematikan alarm-nya. "Lu tungguin aja. Gua otewe ke sana." Kemudian ia memutuskan sambungan. Menghampiri mobil jenis SUV berwarna putih, membuka pintu kemudi, dan melempar ranselnya ke kursi penumpang. Mobil pun melaju meninggalkan gedung rektorat yang ia kutuk karena harus bolak-balik ke sana hampir setiap hari. Sial sekali, terpaksa malam ini ia begadang lagi. Memperbanyak asupan kafein dan nikotin lagi. Ia harus merevisi dan merombak habis beberapa poin dari bab ketiga skripsinya. Terlebih lagi, Pak Samuel akan ke Malaysia besok jam sebelas. Jika ia tak memperbaiki dalam waktu yang ditentukan, skripsinya akan tertunda lagi hingga bulan depan. Kurang dari lima menit, Bagus tiba di kawasan kafetaria utama Universitas Rajawali. Memarkir rapi mobilnya di bawah naungan pohon. Jam digital pada dashboard sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Pantas saja perutnya keroncongan sedari tadi. Tanpa pikir panjang, Bagus langsung turun dari mobilnya. Sengaja meninggalkan tas ransel berisi tugas akhir. Memasuki kafetaria, cowok bernama lengkap Muhammad Bagus Abqari itu segera menghampiri temannya yang asyik menyantap pecel lele. "Weh, udah nyampe aja," kata temannya yang bermata agak sipit dengan rambut pompadour itu. Bagus tak menghiraukan sapaan temannya. Ia mengangkat tangan kanan dan berkata, "Bu, pecel ayamnya satu sama teh es manis." Lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Ada apaan?" tanya Bagus to the point. "Tadi lo bilang penting dan gua udah gercep ke siniㅡ" Temannya yang bernama Dion itu terkekeh. "Jadi lo gesit ke sini buat gua? Saik bener dah! Terharu, ku rasa terenyuh karenamu." Bagus melengos. Memaklumi cowok puitis raja gombal yang terobsesi dengan kata-kata indah bak syair pujangga itu. "Hm. Awas aja kalau bicarain hal kagak penting. Gua cukur habis jambul lu." Dion mencibir sebelum meminum jus mangganya. "Alah, denial. Gua tau kalau elu tuh sebenarnya care. Lu cuma malu buat ngaku. Bukan karena hal penting, tapi karena gua yang minta ketemu." Aduh, pusing. Bagus bersedekap, sesungguhnya enggan menanggapi kalimat tak penting yang baru saja didengarnya. "Ada apaan, Yon?" "Hehehe." Yang ditanya justru cengengesan. "Jangan ngutuk gua dulu ya, Banggus." "Bagus. Bukan Banggus." Dion nyengir lebar. "Janji dulu. Soalnya ini penting banget!" Bagus mengernyit. "Iye, Nyet. Elah!" Kemudian ia berpikir sejenak dan bergumam, "Kok perasaan gue nggak enak ya?" "Bentar, gue cuci tangan dulu." Dion pun beranjak meninggalkan Bagus yang penasaran setengah mampus. Memperoleh sebuah makian dari cowok yang lumayan tenar di Fakultas Teknik Informatika Universitas Rajawali itu. "Setan."   ¤¤¤¤   "Sotonya satu ya, Pak." Si Bapak menoleh. Menyeringai lebar. "Eh, Mbak Windy." Cewek itu tersenyum ramah. "Hehehe, iya, Pak." "Tumben. Sudah lama Mbak Windy ndak pesan soto saya." Windy nyengir. "Iya nih, Pak. Kangen sotonya Bapak." "Kangen soto saya apa kangen sama sayanya, Mbak?" Astaga. Kebiasaan, kalau pesan soto sama Si Bapak pasti digombalin dulu. Windy hanya bisa meringis. Menggaruk-garuk telinganya yang tidak gatal sama sekali. "Kalau saya kangen Bapak, nanti bisa-bisa sayaㅡ" "Ingat anak-istri di rumah, Pak Yono!" celetuk salah satu dari segerombolan mahasiswa yang juga asyik menyantap. Merasa terselamatkan dari gombalan sesat Bapak penjual soto lamongan, Windy menghadiahi mereka sebuah senyuman. Sebagai rasa terima kasih atas bantuan untuk menghindari rayuan maut Pak Yono yang semakin lama semakin menggelikan. Senyuman itu sontak membuat beberapa dari mereka heboh. "Ati gua! Ajib!" "Klepek-klepek ati abang, Nenghhh." "Jangan mati dulu, woy! Ini siapa yang bayarin?!" "Kagak nahaaannn! Rasanya udah masuk surga aja." Bah! Salah besar! Ternyata mereka sama saja. Windy memutar bola matanya saat mendengar kikikan dari Pak Yono. "Salah, Mbak. Mbak jangan senyam-senyum ke mereka. Kalau sampai ada yang tewas, nanti siapa yang bayar soto saya?" Habis sudah kesabaran Windy. Akhirnya cewek itu berkata, "Ih, Bapak sih main gombal-gembel! Sengaja ya?" Kemudian ia mengambil lembaran uang sepuluh dan lima ribuan. "Ini, Pak, uangnya. Saya duduk di pojok sana, depan es teler Teh Maya. Yang nomer enam belas." "Siap, Mbak. Enteni, nggih," sahut Pak Yono dengan logat jawanya yang kental. Setelah itu Windy pun beranjak meninggalkan Pak Yono yang mulai membuatkan soto khas kampung halamannya. Dan ketika Windy melewati meja segerombolan mahasiswa yang sepertinya merupakan senior dari Fakultas lain itu, ia tak dapat mengelak dari godaan mereka. "Windy, kenalan dulu dong!" Rupanya salah satu dari mereka ada yang mengenalnya. Cewek itu tersenyum simpul. Tak ingin berlebihan. "Udah tau nama saya, berarti udah kenal. Hehehe. Permisi ya, Kakak-kakak." Lalu ia pun berjalan cepat menuju meja nomor enam belas di mana Selva dan Airin berada. Sesampainya di tujuan, Windy segera duduk di samping Selva. Merapikan kaos blaster yang ia kenakan dan mendapatkan rentetan pertanyaan dari kedua teman hebohnya. Ah, cobaan. "Kok lama?" tanya Airin. "Digodain kating lagi nih, Win?" tambah Selva. "Cakep nggak? Udah tukeran nomer hape atau akun apa gitu?" Windy hanya mengangkat kedua bahunya dan menekuk wajah manisnya. Membuat dua temannya itu berdecak. Payah sekali Windy ini! Dan Selva pun berceletuk atas kekesalannya pada Windy. "Jangan harap deh. Boro-boro! Lu kayak nggak tau Windiana aja! Pasti ngibrit duluan kalau diajak kenalan." Windy berdecak. "Hina aja terus gue! Nggak pa-pa. Gue mah udah strong!" Airin tertawa. Ia meletakkan sendok yang sedari digenggamnya ke mangkuk berisikan es teler yang sudah agak mencair. Lalu ia berkata, "Sekalinya kenalan, malah sama Dion itu. Warbeyasah yah." "Apaan sih!" Windy memicingkan matanya pada Selva dan Airin. Ada rasa curiga pada dua sahabatnya itu. "Kenapa sih dari kemaren mention nama Dion melulu? Orang gue biasa aja sama dia." Ya, memang. Bagi Windy, mereka memang mempunyai hubungan pertemanan yang biasa-biasa saja. Entah apa yang membuat Selva dan Airin menjadi sangat antusias dalam interaksinya dengan Dion. Windy juga sebenarnya tak menyangka bahwa setelah mereka berkenalan, cowok itu diam-diam menanyakan nomor ponselnya pada Selva. Dan hal tersebut jelas-jelas membuat Selva gempar bukan main. 'Win, Win! Dion nanyain nomer lo, Win!' kata Selva histeris ketika memberi tahu Windy beberapa hari yang lalu. Tak sempat untuk menolak atau apapun, Selva tanpa mengonfirmasi terlebih dulu jelas sudah menyebarkannya. Bahkan jika perlu, cewek itu akan mengumumkan nomor ponsel Windy pada khalayak umum. Mengapa? Hal tersebut adalah sebagai salah satu rasa gemasnya karena Windy yang selalu cenderung minder. Padahal, menurut Selva, Windy ini lumayan cantik. Tapi kasihan, cewek itu betah menjomblo gara-gara cinta bertepuk sebelah tangan. Dan Airin? Sama saja dengan Selva. Sama gemasnya. Piwit! Ponsel Windy bersiul. Pertanda sebuah pesan Line masuk. Cewek itu segera membukanya, malas mendengarkan celotehan Selva dan Airin. Dari Dion rupanya.   Dion Devano Siang win Lagi dimana? Jgn lupa makan siang ya   Windiana P.S. siang juga dion barusan pesen soto met makan siang yaa   Setelah membaca pesannya, Windy pun segera membalas. Jemari lentiknya bergerak cepat menyentuh layar ponsel.  Jemari lentiknya bergerak cepat menyentuh layar ponsel       Sudah. Begitu saja. Tak perlu membuang waktu kurang dari semenit, balasan dari Dion terdengar lagi. Namun Windy belum ada niat untuk membaca dan membalasnya lagi. "Bener! Biasa banget. Coba aja yang ngajak kenalan itu Si Bagus anak FTI. Pasti nggak bakal gini deh!" Selva mencibir. Obrolan teman-temannya mulai terdengar kembali. Telinga Windy lagi-lagi menangkap sebuah nama yang sangatlahㅡhah?! Mengapa sekarang topiknya jadi ke orang itu? Sumpah demi Spongebob dan kerang ajaibnya, Windy kebingungan. Matanya membulat sempurna saat mendengar nama cowok itu disebut. "Speak of the devil, itu orangnya lewat," kata Airin tiba-tiba. Deg! Benar saja. Pemilik nama yang dicibirkan oleh Selva kini berjalan memasuki kawasan kafetaria utama Universitas Rajawali. Sendirian. Airin dan Selva diam-diam melirik Windy yang ternyata sudah terpaku. Membeku. Matanya yang bulat itu mengikuti tiap langkah cowok dengan tinggi sekitar seratus tujuh puluh lima centimeter itu. Mulutnya terkatup rapat, tak ingin membiarkan dirinya terpesona atas gaya cowok itu. Gaya yang bagi Airin dan Selva terlalu dingin. Songong lebih tepatnya. Lihat saja bagaimana ia berjalan. Tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Ah, bagaimana bisa Windy menyukai cowok seperti itu?! Windiana memang benar-benar menyimpan rasa pada cowok itu. Muhammad Bagus Abqari, senior dari Fakultas Teknik Informatika Universitas Rajawali. Mantan Kapten Tim Basket Rajawali tahun lalu. Rasa kagum yang tertanam sejak Windy pertama kali menginjakkan kaki di kampus ini. Membangkitkan sensasi deg-degan yang selalu membuat jantungnya berdegup lebih keras ketika melihat cowok itu secara langsung. Namun sayang seribu sayang, hanya Windy yang merasakan hal tersebut. Jangankan untuk mengalami hal yang sama. Cowok itu pasti tidak mengetahui keberadaan Windy. Tentu saja cowok itu tidak mengingatnya. Interaksi pertama dan terakhir mereka sudah terjadi setahun silam. Itu pun tak disengaja. Berhenti berkhayal, Windy! Mana mungkin dia ingat padamu. Cowok itu hanya menolongmu sekali. Itu pun hanyalah sebuah kebetulan saja. Dan ketika cowok itu telah berlalu, Windy tak dapat menampik rona merah muda di kedua pipinya. Padahal dua sahabatnya yang sedari tadi duduk di depan dan di sebelahnya itu tahu benar, tak ada interaksi yang terjadi di antara Windy dan Bagus. Hanya Windy saja yang memperhatikan cowok itu. Lalu Windy tersipu sendiri. Tanpa Windy sadari, Selva dan Airin menghela napas. Lelah melihat nasib teman mereka. Prihatin dengan apa yang dialami oleh Windy. Terlalu semu. Menyedihkan. Padahal banyak sekali cowok-cowok yang rela mengantri untuknya. Contohnya sekumpulan mahasiswa senior yang menggodanya beberapa saat lalu. Bahkan seorang Dion pun menaruh perhatian padanya. Airin melengos saat melihat Windy yang sibuk menangkup kedua pipinya. Berharap wajahnya tak memanas dan takkan memerah seperti kepiting rebus. "Dilirik aja nggak, malah salting!" cibir Selva.   Entah berapa kali sudah cewek itu mencebikan bibirnya hari ini. Lama-lama bibir Selva bisa dower juga. Semua karena Windy yang selalu membuatnya kesal dan gregetan setiap harinya. "Ngapain naroh hati ke sono kalau ada yang pasti di depan mata?" timpal Airin. "Setahun, Sist! Gila aja, lu naksir itu cowok dan ngejomblo sepanjang tahun! Ngarepin yang nggak pasti," tambah Selva lagi. "Ya biarin! Yang ngejalanin dan ngerasain gue ini. Kenapa jadi lu berdua yang repot?" balas Windy. Kalimat yang ia ucapkan terkesan menyiratkan rasa tersinggung. Namun cara ia mengucapkannya justru terdengar aneh. karena cewek itu masih sibuk tersenyum ria. Selva dan Airin hanya dapat menggelengkan kepala mereka. Terlalu capek untuk mengasihani sahabat mereka yang masih saja tersipu itu.   ¤¤¤¤ "Puji tuhan. Alhamdulillah." Dion mengucapkan rasa syukurnya setelah mengisi penuh perutnya yang rata dan agak berotot itu. Tak peduli dengan teman sejawat yang menatap dirinya sinis dan kesal. Dion nyengir. Memamerkan pipinya yang berlesung dan gigi putih sehatnya yang rapi. Matanya menyipit, hampir menjadi sebuah garis lucu ketika ia tersenyum lebar. "Diminum dulu lah, Bang, tehnya." Dion mengambil gelas berisi jus mangganya yang hampir habis. Menghisapnya lewat sedotan hingga berbunyi 'srruuuttt ssrruutt'. Mengganggu sekali. Mengetahui ekspresi wajah Bagus yang tak berubah, sedingin es abadi di puncak Jayawijaya, Dion pun mengangguk-angguk. Meneguk sisa minuman yang terkumpul di mulutnya. Kemudian memasang wajah super serius. "Oke. Gua serius sekarang." Bagus diam saja. Menunggu dengan bosan. Mata tanpa emosinya masih menatap Dion. Rasa kesal menumpuk di d**a. "Gua punya job buat lu." Mendengar itu, Bagus baru bereaksi. Kepalanya mundur sedikit. Kedua alisnya terangkat. Sedikit tertarik dengan topik yang disebut Dion sangat penting itu. "Gua tau lu lagi perlu duit buat beli lensa kamera baru, kan?" Belum sempat Bagus menjawab pertanyaan Dion, Ibu penjual pecel datang membawa pesanan cowok itu. "Permisi, ini pecel ayamnya." "Makasih, Bu." Justru Dion yang membalas. Tersenyum ramah pada Si Ibu. Lalu kembali menatap Bagus dan bertanya, "Bener, nggak?" "Yep," kata Bagus membenarkan dengan suara beratnya. Tangannya mulai menyentuh nasi pecel ayam dan mengisi perutnya. "Gua beliin. Gimana?" Bagus melotot. Dengan susah payah menelan nasi yang dikunyahnya sedari tadi. Lalu mulutnya terbuka lebar. Syok. "Serius?!" Dion mengangguk enteng. "Tapi kalau kerjaan lu udah beres dan hasilnya gua terima. Baru gua beliin." Bagus masih tak berhenti membuka lebar mulutnya. Tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. "Lu yakin? Itu lensa harganya sepuluh jutaan, Yon." Dion mengangguk pasti. "Iyalah! Kalau nggak yakin ngapain gua nawarin ke lu sekarang." Kini giliran Bagus yang mengangguk-angguk. Tanpa membuang waktu untuk menimang-nimang, ia segera menerima tawaran sahabatnya. "Oke, gua ambil. Lu mau apa?" Dion sumringah. Ah, ia tahu benar iming-iming apa yang akan membuat seorang Bagus rela melakukan apapun. Semua hal yang berkaitan dengan kamera, fotografi, teknologi, dan basket. Cowok berkulit putih itu pasti akan memenuhi keinginan si penyuruh. "Gua lagi naksir cewekㅡ" Mendengar kata 'naksir' dan 'cewek', Bagus segera mengangkat tangannya yang belepotan bumbu pecel ayam. Memotong kalimat yang akan diucapkan oleh Dion. "Wait wait wait! Masalah cewek?! Emangnya gua pernah buka jasa nyomblang? Gua aja masih jomblo sampai sekarang! Lu malah minta comblangin. Nggak salah?" protes Bagus panjang lebar. Tumben. Yang benar saja! Tentu Bagus menolak mentah-mentah jika pekerjaan yang ditawarkan oleh Dion itu menyangkut masalah gebetannya. Padahal dirinya sendiri saja sedang menjomblo dan malas untuk berurusan dengan makhluk bernama cewek. Lagi pula, untuk apa Dion meminta bantuan dalam menggaet cewek? Dion Devano Utama gitu, lho! Cowok paling tajir seantero Universitas Rajawali dan pastinya cewek-cewek akan rela mengantri untuk menjadi pacarnya. Memangnya siapa cewek yang dapat membuat Dion dengan bodohnya membuang-buang duit sepuluh juta hanya untuk minta dicomblangkan? Apa cewek itu secantik bidadari? Lebih cantik daripada Raisa? Atau lebih manis daripada Maudy Ayunda? "Gua kagak minta comblangin, Bang. Apa banget dah! Kesannya gua nggak mampu gitu dekatin cewek. Nggak lah!" kilah Dion sambil tertawa. Pipi cowok bermata sipit dan tinggi jangkung itu lagi-lagi berlubang. Duh, lama-kelamaan pipi Dion bisa benar-benar bolong saking dalamnya lesung itu. "Kalau nggak minta comblangin lu mau apa? Naksir cewek kok minta bantunya ke gua. Mana payment-nya nggak kira-kira lagi," kata Bagus setelah menelan nasinya. "Dengerin gua dulu! Ya elah! Gua nggak minta comblangin. Gua perlu jasa motret," jelas Dion. Sukses membuat Bagus terdiam sejenak. "Motret?" gumam Bagus setelah blank beberapa detik. "Yep, motret." Dion menyondongkan tubuhnya. Kebiasaannya jika sedang serius. "Gua punya project buat nembak dia bulan depan. Pas hari ulang tahun ke-dua puluhnya. Terhitung besok, dua puluh hari sebelum ulang tahun doi. So, gua perlu dua puluh foto dia. Tiap hari beda-beda gitu. Exclude weekends. Gampang, kan?" Bagus mengangguk-angguk. Nasi pecelnya sudah habis. Kilat juga makannya. Maklum, sudah lapar sekali. Jadi wajar saja makanannya raib dalam sekejap. "Bentar, cuci tangan dulu." Kini giliran Bagus yang membalas Dion. Meninggalkan cowok jangkung itu menuju wastafel di saat Dion sedang dalam kondisi sangat antusias. Membuat Dion balas menggerutu karenanya. Ketika cowok dengan rambut berpotongan undercut itu sibuk mencuci tangan, tak sengaja pandangan matanya berserubuk dengan seseorang. Cewek. Rambutnya panjang agak kecokelatan, diikat tinggi. Tergelung berantakan, membuat helaian rambut halus menutupi leher jenjangnya. Cewek cantik dan manis. Matanya bulat dan lucu. Pipinya sedikit berisi, seperti kue mochi dan menggemaskan dengan rona alami. Kulitnya putih cerah. Tidak terlalu tinggi, terkesan mungil. Mengenakan kaos motif blaster. Jujur saja, cewek itu adalah tipe idealnya Bagus. Pas! Semuanya sempurna secara fisik. Namun, apalah artinya terlihat cantik dan segalanya jika ternyata sifat dan sikapnya minus? Maka dari itu, Bagus hanya menikmati kecantikan tersebut sejenak dan membuang pandangan ke arah lain setelahnya. Wajahnya tanpa ekspresi seperti biasa. Tak ingin melihat kehebohan yang akan dilakukan cewek itu. Bersikap layaknya cogan cool. Cowok ganteng nan keren. Selesai mengeringkan tangannya, Bagus kembali ke hadapan Dion dan menerima tagihan sahabatnya itu perihal tawaran tadi. "Gimana? Mau nggak? Lensa baru nih! Sepuluh jeti!" tekan Dion dengan iming-imingnya. "Kenapa nggak lu foto sendiri aja, Yon? Kan lebih afdhal pake karya sendiri." Dion menggeleng. "Nggak. Awalnya gua juga mikir gitu, tapi enggak deh. Gua pengen fotonya yang paling keren. Lu kan udah profesional. Konsep candid gitu kan susah. Gua pengen nangkep senyumnya. Lagian, lu tau sendiri kalau gua nggak jago motret. Yang ada entar malah kameranya yang ancur di tangan gua." Bagus terkekeh. Benar juga, tangan Dion memang punya kebiasaan buruk. Merusak barang-barang. "Tapi gua nggak suka foto orang, Yon. Gua sukanya alam." "Nggak nerima alesan! Oke aja dah! Oke, Bang?" Bagus mengangkat kedua alisnya. Mengonfirmasi kembali pekerjaan sampingannya. "Jadi tugas gua motretin dia sebanyak dua puluh kali, tiap hari, pas dia lagi senyum. Gitu?" "Yup. Simple, right? Hasilnya lu edit sekeren mungkin. Cetaknya polaroid aja. Oke?" Begitu saja? Bodoh namanya kalau Bagus menolak pekerjaan mudah dengan imbalan tak main-main. Cowok itu segera mengangguk. "Oke." Dion menyodorkan tangan kanannya. Bagus menyambutnya. Mereka berjabat tangan. "Deal," tegas mereka berbarengan. Keduanya tersenyum puas. "Sekarang, kasih tau gua siapa cewek yang lu taksir? Biar dari besok gua bisa mulai kerja." Dion sumringah. "Namanya Windiana. Windy. Anak FMIPA Biologi. Satu angkatan sama gua." "Windy ya? Hmm," gumam Bagus dengan suara ngebass-nya. "Kebetulan tadi gua lihat anaknya lagi di sini. Jangan naksir ya, Bang. Punya gua!" kata Dion mengingatkan. Bagus memutar bola matanya. "Iyeee! Emang gue pager makan taneman?! Nggak doyan punya orang gua mah!" Dion nyengir kuda. "Tuh, Bang! Cewek yang pake kaos blaster. Rambut diiket. Paling cantik." Bagus membalik tubuhnya ke arah ke mana Dion menunjukkan keberadaan cewek itu. Dan.... Deg! Cewek yang tadi. Sedang tersenyum bersama teman-temannya. Benar kata Dion, tercantik.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD