d u a

4508 Words
Hujan. Langit memandikan bumi. Membasahi permukaan wajahnya yang sudah terlalu lama terbakar. Seorang gadis berseragam putih abu-abu dengan rambut dikepang sebanyak dua puluh satu ikatan itu berdiri bosan. Wajah manisnya tertekuk. Pertanda suasana hatinya yang tak terlalu baik. Windiana menunggu abang keduanya yang tak kunjung tiba. Sudah hampir dua puluh menit ia duduk di halte yang tak jauh dari kampus barunya, tempat di mana dia akan menuntut ilmu dan meraih gelar sarjana. Jam tangan sudah menunjukkan pukul enam lewat dua belas menit namun mobil yang biasa digunakan oleh Ferdi masih tak terlihat. Sialnya lagi, pakaian yang Windy kenakan basah. Langit sempat menyiramnya tanpa kompromi. Dingin dan lembab sudah pasti menyerbu perawakan kurusnya. Hari pun kelabu pekat. Matahari tak sudi untuk repot-repot mengeringkan pakaian dan rambut Windy. Sungguh keras sekali cerita hari ini untuknya. Putri bungsu almarhum Bapak Soehendra itu mengeluh. Menggerutu karena abangnya yang masih terjebak macet kota Jakarta. Sedangkan teman-teman sesama peserta Ospek yang lain telah mangkir. Menghilang ke tujuan masing-masing. Menyisakan dirinya sendirian. Saat Windy memutuskan untuk membunuh waktu dengan mengaduk-aduk aplikasi yang ada pada ponsel, tanpa sepengetahuannya, datang dua orang laki-laki. Bergaya urakan. Seperti preman, dengan tato-tato di tubuh mereka. Ataukah memang mereka adalah orang-orang yang dia sangkakan? "Cewek, sendirian aja?" tegur salah satunya. Windy mengutuk kondisinya petang itu. Petaka. Dua laki-laki bermata b******n itu menatap pakaian dan tubuhnya yang kuyup. "Kita temenin aja yuk, Neng?" Yang lain ikut menggoda. "Biar asyik." Windy menggeleng cepat. Dia memindahkan tas ransel yang berada di punggung ke pangkuannya. Menutup sebagian tubuh dan dadanya. Kemudian berdiri cepat, bermaksud untuk meninggalkan orang-orang kurang ajar dan halte sepi itu. Namun ketika dia hendak melangkahkan kakinya, Windy dan dua orang itu dikejutkan oleh bunyi klakson yang nyaring. Suara bising yang tiba-tiba menginterupsi itu berasal dari sebuah mobil SUV berwarna putih. Bukan, itu bukanlah mobil Ferdi. Windy tahu dan hafal benar mobil pribadi ataupun mobil kantor yang sering abangnya gunakan. Dan benar saja, ketika pintu mobil itu terbuka, orang yang menginterupsi aksi kabur Windiana bukanlah Ferdian. Cowok itu mengenakan kaos hitam polos agak kebesaran untuk tubuh kurusnya, celana dan sepatu basket itu membelah hujan. Berlari ringan ke arah halte. Menghampiri Windy dan dua penganggu itu. "Lu ngapain nunggu di sini?! Gua cariin dari tadi!!" teriak cowok itu dengan nada seakan ia sedang marah besar. Windy bingung setengah mampus. Apa-apaan cowok ini?! Baru saja ia diganggu preman, sekarang datang cowok asing ini. Tiba-tiba datang dan marah-marah padanya. Kenal saja tidak. Dan Windy pun tersadar saat tangannya ditarik oleh cowok itu. Ah, apakah dia mencoba menyelamatkan Windy dari gangguan dua berandalan tadi? Jadi, Windy putuskan untuk diam saja dan membiarkan dirinya ditarik menjauh dari halte tersebut. Cowok itu membawanya berjalan ke arah mobil SUV tadi dengan terburu-buru. Di bawah tirai hujan ia berkata, "Lu kenapa di sana sendirian? Bahaya!" Cowok itu membukakan pintu mobilnya untuk Windy, tak peduli hujan lebat ikut membuatnya kuyup. "Kampus udah sepi. Kenapa nggak cepat pulang? Malah duduk di situ!" Belum sempat Windy menjawab, cowok itu sudah menutup pintu mobil. Berlari mengelilingi kendaraan roda empat itu, membuka pintu kemudi dan duduk di belakang setir. Tanpa membuang waktu, ia menekan tombol Parking, memindah persneling ke huruf D dan tancap gas. Meninggalkan lokasi di mana Windy bisa saja mengalami hal yang buruk. "Lu anak baru Rajawali?" tanya cowok itu tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya. "I-iya, Kak," jawab Windy terbata. Sudah dapat dipastikan bahwa cowok ini adalah kakak tingkat. Senior di perguruan tinggi swasta tempatnya kuliah. Cowok berpotongan rambut spike itu menghela napas berat setelah melirik Windy sekilas. Ia tiba-tiba menepikan mobilnya. Membuat cewek yang ia tarik tadi lagi-lagi kebingungan. Cowok berkulit putih bersih itu membalik tubuhnya, mengambil sesuatu dari jok belakang. Sebuah hoodie. "Pakai nih! Lu kedinginan. Sorry kalau bau. Habis dipake buat latihan tadi." Windy ragu-ragu. Jaket itu memang sedikit berbau keringat, walaupun ada semilir aroma parfum maskulin di sana. Namun ia memilih untuk menurut, karena Windy memang kedinginan. Walaupun pendingin mobil dinyalakan dengan suhu yang tak rendah. Lagipula seragamnya... Ah, begitulah. Ketika Windy menurunkan tas ranselnya ke kaki, tanpa sadar cewek itu memamerkan seragam putih yang terlihat transparan. Terawang. Membuat cowok itu membuang pandangannya ke arah lain. Lantas berdeham. Mungkin salah tingkah. "Rumah lu di mana? Biar sekalian gua anterin," kata cowok itu saat Windy tengah memakai hoodie-nya. Cewek yang kini mengenakan jaket itu menggeleng cepat. "Nggak usah, Kak. Saya nungguin abang saya. Bentar lagi kayaknya nyampe sini." Cowok itu mengangguk-angguk canggung. "Oh, bagus deh kalau gitu. Lu kasih tau abang lu dulu gih." Windy mengangguk. Menuruti instruksi cowok yang sepertinya adalah senior di Kampusnya. Ia mengambil ponselnya. Menghubungi Ferdi. "Halo, Mas, di mana? ... Aku nggak di halte itu. Mas nanti lurus sedikit. Di dekat pertigaan nanti ada mobil parkir di pinggir  jalan." Windy melirik cowok di sampingnya. Terlihat cuek sekali. Wajahnya terkesan bosan. Windy semakin tak enak hati. "Iya, mobil putih. ... Oke." Lalu cewek itu memutuskan koneksi. Hening. Sepi. Windy menggenggam dan meremas-remas ponsel dengan kedua tangannya yang terasa beku karena air hujan. Sibuk menggigiti bibirnya yang tak berhenti menggigil. Dingin sekali. Sedingin suasana di antara Windy dan cowok itu. "Umm... Kalau boleh tau, nama Kakak siapa?" tanya Windy dengan nada rendah. Terkesan malu-malu. Cowok itu menolehkan kepalanya. Menatap Windy dengan wajah datar. Tak acuh dan kaku. "Bagus." Mendengar jawaban itu, Windy mengangguk-angguk canggung. "Saya Windy, Kak." Lalu kembali menatap cowok bernama Bagus itu malu-malu. "M-makasih banyak, Kak Bagus. Udah mau nolongin saya." Bagus mengangguk. Sepi lagi. Tak ada yang bicara. Benar-benar canggung. Super duper awkward. Diam-diam Windy memperhatikan fisik seorang Bagus. Cowok itu tergolong tinggi untuk ukuran cowok Indonesia. Walaupun tidak sejangkung Ferdi. Kulitnya putih bersih, matanya bulat. Keturunan chinese? Bukan, entahlah. Perawakannya atletis. Windy yakin, cowok ini pasti hobi berolahraga. Lihat saja pakaian yang dia kenakan. Cowok ini sepertinya baru selesai bermain basket. Rambutnya bermodel spike, hitam legam. Bulu matanya agak panjang namun tak lentik. Bibirnya tipis. Hidung dan alisnya juga pas. Garis rahangnya tegas. Ah, bisa-bisa tangan yang menyentuhnya akan tersayat karena garis rahang tajam itu. Cowok ini adalah... a good looking guy. Namun Windy segera mengalihkan pandangannya dan keheningan di antara mereka segera berakhir saat terdengar bunyi klakson. Bunyi yang dikenal oleh Windy. Mobil jenis sedan berwarna hitam metalik berhenti tepat di depan mobil Bagus. Sepertinya itu adalah mobil Ferdi. Benar saja, Ferdi turun dari mobil dan membuka lebar sebuah payung. Berjalan cepat menjemput adiknya. Tak peduli kemeja, celana, dan sepatu pantofelnya basah terkena air hujan. Dia segera membuka pintu di mana Windy duduk diam. Sebelum Windy keluar dari mobil, ia sekali lagi menatap Bagus yang masih saja tanpa ekspresi. "Makasih banyak, Kak. Ini jaketnya." Dan ketika Windy berniat untuk melepas hoodie milik Bagus, cowok itu mencegahnya dengan berkata, "Pake aja. Nggak pa-pa." "Ayo, Dek," desak Ferdi. Lalu ia tersenyum pada Bagus, "Makasih banyak sudah nemenin adek saya." Bagus mengangguk. "Nggak masalah. Lain kali jangan disuruh nunggu di halte sendirian, Bang. Apalagi jam segini. Mending pesan taksi aja kalau udah gelap." Windy menatap Bagus takjub saat pandangan mata mereka bertemu. Membisu. Terpaku. Dan rasanya sesuatu menancap tepat di relung hatinya ketika cowok bernama Bagus itu tersenyum lembut padanya.   ¤¤¤¤ "Fer." Pria muda berumur dua puluh lima tahun itu menyahut, "Kenapa, Mas bro?" "Ini kenapa ya? Si bungsu kesayangan Mas dari tadi senyam-senyum terus?" Ferdi terkekeh. Ikut melirik ke spion yang mengarah langsung ke arah Windy. Adik perempuannya yang manis itu masih saja tersenyum sendiri. Tak sadar bahwa dirinya sedang menjadi topik perbincangan. "Nggak tau deh. Dari tadi, pas aku jemput juga begitu terus. Kayaknya lagi senang banget," jawab Ferdi. Melihat adiknya yang terlihat bahagia, ia juga ikut tersenyum karenanya. "Lagi dekat sama cowok kali, Mas bro," sambungnya. Ardian, kakak sulung dari Ferdian dan Windiana itu manggut-manggut. "Tolong si bungsu ini diawasi pergaulannya, Fer. Anak zaman sekarang bahaya." Ferdi mengangguk setuju. "Ah, siap. Nanti biar aku selidiki siapa yang bikin Windy begitu." "Kamu sendiri juga. Kudu jeli nyari jodohnya. Jangan sampai salah pilih." Sedangkan orang yang sedang dibicarakan oleh dua pria dewasa itu tengah asyik melamun. Speaker headset mengganjal kedua lubang telinganya. Mendengarkan lagu-lagu cinta nan manis. Tersenyum atas kenangannya satu tahun silam. Kenangan di mana pertama kalinya dia bertemu dengan Muhammad Bagus Abqari. Masih teringat jelas bagaimana cara kakak seniornya itu menatapnya. Mengingatkan dan berpesan agar dirinya lebih berhati-hati. Dan yang lebih penting, bagaimana cara cowok itu tersenyum padanya. Lembut dan menggetarkan hati. Sungguh, Windy tak mampu melupakannya. Selalu teringat. Selalu terbayang. Terus begitu untuk satu tahun lamanya. Dan tadi siang, saat dirinya sedang asyik bercengkrama bersama Selva dan Airin, sesuatu yang lagi-lagi menggugah dan melumpuhkan hatinya terjadi kembali. Bagus, cowok yang selalu membuat Windy delusional itu menatapnya. Benar, cowok itu menatapnya. Windy sangat yakin. Sangat amat teramat yakin bahwa Muhammad Bagus Abqari benar-benar telah menatapnya. Mengapa Windy bisa seyakin itu? karena setelah sekian lama dia memperhatikan, mengamati, memandangi, bahkan menatapnya penuh puja cowok itu, akhirnya tatapan mereka berdua berserubuk. Saling melihat satu sama lain. Saling mengetahui. Dan hal tersebut hampir membuat Windy berteriak dan bersorak sorai gembira karenanya. Setelah lebih dari satu tahun... Ah, lebih tepatnya tiga ratus tujuh puluh dua hari lamanya, Bagus melihat dirinya. Mimpi apa dia semalam?! Bagaimana bisa senior yang menyelamatkannya dari dua berandal itu akhirnya... Windy tak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata! Terputar kembali reka adegan ketika tatapan bertemu, saling tenggelam dan terkoneksi oleh sesuatu yang asing, Windy sebisa mungkin menahan diri untuk tidak histeris. Cewek itu diam saja. Tanpa ekspresi. Blank. Menyeimbangkan raut wajahnya agar sepadan dengan apa yang Bagus lakukan terhadapnya. Datar. Tak ada emosi di sana. Kendati demikian, itu saja sudah cukup membuat Windy hampir mati kegirangan. Namun rasa girangnya itu ia redam setengah mampus. Tak ingin membuat cowok pujaannya sampai ilfeel padanya. Piwit! Piwit! Piwit! Tiga siulan membangunkan Windy dari lamunannya. Musik dan nyanyian dari speaker headset-nya juga ikut terhenti sejenak karena notifikasi dari ponselnya itu. Menandakan beberapa pesan pada aplikasi Line telah masuk. Windy cepat-cepat membukanya. Ternyata dari Selva, Mita, dan Dion. Windy membuka pesan dari Selva terlebih dulu.        Selvania Kelas lu dah mid biokim? Kasih bocoran dikit dong Bsk kena giliran kls gue nih     Windy mencibir saat membaca pesan itu. Enak saja minta bocoran soal! Dirinya saja tak mampu menjawab dengan benar soal-soal ujian tengah semester mata kuliah itu!           Windiana P.S. Malessssss :P   Selvania Jahara bgt siiiiy Ayolaaaah   Windiana P.S. Gak tau sel, ngeblurrr wkwk   Bodo amat deh dibilang pelit, batin Windy. Dia tidak mau menderita sendirian. Lagipula Windy juga sudah lupa dengan soal-soal yang dia kerjakan tadi siang. Kemudian cewek itu membuka pesan lainnya. Salah satunya dari teman semasa sekolah menengah atas yang mengajaknya ngumpul bareng.           Meeta Wiiin Lo dimanaaa? Parah banget ga ikutan Kangen niiih   Windiana P.S. Sori mit gue gak bisa Otw jemput mas gue nih :( Next time yaaa janji nih   Lalu, yang terakhir dari tentu saja dari Dion. Ah, cowok cakep itu lagi. Windy tak mengerti, apa yang cowok tersebut lihat darinya hingga membuatnya rajin sekali mengirimi pesan.           Dion Devano Win win win   Windiana P.S. Iya diooon     Windy tertawa sendiri membaca pesan itu. Apa-apaan cowok ini? Kurang kerjaan?         Tak perlu menunggu lama, seperti biasa balasan dari Dion akan segera tiba. Secepat kilat.   Dion Devano Akhirnya dinotice juga Lagi apa win?   Windiana P.S. Sori dion, aku baru pegang hp Lagi di jalan nih jemput mas ardi   Dion Devano Salamin ke mas ardi ya Dari calon ipar gitu wkwk   Windiana P.S. Ampun deh dion, ada2 aja         Sudah. Cukup bagi Windy. Cewek itu menutup aplikasi chatting tersebut. Notifikasinya dimatikan. Sudah menjadi kebiasaannya kalau sedang malas untuk membaca atau membalas pesan-pesan yang menurutnya tidak terlalu penting. Menurut Windy, jika ada orang yang memerlukan bantuan atau hal yang mendesak darinya, mereka pasti menelponnya secara langsung, bukan? "Nah, sekarang si bungsu malah asyik chatting. Sama siapa sih, Win?" Mendengar celetukan kakak sulungnya, Windy mengalihkan pandangan dan menatap si abang yang sedang menyeringai jahil. "Ih, Mas Ardi kepo deh!" Di saat yang bersamaan, Bagus menghempaskan tubuhnya ke kasur. Telentang seperti Patrick Si Bintang laut. Matanya terpejam sejenak. Otaknya bekerja dengan sangat keras. Bibirnya menggumam-gumam tak jelas. Ah, cewek yang ditaksir oleh Dion itu. Sepertinya, dia pernah melihat dan bertemu dengannya. Entah di mana, dia sendiri pun lupa. Sungguh, wajahnya benar-benar familiar. Namun, percuma saja. Bagus tak mampu mengingatnya. Hmm... Sungguh disayangkan sekali, cewek yang sesungguhnya adalah tipe impian Bagus secara fisik itu sudah menjadi incaran Dion. Sangat amat disayangkan. Menarik memang. Cewek secantik dan semanis itu tentu saja sangat menarik. Kendati demikian, Bagus juga tak dapat menolak timbal balik dalam misi ini. Bayangkan saja, ia akan mendapatkan sebuah lensa baru seharga sepuluh jutaan hanya untuk memotret cewek itu selama dua puluh hari saja. Dion memang agak gila. Ralat, bukan agak lagi, temannya itu memang benar-benar gila. Pastinya, Dion naksir berat sama cewek itu. Buktinya, ia berani menawarkan Bagus bayaran yang sangat besar. Cowok itu tak habis pikir. Bagus terkekeh. Kepalanya menggeleng-geleng. Dion sudah terjerumus dalam pesona cewek itu. "t***l," kekeh Bagus. Dia bangun dari rebahannya. Teringat dengan tugas akhirnya yang harus segera direvisi. Untuk apa membuang waktu memikirkan omong-kosong Dion dan gebetannya? Besok pagi-pagi sekali bab ketiga skripsinya harus rampung. Jika tidak, dia harus menunggu hingga bulan depan. Bagus tak ingin membuang waktu. Dia pun segera duduk dan mengambil kertas-kertas yang sudah dilukis oleh Pak Samuel dari ranselnya. Namun setelah melihat coretan-coretan itu, Bagus justru menghela napas. "Nyet, otak gue nggak jalan," gumamnya. "Itu cewekㅡargh! Dion bangke!" Dia beranjak untuk mengambil salah satu kamera Pentax-nya. Menyiapkan segalanya untuk pekerjaan sampingan barunya. Berharap hasil jepretannya tak mengecewakan. ¤¤¤¤   Finally. Setelah berkutat di bagian ketiga tugas akhirnya, Bagus dapat melanjutkan langkah ke tahap berikutnya. Cowok itu menghela napas lega. Setidaknya, dia mempunyai waktu lumayan panjang untuk menyelesaikan tugas berikutnya hingga bulan depan. Bersyukur bahwasanya Bagus kebagian dosen terbang. Seperti Pak Samuel misalnya, jarang di kampus. Untungnya lagi, koreksi yang dilakukan Pak Dosen selalu menyeluruh sehingga tak akan membuang waktu untuk bolak-balik revisi. Apalagi Bagus adalah salah satu mahasiswa yang lumayan cekatan dalam mengerjakan tugas-tugasnya. karena ketelatenan Bagus tersebut, dia mendapat keringanan dengan mempercepat proses Seminar Proposal Skripsinya. Semuanya lancar untuk saat ini. Kendati demikian, kekurangan yang harus dimaklumi Bagus adalah ia harus bersabar. Waktu termakan lebih lama dari sewajarnya karena terpaksa menunggu Si Dosen available di kampus. Dosen dengan logat batak yang menjadi pembimbing utama tugasnya itu tidak menerima konsultasi di luar jam dan lokasi kampus. Semua harus berlangsung di lingkungan perkuliahan dan Bagus tak masalah dengan persyaratan itu. Yang menjadi masalah adalah pertanyaan dari orang tua, seperti; "Gimana tugas akhir kamu, Bagus?" "Kapan selesainya?" "Kalau sudah selesai nanti kamu punya plan apa, Bagus?" "Punya pacar, Gus? Mama nggak sabar nimang cucu." Mantan Ketua Tim Basket Rajawali itu selalu menghela napas lelah kalau mengingat pertanyaan-pertanyaan dan kalimat mendesak dari orang tuanya itu. Rasanya seakan beban di kepala dan pundak semakin memberat saja. Bagus memasukkan lembaran-lembaran kertas tugasnya yang sudah bertanda tangan dari Pak Dosen ke dalam tas ranselnya dengan malas. Menyusuri koridor gedung rektorat, menuju pintu keluar. Saatnya melanjutkan aktivitas dan menyelesaikan pekerjaan yang lain. Ponsel yang sedari tadi bergetar ia ambil. Banyak pesan yang masuk. Bagus mulai membukanya. Dimulai dari pesan Haikal yang masuk dua jam yang lalu. Tak perlu dibalas. Skip. Lanjut ke obrolan lainnya.   Raditya Banggus dribble kuy Damar dah pesen di surya jam 3.   Haikal Dimana bos? Kfc go! Traktiran arka. Now.           Wah, ini yang ditunggu-tunggu! Tentu saja dia akan datang. Basket adalah kewajiban bagi Bagus. Kemudian yang terakhir adalah dari Dion. Delapan pesan. Astaga, ini sih namanya spam!   Dion Devano Bang bentar lagi cewek gua ngantin Tai baca woy Lu dmn nyet astaga Tar dia ngilang elah Anj buruan bang Gamau tau harus punya foto windy hari ini Doi cantok banget wou Bgst typo           Bagus memutar bola matanya. k*****t betul, temannya yang satu ini. Dia pun segera menelpon Dion. Pastinya sudah sangat urgent. Nada tunggu dari aplikasi messenger itu mengisi indra pendengaran sebelah kanannya. "Oy, Yon. Sori baru buka hape. Habis nyetor TA." "Ya elah." Bagus merogoh saku jeans-nya untuk mengambil kunci mobil seraya berkata, "Dia masih di kantin kan?" Di seberang sana terdengar Dion menghela napas berat. "Yup, kayaknya." Kening Bagus mengerut saat mendengar keraguan dari suara Dion. "Yang bener, Yon. Entar kalau gue ke sana dianya nggak ada kan guenya yang repot." "Gua nggak bisa mastiin, Bang." Suara Dion terdengar serba salah. "Ditanyain, monyet." "Masa gua nanyain doi mulu?" Bagus duduk di belakang kemudi. Menyalakan mesin dan AC-nya. "Ya lo tanyain temennya kek. Ini gua mau otewe sekarang." "Ya udah, ke sana aja dulu. Entar gua tanyain lagi deh, kalau lu nggak nemu. Dah, gua mau ujian." Telpon langsung tertutup. Bagus hanya bisa menggelengkan kepalanya. Merepotkan sekali. Pekerjaan aneh yang membuatnya menjadi Mas Ardirazzi ini benar-benar membuat kepalanya makin pusing saja. Tiba-tiba notifikasi masuk lagi. Bagus yang tadinya hendak menurunkan rem tangan otomatis mengurungkan niatnya. Dia kembali mengecek ponsel.          Dion Devano She is still there Foto yg oke Pokoknya harus keliatan kek bidadari   Bagus terkekeh. Dia bergumam, "Bawel amat dah." Tak ada keinginan sedikitpun untuk membalas pesan Dion. Bagus tancap gas menuju kafetaria. Beberapa menit kemudian, Bagus tiba di tempat tujuan. Usai emarkir mobilnya di bawah naungan pohon, dia segera mencengkram tas berisikan kamera Pentax kesayangannya dan berlari meninggalkan mobil SUV putihnya. Ketika Bagus memasuki kawasan kafetaria, dia langsung mengedarkan pandangan matanya. Mencari keberadaan cewek yang berserubuk pandang dengannya kemarin. Cewek cantik yang menjadi incaran Dion. Cewek yang akan menjadi objek utama lensa kameranya. Di sana. Masih di meja pojok kemarin. Sepertinya cewek bernama Windiana itu selalu duduk di meja tersebut. Tanpa membuang waktu, Bagus langsung berjalan cepat ke meja kosong yang memang agak jauh dari sasarannya. Ah, benar-benar terlihat seperti stalker. Mengapa dia harus mengambil foto cewek itu diam-diam? Hal tersebut karena Dion ingin foto yang diambil bagus berkonsep candid. Diambil tanpa sepengetahuan cewek itu. Agar nanti kesan yang didapat oleh Windy adalah bahwa Dion selama ini selalu memperhatikan cewek itu. Romantis? Setidaknya begitu katanya. Lagipula, jika Bagus mengambil foto Windy secara terang-terangan, cewek itu pasti akan bertanya untuk apa dan mengapa. Jika Bagus ketahuan memotret, nanti bisa-bisa dia disangka stalker gila kurang kerjaan. Tengsin dong! Bagus memilih meja yang tak jauh dari Soto Lamongan Pak Yono. Menurutnya dari meja ini, dia dapat mengambil foto dengan gampang. Tak terlalu banyak orang di sini. Meja cewek yang akan dia foto berada di pojok. Spot yang dia pilih juga di pojok, berseberangan dengan Windy. Setelah yakin dengan titik yang dipilih, cowok itu segera mengambil kameranya. Menyalakan mesin penghasil karya seni modern tersebut, kemudian memberikab setting kembali. Menyesuaikan besar intensitas cahaya di tempatnya berada agar gambar yang akan ia ambil sesuai dengan standar seorang Muhammad Bagus Abqari. Dia mencoba mengambil foto ke arah dan objek lain terlebih dahulu. Setelah dirasa cukup dan pas, Bagus pun memulai aksinya. Saat cowok kelahiran Bandung itu mendekatkan mata kanannya ke viewfinder dan mengarahkan fokus kameranya pada objek yang dituju, Bagus terdiam sejenak. Windy sedang asyik bersenda gurau dengan teman-temannya. Menertawakan sesuatu yang entah hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Sudut bibir cewek itu tertarik ke atas. Memamerkan deretan gigi rapi dan putih bersih. Sudut matanya mengerut lucu, menyipit. Windy yang menepuk-nepukan kedua tangannya ketika tertawa. Deg-deg! Deg-deg! Perfect. Ini adalah momen sempurna untuk foto yang diinginkan Dion. Namun ketika Bagus ingin menangkap pemandangan yang terpampang di mata, jari telunjuk kanannya kaku. Tak dapat menekan tombol shutter untuk mengambil gambar cewek itu. Mengapa? Entahlah... Tawa dan senyum cewek itu benar-benar memukau saat dilihat dari jendela bilik kamera kesayangannya. Tanpa sadar mulut Bagus sedikit terbuka. Dadanya berdegup kencang. Keras sekali. Rasanya tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Bagus berdecak. "k*****t," makinya pada diri sendiri setelah sadar dengan apa yang terjadi padanya. Lalu ia menekan tombol shutter dengan rakus. Ckrek! Ckrek! Ckrek! Ah, sepertinya cukup. Foto yang ia perlukan sepertinya sudah ia dapatkan. Bagus langsung me-review hasil jepretannya. "Mayan," gumamnya. Kali ini memuji hasil karyanya sendiri. Bagus tersenyum sendiri pada sebuah foto yang ia ambil. Foto terbaik dari semua hasil jepretannya. Tunggu, apakah ia benar-benar sedang memuji foto yang ia dapatkan atau jangan-jangan keindahan dari objek tersebut?   ¤¤¤¤ "Bentar," kata Windy seraya bangun dari tempat duduknya. Cewek itu beranjak dari tempatnya berkumpul bersama teman-teman. Menjauh sedikit agar Selva dan Airin tak mendengar percakapannya dengan Si Penelepon. Dion. "Halo?" sapa Windy saat ia sudah cukup jauh dari tempat nongkrongnya. "Halo, Win?" balas Dion dari seberang sana. "Iya, kenapa, Dion?" "Lagi di mana, Win?" Windy mengerutkan keningnya. Aneh. Bukankah cowok ini sudah menanyakan di mana keberadaannya? Windy yakin sudah membalas pesan dari obrolannya. Walaupun demikian, cewek itu tetap saja menjawab. "Masih di kantin, Dion. Kenapa?" Terdengar jeda sebentar. "Nggak pa-pa. Nanti aku Line lagi. Mau ujian nih. Boleh minta semangatnya?" Semangat? Windy tak dapat menyembunyikan tawanya. Cewek itu terkekeh. Suara lembutnya tak dapat dihindarkan. Pasti Dion mendengarnya tertawa sekarang. Tapi peduli apa? Toh, tawa tidak dilarang. "Semangat ujiannya ya, Dion," kata Windy masih tak berhenti tersenyum. Ada-ada saja cowok jangkung satu ini. "Makasih, Windy." Windy menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih dengan senyum lebar di bibir tipisnya. "Oke," kata Windy lagi. Kemudian dia mematikan telepon saat mendengar Dion mengucapkan kata yang sama. Cewek itu pun berjalan kembali ke tempatnya berasal. Menghampiri dua temannya yang asyik berbagi es pisang ijo khas Makassar. "Dari siapa?" tanya Airin. "Tumben nggak langsung angkat depan kita. Dion ya?" Selva berdeham seolah tenggorokannya sedang gatal. "Ehem, kayaknya bentar lagi ehem, ada yang ehem, jadian deh. Uhuk! Uhuk!" Windy memicingkan matanya sekilas. Lalu ia berpura-pura memasang tampang polos dan berkata, "Siapa? Airin?" Si empu nama pun melengos. "Lu sama Dion lah, Win! Please deh!" "Hahaha, ngaco. Gue sama Dion cuman temenan doang," kilah Windy. "Yakin cuman temenan?" Selva menaikkan satu alisnya. "Kalau cuman temenan, buat apa pake ngejauh segala, cuma angkat telpon dia doang?" Kini giliran Windy yang melengos. "Kata siapa yang nelpon gue barusan Dion?!" Selva mengibaskan rambut sebahunya itu dengan tangan kanannya. Dia berkata, "Kalau bukan Dion siapa lagi? Masa Si Bagus? Hahaha!" Nyesss! Nyelekit. Windy memaksakan tawanya. "Kalau emang dia, mau apa lu?" "Hahahahaha!" Airin tertawa keras. "Ya nggak mungkin lah, Win! Lu mana berani nyapa kalau Mas Ardisan sama dia. Gimana bisa telpon-telponan?!" Wah, jlebbb sekali! "Bilangnya bakal ngembaliin hoodie-nya. Bilangnya bakal ngajak dia makan sebagai ucapan terima kasih. Bilangnya bakalㅡ" "Ya suka-suka gue dong!" potong Windy. Pipinya memerah. Setiap nama Bagus disebut, entah mengapa Windy selalu tersipu. Baru ada yang menyebut namanya saja Windy sudah seperti itu. Bagaimana jika apa yang dia sombongkan pada teman-temannya terjadi? Ah, bisa-bisa Windy semaput. Membatu di tempat cuma karena cowok itu. Ya, saat kejadian satu tahun yang lalu, Windy sempat memutuskan untuk mencari tahu siapa cowok yang telah menyelamatkannya dari pengalaman buruk tersebut. Cewek itu bersusah payah mengumpulkan keberaniannya.  Bagaimana pun caranya, dia harus mendapatkan informasi tentang cowok itu. Hingga suatu hari, dia nekat bertanya pada salah satu senior sesama anggota BEM Fakultasnya. "Kakak kira-kira pernah dengar ada anak Rajawali yang namanya Bagus? Kayaknya sering main basket. Pake mobil putih. Mukanya kayak Oppa-oppa Korea gitu." Si Senior itu menjawab, "Oh, pasti Si Bagus. Kapten basket itu. Jelas tau, lah. Kamu kenal sama anak hits macam begitu dari mana, Win?" Mengetahui kenyataan bahwa cowok itu ternyata adalah mahasiswa yang mempunyai ketenaran tak main-main, Windy bertanya lebih banyak. Dan jawaban yang dia dapatkan adalah sebagai berikut; 1. Nama lengkapnya adalah Muhammad Bagus Abqari 2. Mahasiswa Teknik Informatika  3. Dua tahun lebih senior dibanding Windy 4. Kapten Tim Basket kebanggaan kampus 5. Fotografer 6. Status tidak diketahui. Setidaknya itulah yang Windy ketahui tentang first crush-nya. Serta fakta-fakta yang dia dapat itu benar adanya. Hanya satu yang meragukan. Poin ke-enam. Benar-benar tak ada yang tahu dengan status kehidupan romantis Bagus. Bahkan Selva yang notabene merupakan cewek paling kaya dan tajir atas informasi tentang anak-anak kece Rajawali tersebut. "...emangnya lu berani nyapa kalau ketemu dia hari ini?" tantang Airin. Membangunkan Windy dari lamunannya. Cewek dengan rambut dikucir tinggi seperti ekor kuda itu mengangkat dagunya. Berlagak congkak dan sangat percaya diri. "Berani dong!" Selva dan Airin terbahak. Menertawakan jawaban Windy yang tak sesuai dengan kenyataan. Mereka tahu benar kalau teman mereka yang minderan itu akan selalu menunduk malu jika berpapasan dengan Bagus. Tak berani menatap cowok itu. Grogi. Pemandangan itu membuat Selva dan Airin ingin melempar flat shoes mereka pada Windy. Menggelikan. Windy yang menjadi bahan olokan dan topik pembicaraan itu ikut tertawa. Lepas. Dia tak tersinggung sama sekali. Sudah terbiasa. Sekarang giliran Windy untuk menyerang mereka berdua. "Eh, Selang, jangan sok-sokan ngatain gue ini-itu dan blablabla deh. Emangnya lu pernah dinotice sama abang gue? Hahaha!" Windy tak dapat berhenti tertawa. Begitu pula dengan Airin. Cewek itu justru tertawa lebih kencang. Sampai matanya berair. Selva mencibir. Cewek yang dijuluki oleh sahabat-sahabatnya dengan kata plesetan dari Selva dan kutilang itu cemberut. Ternyata pertanyaan Windy tak kalah menohok. "Terus gue denger lu juga lagi dekat sama brondong, Rin. Bukannya lu suka Mas-mas mapan?" Tak ingin ketinggalan menyerang Airin, Selva juga mengimbuhi, "Bener! Sekampus juga udah pada tau!" Bukannya memberi respon seperti Windy yang tiba-tiba sewot, atau cemberut karena pertanyaan sindiran yang menusuk, Airin justru ikut tertawa. "Ya kalau brondongnya bisa ngasih nafkah ekstra, gimana bisa nolak?" balas Airin membela diri sendiri. "Wah, jiwa tante-tante Kalijodo yang terpendam pun muncul!" celetuk Windy. "Ti-ati, Win, bisa-bisa kita dijual ke om-om happy!" tambah Selva. Tawa Windy makin keras. Matanya sampai berair. Pipinya sudah pasti memerah. Dia mengambil tisu yang tak jauh dari sisinya. Menyeka sudut mata yang mulai basah. Perlahan-lahan mengatur napas dan meredakan tawa gelinya. Windy kembali asyik memainkan ponselnya. Airin pun begitu, sedangkan Selva menyedot jus melonnya. Mengedarkan pandangan ke seluruh kafetaria utama Universitas Rajawali, tempat tetap untuk nongkrong mereka setiap harinya. Namun, aktivitas Selva terhenti ketika menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa ada seorang cowok yang sedang mengambil gambar mereka. Ya, di pojok seberang sana. Selva memicingkan mata. Menolehkan kepala pada Windy yang asyik dengan ponselnya dan Airin yang mencoba menghabiskan es pisang ijonya. Tak ada reaksi, cowok itu masih mengarahkan lensanya pada mereka. Walaupun Selva sudah jelas-jelas memergokinya. Ah, sepertinya cowok itu tidak memotret mereka bertiga secara bersamaan. Dia pasti memfokuskan lensanya ke salah satu dari mereka. Maka, Selva pun berbisik pada Airin. "Rin, lihat deh di sebelah sana. Pojok depan Soto Pak Yono." Kening Airin mengerut tetapi tetap memutar badannya. Seketika matanya membulat. Itu adalah kakak kelasnya. Muhammad Bagus Abqari. Terlebih lagi cowok itu masih mengarahkan lensa ke arah mereka. Sibuk menjepret-jepret. Diam-diam mereka tersadar oleh satu hal. Kendati sudah dipergoki Airin dan Selva, cowok itu masih belum menurunkan kameranya. Dapat dipastikan bahwa cowok tersebut tidak sedang memotret mereka berdua. Mata bulat Selva kini melirik ke arah Windy yang tersenyum sendiri menatap ponselnya. Kadang cewek itu terkikik-kikik. Memamerkan senyum manisnya pada ponsel di tangannya. "Win," panggil Airin. "Hm?" gumam Windy tanpa mengalihkan fokus matanya. "Eh, Win!" Kali ini Selva yang menegur cewek itu agar berhenti memainkan ponselnya. "Apa siiiiiih?" tanya Windy masih belum berhenti menatap layar alat komunikasi canggih itu. Dengan gemas Selva merebut ponsel tersebut dari tangan Windy. Sukses mendapatkan perhatian cewek itu. "Win! Coba lu lihat meja pojok depan Soto Pak Yono!" desis Airin. Windy otomatis menurut. Oh, betapa terkejutnya dia saat melihat cowok yang ditaksirnya selama satu tahun lebih itu duduk di sana sendirian dengan sebuah kamera di tangannya. Cowok yang tengah asyik memeriksa dan memandangi hasil jepretannya. Dari kejauhan pun dia dapat melihat dengan jelas bahwa Bagus yang poker face itu sedang tersenyum sendiri. Windy, bagaimana keadaanmu? Sehat?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD