BAB 1 - Runtuhnya Sebuah Harga Diri

1727 Words
"Dimana aku? Kenapa aku ada di tempat ini? Kamar siapa ini?" Gadis itu gelisah sambil melihat ke balik selimut, dimana dia mendapati tubuhnya tanpa busana. Namun, masih tersisa dalaman yang masih melekat di tubuhnya yang putih. "Siapa yang melepas semua bajuku ini?" Gadis itu mulai panik, "Apa yang aku lakukan semalam? Kenapa aku nggak ingat sama sekali? Oh ya, aku ingat kalau semalam aku sedang minum sirop bareng Sonya dan Zakira! Dimana mereka?" Kedua bolamata Clarinta Ramaniya alias Kay mulai beredar, menyapu seluruh isi kamar yang ditempatinya pagi itu. Dia bingung, rasanya ada yang aneh dan asing dengan kamar yang ditempatinya saat ini, dimana dekorasi kamar di rumahnya tidak seperti ini. Barang-barang yang ada di sana juga bukan barang-barang miliknya. Kamar ini terlalu sepi ornament, meskipun ada beberapa lukisan yang menempel di dinding dan beberapa pernak-pernik yang berada di atas meja, tapi semua itu tidak sama seperti di kamarnya yang bernuansa pink. Gadis periang itu rindu akan kamar kecilnya. Clarinta baru menyadari kalau ruangan itu bukanlah kamarnya. Baru kali ini dia tidak bisa mengingat apapun yang terjadi pada dirinya sendiri. Gadis itu bingung apalagi di ruangan itu tidak ada siapapun yang bisa diajaknya untuk bertanya, yang ada hanya dinding-dinding kamar yang membisu. Namun, tiba-tiba dari arah kamar mandi terdengar suara pintu dibuka, gadis itu panik, apalagi dirinya belum mengenakan baju sama sekali. Bergegas ditutupi tubuhnya dengan selimut tebal yang sudah melilit sedari tadi. Rasanya sudah tidak ada waktu baginya untuk mengenakan baju. Sepatu sneaker yang berada tepat di bawah ranjang, segera diambilnya perlahan, untuk berjaga-jaga, siapa tahu orang itu bakal berbuat macam-macam. Clarinta harus lebih waspada. Tak lama kemudian muncul sesosok laki-laki dari arah kamar mandi. Gadis itu cemas, jantungnya berdegup kencang, apalagi tubuh laki-laki itu begitu kekar dan tinggi menjulang, hanya dibalut handuk dari pinggang ke bawah, sementara wajahnya tertutup oleh handuk, sehingga dia tidak bisa dengan jelas melihat wajahnya. Laki-laki itu keluar dari kamar mandi sambil menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk. Rasanya inilah kesempatan yang tepat baginya untuk menuntut balas, siapapun orang itu, laki-laki ini telah mempermainkan dirinya. "Plaaakkk!" Lemparan sepatu sneaker yang dilayangkannya tepat mengenai sasaran ke arah kepala pria tersebut, pria itu pun berteriak kesakitan, lalu membuka handuk yang menutup kepala, sesaat gadis itu terperangah karena ternyata yang berdiri di depannya saat ini tidak lain adalah Janitra Bramantyo, alias Bram, pria yang sangat dibencinya. "Kamu ...?" Clarinta kaget begitu menyadari kalau Bramlah yang membawanya ke kamar ini, dan anehnya laki-laki itu bukannya marah gara-gara lemparan sepatu sneaker yang mengenai kepala, dia malah tertawa kecil sambil mengambil sepatu sneaker tersebut lalu mengembalikan pada si empunya. "Kamu sudah bangun rupanya?" Senyum nakal Bram mulai menghias wajahnya yang menjijikkan buat gadis itu. "Kamu apakan aku?" bentak Clarinta keras, Bram hanya tersenyum sinis. Dia mencoba mencari jawaban dari mata laki-laki yang menjijikan yang memandang tajam ke arahnya, seolah-olah ingin menelannya bulat-bulat. "Aku apakan? Aneh kamu ini, bukankah kita sama-sama menikmatinya semalam, Sayang?" Bram tersenyum menang sambil mengambil kemeja dan celana panjang kemudian kembali ke kamar mandi untuk mengganti baju di sana. "Nggak mungkin! Itu nggak mungkin! Bilang ke aku! Semua ini hanya sandiwaramu saja! Iya, ‘kan, Bram!'' Clarinta berteriak sekeras mungkin, agar laki-laki itu mendengar kekesalannya yang membuncah di dad4. Tak lama kemudian pria itu keluar dari kamar mandi lengkap dengan celana panjang dan kemeja yang belum dikancing sehingga dadanya yang putih dan bidang terpampang dengan jelas di depannya. Gadis itu memalingkan wajah. Dia tidak menggubris sama sekali, amarahnya mulai tidak terbendung, seakan-akan ingin mencabi-cabik wajah Bram yang menjijikan baginya. "Kamu apakan aku, Bram?" "Harus berapa kali aku bilang, Kay? Semalam adalah malam yang indah untuk kita berdua, apa kamu nggak ingat?” goda Bram dengan matanya berbinar terang sambil tersenyum nakal. “Kamu nggak inget sama sekali?” Clarinta semakin kesal melihat tingkah Bram yang pongah, laki-laki seperti Bram harus diberi pelajaran. Dia tidak boleh seenaknya menginjak-injak harga diri seorang perempuan dengan mempermainkan seperti ini! Perempuan bukan boneka yang bisa dimainkan begitu saja, kalau sudah bosan lalu dibuang! Dia tidak mau jadi permainan Bram. “Kasihaan, kamu tahu? Semalam kamu sangat menikmati semua sentuhan yang aku berikan, di setiap lekuk tubuhmu ini,” lanjut laki-laki itu sambil tersenyum sinis dan mengejek. "Nggak mungkin! Itu nggak mungkin! Aku nggak percaya! Kamu ini! Kamu memang laki-laki yang tidak bermoral!" Kembali Clarinta melempar sepatu sneaker yang lain ke arah Bram dengan keras. Namun, laki-laki itu berhasil mengelak dengan cepat. Bram memang selalu fokus di setiap kesempatan, termasuk fokus pada hal-hal yang tidak terduga seperti ini. Latihan taekwondo-nya selama ini, membuat dirinya selalu waspada. "Yeee ... nggak kena! Kali ini lemparanmu meleset, Sayang!" "Kenapa sih kamu nyebelin banget jadi orang? Aku salah apa? Sampai kamu berbuat seperti ini sama aku! Kamu nggak serius, ‘kan?" teriaknya keras. Perempuan itu tidak terima diperlakukan seperti ini oleh Bram, tanpa kejelasan. "Aku harus ngomong apalagi, Kay? Keluarkan semua rasa kekesalanmu itu, biar kamu puas!" sahut Bram sambil mengenakan sepatu. "Dan asal kamu tau, ini adalah hadiah atas semua kesombonganmu! Aku puas! Terimakasih untuk malam yang indah yang kamu berikan untukku, Sayang,” ejek Bram sinis sambil melirik tajam padanya. “Dan, kalau kamu minta aku untuk menikahimu karena hal ini, walaupun kamu sudah mengata-ngatai aku, meskipun itu hanya ada dalam benakmu, aku terima. Aku memang seperti yang kamu pikirkan, tapi walaupun begitu, aku nggak akan lepas tangan, Sayang,” ujar Bram sambil berdiri dan mengenakan jas yang berwarna senada dengan celana kainnya, perfect! Clarinta akui pria di depannya ini memang tampan, penampilannya pun sangat fashionable. Namun, sayang … hatinya tidak setampan penampilannya, apalagi dia baru saja menghancurkan masa depannya. Gadis itu jadi enggan melihatnya. “Kamu bisa mengandalkan aku untuk itu, Kay. Aku tetap akan bertanggung jawab sama kamu, aku janji!'' Janitra Bramantyo memasang senyum killer-nya dan bersiap hendak pergi meninggalkannya. Gadis itu hanya terdiam sambil merapatkan selimut tebal yang membalut tubuhnya dan menatap kesal pada pria yang ada di depannya. Enteng sekali dia bicara seperti itu, kalau dia akan bertanggungjawab, seolah-olah hal ini sudah biasa baginya, rutuknya geram. "Terima kasih untuk semalam, Sayang! Kamu tahu, kamu jadi kelihatan tambah cantik kalau marah seperti ini, aku suka, see u soon!" lanjut Bram sambil menghampiri gadis itu yang masih terduduk di atas ranjang dan memegang dagunya yang runcing. Namun, Clarinta segera memalingkan wajah dengan amarah yang membuncah di dalam dad4. Kalau kondisinya tidak seperti ini, sudah sedari tadi dia memberikan pelajaran ke laki-laki menyebalkan ini, hingga merintih minta ampun. Bram sendiri hanya tersenyum nakal. "Maafkan aku, Kay. Aku hanya ingin meruntuhkan kesombonganmu selama ini dan saat ini kamu sudah bisa merasakan apa yang aku rasakan kemarin dan aku puas!" batinnya dalam hati, tak lama kemudian laki-laki itu segera berlalu meninggalkan Clarinta sendirian. Clarinta masih termangu di atas tempat tidur, saat Bram pergi meninggalkannya. Dia kesal dengan dirinya sendiri, kenapa dia malah tidak berdaya menghadapi laki-laki itu. Hatinya bergejolak beribu perasaan, dari rasa marah, muak, benci, jijik, kesal, sedih, bingung, gelisah semuanya bercampur menjadi satu. Dengan balutan selimut di tubuhnya, bergegas dia masuk ke dalam kamar mandi, kemudian dibukanya shower yang memancurkan air di atas kepala. Dibasahinya seluruh tubuh dan rambutnya yang hitam dan panjang hingga sepinggang. Digosoknya lengan, wajah, hingga bibirnya keras-keras, seolah-olah ingin menghilangkan semua bekas sentuhan Bram ditubuhnya yang dia sendiri tidak tahu bagian mana yang disentuh. Gadis itu menangis pilu dan teringat akan ayahnya yang sedang terbaring lemah di rumah sakit saat ini. Dia lalu duduk bersimpuh di lantai dan ditelungkupkan wajahnya yang cantik ke dalam lipatan lutut, sementara kucuran air dari shower atas dibiarkan menghujani tubuhnya bertubi-tubi. Clarinta menangis sejadi-jadinya. Baru kali ini dia merasa menjadi gadis yang paling ceroboh, yang lalai dan tidak bisa menjaga harga dirinya sendiri. Lalu apa yang akan dia katakan pada kedua orangtua dan keluarganya? Bagaimana dia bisa menatap mata Alva, kekasihnya yang menaruh banyak harapan padanya? Haruskah dia menikah dengan Bram? Laki-laki yang jelas-jelas telah menginjak-injak harga dirinya yang selama ini dia agung-agungkan? Clarinta teringat akan pertemuannya dengan laki-laki itu beberapa hari yang lalu. *** Malam itu setelah selesai menunjukkan performance-nya dalam menari bersama group dancer-nya di salah satu acara gathering sebuah perusahaan batu bara yang baru saja mengadakan joint venture dengan perusahaan Jepang, Clarinta segera menghampiri sahabatnya yang sudah menunggunya sedari tadi di sudut ruangan. "Muty! Akhirnya kamu datang juga, sudah makan?" Clarinta bergegas menggeret lengan Mutya ke meja prasmanan di mana teman-teman group dancer-nya yang lain sedang menikmati makanan yang tersedia di sana. Malam itu ballroom hotel memang sudah sedikit lengang, hanya tinggal segilintir orang yang berada di sana, seperti sekumpulan orang-orang Jepang yang masih asyik berdiksusi, juga beberapa eksekutif muda yang masih asyik menikmati wine mereka sambil ngobrol satu sama lain, termasuk sesosok laki-laki yang mengenakan kemeja hijau lumut dengan dasi warna merah menyala yang sudah dilonggarkan ikatannya di leher. Pria itu kelihatan sedikit lebih rilex dengan wine di tangan sambil bersandar dengan santai di kursi di sudut ballroom tersebut sambil menatap tajam ke arahnya. Gadis itu tidak suka dengan tatapan pria itu, seakan-akan ingin menelan dirinya hidup-hidup. Dibalasnya tatapan laki-laki asing itu dengan sedikit memicingkan mata sambil menikmati makanan dengan berdiri di dekat meja prasmanan, sementara pria tadi tiba-tiba berbisik pada salah satu temannya dan tak lama kemudian orang suruhan pria asing itu sudah ada di depannya. "Selamat malam ladies, kenalkan namaku Mirza," ujar laki-laki yang bernama Mirza sambil mengulurkan tangannya ke depan, mencoba memperkenalkan diri ke Clarinta dan Mutya. "Yaa, selamat malam!" Clarinta jadi penasaran. "Apa kalian sudah siap?" Mirza malah balik bertanya. "Siap? Siap untuk apa?" "Siapa sih dia, Kay?" bisik Mutya sambil menyenggol lengan sahabatnya, gadis itu hanya mengendikkan bahunya ke atas. "Aku sendiri nggak tau!" bisiknya lirih. "Sudah sudah, dari pada kita saling bingung seperti ini, bagaimana kalau kita ketemu sama temanku, Bram? Maksudku Pak Janitra Bramantyo!" Mirza menunjuk ke arah pria itu yang menatap Clarinta sedari tadi. Tatapannya sangat tajam, setajam mata pisau seorang Ninja yang menghunus lawannya, tajam dan tidak berkedip sama sekali dari kejauhan. "Tapi apa hubungannya? Aku nggak kenal sama temanmu itu!" sahut gadis itu ketus sambil mengangkat dagunya ke atas. "Heh! Jangan macam-macam ya sama kita! Sebenarnya apa sih mau kamu?" Mutya yang mulai terganggu dengan kehadiran pria bernama Mirza ini, ikut membela sang sahabat. "Maka dari itu lebih baik kita ketemu saja sama temanku, Bram. Dia yang akan menjelaskan semuanya, mariii ...." Mirza menyilahkan tangannya, karena penasaran Clarinta pun menurut mengikuti ajakan Mirza diikuti oleh Mutya yang mengekor di belakang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD