32. Luka itu akan membekas

2101 Words
Prita menatap cowok di hadapannya dengan sorot tajam nan sinis. Sebenarnya, dia malas sekali jika harus berhadapan secara langsung dengan orang itu. Namun keadaan memaksanya untuk tetap berdiam diri dan menunggu perihal kalimat apa yang akan cowok di hadapannya katakan. Seandainya bukan persoalan penting, maka Prita bersumpah untuk bergegas pergi saja tanpa harus menunggu apa-apa lagi. "Maaf," gumam cowok itu pelan. Meski begitu telinga Prita masih mampu mendengar dengan jelas apa yang baru saja diucapkan oleh sosok di hadapannya. Cowok itu yang tak lain adalah Gerraldi Hutama. Dia menarik napas dalam yang kemudian ia embuskan dalam satu desahan panjang. Sekilas, dia menunduk dan menatap ujung sepatunya yang ia ketuk-ketukkan ke tanah. Sejurus kemudian, Gerrald pun mengangkat wajahnya serta menatap Prita dengan penuh penyesalan. "Perihal yang udah gue tuduhin ke elo tadi. Gue minta maaf, Prita...." ujarnya lebih lugas dan nyata. Sementara itu, Prita masih tertegun karena tak menyangka jika orang seegois Gerrald di masa lalu ternyata masih mempunyai nurani dan tekad yang berani dalam mengucap kata maaf. "Wait! Apa gue gak lagi salah dengar, huh?" lontar Prita menaikkan sebelah alis. Perempuan itu seakan sedang bertanya-tanya juga pada diri sendiri. Benarkah yang ada di hadapannya sekarang itu adalah Gerraldi Hutama? Cowok yang saat di masa lalunya dulu justru adalah orang paling egois dan kejam sampai Prita tidak bisa melupakan hal itu hingga sekarang. Gerrald meneguk ludahnya sendiri. Wajahnya sedikit memerah menahan malu atas perbuatannya di masa silam. Tidak heran jika Prita berkata begitu, toh apa yang dia ragukan memang wajar. Dulu, Gerrald kan bukanlah manusia yang memiliki pribadi yang baik seperti masa sekarang. Jauh sebelum Gerrald mengenal Diary, dia tidak ada bedanya dengan Prita yang sekarang. Bahkan, Gerrald seakan tidak tanggung-tanggung dalam memperlakukan buruk orang yang menurutnya tidak sepadan untuk berteman dengannya. Sungguh ironis bukan? "Gue sadar. Perlakuan gue di masa lalu mungkin keterlaluan. Tapi demi Tuhan, gue--" "Gak ada gunanya lo menyesali semuanya sekarang, Ger. Lo lihat? Gara-gara trauma yang lo bikin. Imbasnya gue jadi apa di masa ini, hem? Apa bahkan lo gak sadar ke arah itu, Gerraldi Hutama si penjahat wanita?" lontar Prita teramat sinis dan menohok hati cowok itu secara gamblang. Prita masih setia dengan tatapan tajamnya. Walaupun Gerrald sudah menunjukkan raut menyesalnya yang sungguh-sungguh, tapi hal itu tidak menjadikan Prita langsung percaya apalagi luluh dalam sekejap. Tidak! Prita bukan gadis culun yang bisa dikelabui lagi oleh sikap palsu seseorang. Semenjak meninggalkan versi lamanya, Prita justru adalah orang yang senantiasa berwaspada dalam menilai gerak-gerik seseorang terutama manusia sejenis Gerrald yang masih berdiri lunglai di hadapannya. "Lo sama sekali gak mau memberi kesempatan ke gue, Prit?" tanya cowok itu menatap gusar. Kening Prita lantas berkerut, "Kesempatan? Dalam rangka apa, huh?" lontarnya mendengkus angkuh. Gerrald mulai merasa frustrasi. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa demi menebus rasa bersalahnya pada Prita yang saat dulu pernah dilukainya hingga membekas sampai sekarang. Sungguh, seandainya waktu bisa diputar dengan mudah, mungkin Gerrald tidak akan bertabiat sejahat dan seegois itu. Tapi apalah daya? Yang terjadi pada masa silam dulu hanyalah sebuah gelagat yang melekat dalam diri Gerrald yang masih labil dalam bertindak. Dulu, dia memang teramat merasa bahwa dirinya paling segalanya. Sehingga, ia bisa melakukan apapun sesuka hatinya. "Gue minta maaf yang sebesar-besarnya, Prit. Gue sangat menyesali atas apa yang gue lakuin dulu ke elo. Gue--" "Sejujurnya, gue gak butuh kata maaf dari lo, Ger." Gadis itu tahu-tahu memotong kalimat cowok di hadapannya sambil bersedekap santai. "Maksud lo?" tanya Gerrald tak paham. "Kata maaf itu cuma kiasan. Bisa dimanipulasi dengan raut melas yang meyakinkan. Tapi sayang, gue gak senaif itu, Ger. Mau lo minta maaf ribuan kali pun gue gak akan menerimanya dengan tulus kalo lo sendiri gak menyertakan bukti yang nyata mengenai lo yang katanya menyesali perbuatan lo yang dulu ke gue," tutur Prita sulit dimengerti. "Terus, intinya?" "Intinya. Gue bisa maafin lo tapi dengan satu syarat!" "Syarat?" pekik Gerrald setengah membelalak. "Iya. Itu pun, kalo lo mau ngelakuinnya. Mungkin, gue bisa mempertimbangkannya juga kalo lo berkenan...." tukas Prita mengangkat bahu. "Tapi, syarat apa yang lo inginkan dari gue?" "Gak susah kok. Cukup dengan lo mengakui gue sebagai pacar lo di depan umum aja itu kayaknya udah lebih dari cukup buat memenuhi syarat yang gue minta...." cetus Prita mengejutkan. Bersamaan dengan itu, sebuah ponsel pun meluncur jatuh dari tangan seseorang yang tak sengaja mendengarnya walau hanya baru sepenggal kalimat terakhir yang ia cerna.                                                                                        *** "Diary, tunggu, Diary! Aku bisa jelasin. Ini gak seperti yang kamu bayangin. Aku--" "Kamu apa, Ger?" potong gadis itu menghentikan langkah yang sedari tadi berusaha untuk Gerrald hentikan. "Kamu punya konspirasi sama Prita gitu? Terus, biar apa? Biar aku makin tersakiti dengan cara yang kalian buat berdua, gitu?" sentak Diary dengan air mata yang berlinang di kedua belah pipinya. Gerrald menghela napas. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Diary akan muncul bahkan melihat dia yang sedang bersama Prita beberapa saat yang lalu. Sungguh, tidak ada niat sedikit pun untuk Gerrald melukai hati Diary. Dia bahkan sangat tulus mencintai gadis itu. Hanya saja, permintaan Prita terlalu mendadak dan itu pun belum sempat Gerrald gubris karena Diary keburu datang mendengarkan permintaan konyol yang Prita ajukan. "Udahlah, Ger. Aku pikir, kamu itu beda dari yang lain. Tapi nyatanya, kamu sama aja. Kamu sama Prita gak ada bedanya. Kalian punya kesamaan yang berhasil bikin hati aku selalu sakit karena ulah kalian!" seru Diary meradang. Dia pun menepis tangan Gerrald yang semula berniat untuk menyentuh bahunya. "Gak gitu, Di. Aku justru mencintai kamu--" "CUKUP!!!!" jerit Diary sembari menutup kedua telinganya. Rasanya, untuk sekadar mendengar kata cinta yang terlontar dari mulut Gerrald saat ini Diary tidak sanggup. Hatinya sudah telanjur sakit, perasaannya pun sudah terkoyak setelah ia tahu betapa berengseknya cowok yang selama ini ia anggap sebagai malaikat pelindungnya. Seandainya ia sadar akan hal itu jauh dari sebelum rasa itu tumbuh di hati, mungkin sakitnya tidak akan sekentara sekarang. Tapi nasi sudah menjadi bubur, perasaan pun sudah tumbuh berkembang ibarat bunga yang mekar. Diary tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini. Ia hanya perlu menyendiri dan merenungkan betapa malangnya dirinya berada di dunia ini. "Maaf, Ger. Aku mau kita jalan sendiri-sendiri aja dulu," ucap gadis itu terisak. Lantas, ia pun segera pergi berlari menelusuri koridor panjang yang untungnya tidak sedang dilalui oleh penghuni SMA Pelita lainnya.                                                                                     *** Gadis berambut sebahu itu sedang berjalan sendirian di sepanjang lorong sekolah. Padahal, bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 15 menit yang lalu. Tapi entah kenapa, dia justru malah baru akan meninggalkan sekolah di saat yang lainnya sudah berhamburan lebih dulu. "Sekali tepuk, dua lalat yang kena. Hebat kan gue?" gumamnya seorang diri. Tak lupa, senyum puas pun tersungging nyata di bibir tebalnya. "Gue gak berniat buat pisahin mereka dalam waktu dekat. Tapi ternyata, dua sejoli itu malah lebih milih buat menjauhi satu sama lain dengan sendirinya. Well, di sini gue gak jahat-jahat amat kan? Toh mereka sendiri yang memutuskan. Gue kan cuma kasih sedikit jalan aja supaya mereka kepisah. Dan gak nyangkanya, harapan gue justru terkabul dalam waktu yang cepat. Kasihan, mereka kan baru pacaran terhitung tiga hari sama sekarang. Tapi gara-gara ini, hubungan mereka malah kandas tanpa diduga...." bebernya berbicara sendiri. Seolah dia sangat gembira dengan fakta yang ia lihat dan dapatkan secara langsung. Setelah merasa puas dan bahagia tak terkira, gadis itu lantas bersiap untuk meninggalkan lorong sekolah. Sambil bersenandung pelan, ia pun melangkah riang dengan senyum yang tak pernah pudar di bibirnya. Akan tetapi, sebelum ia berhasil melintasi pekarangan sekolah yang akan membawanya ke koridor utama paling depan, tiba-tiba seseorang muncul dari belakang dan menyambar tangan gadis itu lumayan kasar. "Aw!" pekiknya nyaring. Kemudian, saat ia mendapati sosok yang menyebabkan pergelangan tangannya sakit, matanya pun membelalak pertanda ia sangat terkejut. "E-elo?" pelototnya tergeragap. "Kenapa? Lo kaget lihat gue di sini, hem?" lontar sosok yang kini berhadapan dengannya menatap tajam. Gadis berbibil tebal itu menelan salivanya yang mendadak kesat. Dia tak menyangka kalau orang yang sempat dijadikan kambing hitam olehnya ternyata masih ada di lingkungan sekolah. "Lo sengaja kan jatuhin jepitan rambut gue di depan pintu toilet?" tembaknya langsung tanpa basa-basi terlebih dahulu. Merasa menjadi tertuduh, ia pun mencoba untuk berkelit semampu yang dia bisa. "Je-jepitan rambut? Maksud lo apa? Gu-gue--" "Gak usah belaga polos, Keyna! Apa lo lupa, kalo lo belajar banyak hal dari gue selama ini hah?" penggal orang itu memelotot. Dia adalah Prita. Sosok yang memiliki jepitan rambut yang entah bagaimana caranya bisa sampai dicuri oleh Keyna dan dijadikan sebagai barang bukti palsu demi menghilangkan jejak perilakunya sendiri. "Prit, gu-gue--" "Its okey!" sela Prita kembali. "Gue gak akan mempermasalahkan hal itu untuk saat ini. Malah, gue mau berterima kasih sama lo. Berkat ide cemerlang lo yang bahkan gue sendiri gak terlibat dalam hal itu, lo berhasil bikin si cupu dan si Gerrald kepisah kayak sekarang. Well, dengan begitu ... gue gak harus susah payah lagi buat bikin mereka gak lengket-lengketan kayak kertas yang dikasih lem perekat," tutur Prita tersenyum miring. Hal itu membuat Keyna mendesah lega. Pikirnya, Prita akan marah dan tidak terima karena sudah dijadikan bahan fitnahan. Tapi nyatanya, cewek itu justru malah berterima kasih padanya. Tentu Keyna pun sedikit lebih bangga dengan dirinya sendiri. Meski Diary adalah sepupunya, tapi tetap saja, Keyna bahkan tidak akan bisa semudah itu melupakan betapa merananya ia hidup tanpa kasih sayang seorang ibu. Gara-gara menyelamatkan Diary, ibunya harus pergi untuk selamanya di saat seharusnya ia sedang merawat dan membesarkan Keyna yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang seorang ibu. Maka, dengan menunjukkan dua sisi yang dimilikinya. Keyna pun berupaya membuat Diary agar hidupnya tidak bahagia. Di satu sisi, Keyna akan bersikap layaknya seperti seorang sepupu jika sedang bersama dengan Diary. Tapi di sisi lain, Keyna akan berubah menjadi musuh dalam selimut tanpa mampu Diary sadari.                                                                                         *** Sruutttt- Diary membuang ingus untuk ke sekian kalinya. Hari bahkan sudah sore. Kecerahan di langit pun sedikit meredup dari sebelumnya. Gadis itu seakan enggan sekali untuk beranjak. Dia masih ingin berlama-lama di sana meski ia tahu bahwa tak lama lagi hujan akan turun. "Gak susah kok. Cukup dengan lo mengakui gue sebagai pacar lo di depan umum aja itu kayaknya udah lebih dari cukup buat memenuhi syarat yang gue minta...." Entah mengapa, kalimat yang Prita utarakan saat dia mendengarnya tanpa sengaja sewaktu sedang mencari Gerrald ke taman belakang sekolah kini malah terngiang bak tertanam dalam ingatan. Diary tidak mengerti, bagaimana mungkin Prita mengajukan permintaan yang bahkan tidak boleh Gerrald terima setelah ia meminta Diary untuk menjadi pacarnya beberapa hari yang lalu. "Kenapa kamu jahat, Ger? Aku pikir, kamu satu-satunya orang paling baik yang aku temuin di dunia ini. Tapi ternyata, kamu adalah satu-satunya orang juga yang bikin hati aku hancur kayak gini...." racau Diary di tengah isakannya. Bersamaan dengan itu, tetesan air dari langit pun mulai turun. Sejenak, Diary menengadahkan wajahnya guna memastikan apakah air yang menetes ke tangannya itu adalah air hujan atau justru hanya cipratan air biasa yang terbawa oleh desauan angin yang berembus? Namun sayangnya, tetesan air itu memang berasal dari curah hujan yang bahkan kini sudah mulai berbondong-bondong guna membasahi bumi. "Bahkan langit pun tau apa yang harus dia lakukan demi menyamarkan air mata ini. Tapi kamu, Ger? Betapa teganya kamu hari ini. Membiarkan aku terpuruk bersedih sendirian tanpa berusaha untuk sekadar datang mencari apalagi menemani...." gumam Diary getir. Hujan sudah turun begitu deras, tapi gadis itu seolah sengaja ingin terus berdiam diri di bawah guyuran air yang datang secara langsung dari langit sana. Hingga tak lama kemudian. Seseorang datang berlari dari arah pintu masuk taman. Kemudian, saat ia menemukan sosok yang sejak tadi dicemaskannya, rasa lega pun ia dapatkan. Setidaknya, kini ia sudah tidak terlalu khawatir akan keadaan sang gadis. Lalu, sembari mengusap wajah yang sudah dipenuhi rintikan air hujan, sosok tersebut pun mulai melangkah lagi guna menghampiri gadis yang ingin ditemuinya itu. Lantas, setelah langkah kakinya berhenti tepat di dekat kursi taman yang diduduki sang gadis, ia pun sigap mendekati gadis tersebut dan memeluknya secara spontan dengan sangat erat. "Maafin aku, Diary. Maafin aku...." bisiknya lirih nan tulus. Sementara itu, tubuh yang dipeluknya di bawah derasnya hujan pun hanya bisa membeku tanpa mampu berkutik barang sedetik pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD