4. Gadis yang Malang

2465 Words
Dear Diary, GERRALD.... Cowok keren nan baik hati yang pernah aku temui di taman komplek tempo hari dan sempat ngobrol-ngobrol hingga hari gelap di hari itu akhirnya dipertemukan kembali denganku. Meski awalnya Gerrald hampir menabrakku, tapi untungnya Tuhan masih ingin melindungiku. Gerrald keburu menghentikan motornya tepat di jarak satu meter dari posisiku berada. Namun di balik itu semua aku menerima hikmah dari kejadian itu, Gerrald menebus keteledorannya dengan mengantarkanku pulang sampai depan rumah. Hemm ... Gerrald, Rasa ngilu di pergelangan tangan yang bekas diurut pun bahkan seketika hilang begitu saja. Sepertinya kehadiran Gerrald sekaligus menjadi obat ampuh bagi rasa sakitku. Selain mengantar hinggap depan rumah, Gerrald juga meminta nomor kontakku agar bisa dihubunginya nanti. Entah kenapa, perasaan bahagia seketika membuncah di hatiku. Aku harap, Gerrald bisa menjadi teman baikku hingga. Kupikir, Gerrald adalah tipe teman yang setia dan peduli pada sesama.    Di biarkanlah buku hariannya itu terbuka di halaman yang baru saja ia isi dengan curahan hatinya hari ini. Sementara itu, Diary merentangkan kedua tangan sembari menggeser kursi belajar yang didudukinya ke belakang. Lalu, ia mulai beranjak dan pindah ke atas tempat tidur.      “Non!” seru Minah membuyarkan rasa bahagia Diary. Gadis itu lantas menoleh ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup rapat, “Buka aja, Bik ... gak dikunci kok !!” sahut Diary tanpa mau repot mengubah posisi santainya. Pintu didorong dari luar, muncullah Minah dengan segelas jus semangka favorit Diary.      “Ini, Non ... Bibik bawakan segelas jus semangka sesuai permintaan  Non Diary....” ucap Minah mengangkat nampan di tangannya.      “Oh iya, taruh di meja aja, Bik. Nanti aku minum,” suruh Diary menunjuk meja belajarnya. Minah mengangguk patuh, lantas menaruh jus yang dibawanya di atas meja.      “Ada yang bisa Bik Minah bantu lagi, Non?” tanya Minah sopan.      “Enggak ada, Bik. Makasih, ya....” jawab Diary tersenyum ramah.      “Ya sudah kalo begitu, Bik Minah kembali ke dapur lagi ya, Non....” izin Minah undur diri. Diary hanya mengangguk. Selepas Minah keluar dari kamar dan menutup kembali pintunya, Diary pun bangkit guna mengambil segelas jus yang ditaruh Minah di atas meja lalu menyeruputnya sedikit demi sedikit.      “Kira-kira, kalo aku kirim pesan ke Gerrald sekarang ... ganggu apa enggak ya?” pikirnya menimbang. Diraih ponsel yang tergeletak di atas meja belajar, lalu jemarinya bergerak lincah menari-nari di atas keypad ponsel. Hai Ger, ini Diary ... kamu lagi apa ? Setidaknya, seperti itulah Diary mencoba menyapa Gerrald lewat pesan singkat. Akan tetapi, pada saat Diary hendak menekan tanda kirim, ia malah mengurungkan niatnya dan buru-buru dihapusnya lagi isi pesan yang baru saja mau ia kirim sesaat lalu.      “Enggak deh enggak, aku kan cewek ... masa sapa-sapa cowok duluan, sih," decaknya menggeleng, "Aku tunggu dia kirim pesan duluan aja lah....” putusnya kemudian. Diary menguap lebar, rasa kantuk tiba-tiba mendera.  Karena tidak dapat menahan rasa kantuk yang datang, akhirnya Diary pun memilih untuk tidur sejenak sembari menunggu Gerrald mengiriminya pesan.                                                                                      ¤¤¤ Saat terbangun, Diary melihat ke arah jendela dan ternyata sudah sore. Diary mengucek mata dengan jari telunjuk kanan. Menengok ke arah jam weker yang menunjukkan bahwa ternyata sekarang sudah pukul empat. Diary beranjak dari tempat tidur, lalu membuka pintu kamar dilanjutkan dengan kedua kaki yang mengayun melangkah keluar. Sayup-sayup, Diary mendengar suara orang sedang berbincang-bincang di bawah sana, Diary berhenti sejenak sembari memperjelas pendengarannya.“Kok, kayak suara Mami sama Papi ya ... apa mereka udah pulang?“ gumam Diary menerka-nerka. Untuk lebih jelasnya, Diary pun segera berjalan menuruni tangga. Mencari kepastian yang dia terka sendiri sebelumnya. Sesampainya di bawah tangga, Diary berjalan ke ruang tengah dan ternyata dugaannya benar.      “Mami, Papi!” seru Diary. Keduanya menoleh, namun tidak seantusias yang Diary harap. Membuat Diary tentu saja menjadi kesal dan dongkol.      “Eh, kamu udah bangun ... Mami kira kamu masih tidur,“ hanya kalimat itulah yang Diary dengar dari mulut Maminya. Itu pun dengan pandangan yang tetap setia menatap layar laptop. Merasa sedikit kecewa pada sang mami, Diary pun beralih ke papinya yang juga sedang sibuk bermain dengan beberapa arsip yang berserakan memenuhi meja ruang tengah. Diary bertambah kesal sekaligus jengkel ketika papinya bersikap lebih parah dari maminya. Tidak ada sapaan atau sekadar kata 'Hai, Sayang?' Atau 'Hai, Nak?', membuat Diary semakin geram karena ternyata, di saat mereka bisa pulang ke rumah pun mereka malah tetap sibuk dengan dunianya. Lantas , untuk apa mereka pulang kalau hanya pekerjaan dan pekerjaan saja yang mereka pedulikan? Diary mencoba untuk bersabar. Dia lantas memilih untuk duduk di sebelah maminya yang masih fokus di depan laptop.      “Mi ... Mami bisa gak sih gak dulu ngurusin pekerjaan?“ protes Diary.      “Ya enggak bisa lah, Sayang, kamu kan tau sendiri kalo Mami itu supersibuk....” jawab Maminya tanpa menoleh. Diary mendecak kesal, lalu beralih ke papinya.“Pi ... Papi juga, kenapa sih selalu pekerjaan yang diutamakan? Apa kalian gak bisa sehari aja gitu gak urusin pekerjaan dulu, kalau pun gak dua-duanya, ya minimal salah satunya gitu loh, Pi ... Mi,” rajuk Diary pada kedua orangtuanya.      “Mana mungkin Diary ... pekerjaan Papi sama Mami itu kan banyak, apalagi sekarang kita sedang dikejar deadline, gak mungkinlah kalo kita berleha-leha sampai meninggalkan pekerjaan....” sahut papinya tak acuh. Diary mendengus kasar. Dia semakin kesal hingga kakinya dientak-entak ke lantai.      “Terus kalo pekerjaan yang menjadi prioritas Papi sama Mami, kenapa kalian harus pulang? Kenapa gak selamanya aja tinggal di tempat kerja sana?” teriak Diary meradang. Membuat mami dan papinya mendongak lantas menatap anaknya serempak dengan pandangan aneh di mata.      “Diary, kamu ini kenapa sih? Kok malah marah-marah kayak anak kecil begitu. Kami itu kerja mati-matian cuma demi kamu, cuma untuk memenuhi segala kebutuhan kamu, kamu ngertiin posisi kami dong sebagai orangtua yang berusaha untuk membahagiakan kamu,” tukas maminya mencoba beralibi. Diary memutar bola mata jengah,“Tapi gak harus terus-terusan juga kan? Dari dulu selalu saja pekerjaan yang dipentingkan. Sedangkan Diary, kebagian jadi pihak yang selalu ditinggal di rumah dan hanya ditemani Mbok Jen, Bik Minah juga Pak Rahman. Apa bahkan kalian gak ada keinginan untuk memiliki waktu khusus sama Diary? Bahagia itu gak harus selalu dinilai dari segi materi yang berlimpah aja, kan?“ urai Diary blak-blakan. Sehabis berbicara panjang lebar seperti itu, Diary memutuskan untuk pergi kembali ke kamar. Rasanya, tidak akan berguna seandainya Diary terus berbicara ini itu pun. Toh, yang orangtuanya pentingkan hanya selalu harta. Anaknya kesepian mungkin bukan masalah besar, tapi jika harta mereka lenyap bisa jadi itulah masalah yang sebenarnya.      “Diary!” panggil maminya berniat mengejar. Akan tetapi, dengan sigap papi Diary malah mencegahnya.      “Sudahlah, tidak usah dikejar. Nanti juga Diary baikan sendiri. Ayo segera selesaikan, bukankah kita masih ada penerbangan ke Surabaya malam ini?” ucap papi Diary.                                                                                      *** Kring kring kring. Suara alarm berdering begitu nyaring. Bunyi memekakkan itu berhasil membangunkan Diary dari tidurnya semalam. Diary menggeliatkan tubuh yang masih dalam posisi berbaring, lalu perlahan menyingkapkan selimut hangat nan lembutnya ke pinggir. Setelah tadi malam Diary menangis hingga ketiduran lagi. Kini Diary bangun dari rebahan santainya, sejenak ia memicingkan sebelah mata guna melihat ke arah jam weker yang masih berdering. Diraihnyalah benda berbunyi itu, lantas Diary segera menekan tombol off supaya weker tersebut segera berhenti dalam teriakan peringatannya. Pasca bunyi alarm tak berdering lagi, Diary mencoba meregangkan otot pinggangnya ke kiri dan ke kanan, lalu memutar leher ke arah yang sama. Setelah merasa enakan, Diary lantas beranjak sekaligus menyeret kakinya untuk masuk ke kamar mandi yang terletak di ujung sebelah kiri. Setengah jam berlalu, Diary sudah siap dengan pakaian seragam seperti biasanya. Wajahnya hanya dipoles bedak bayi sedikit, sedangkan rambutnya disisir rapi kemudian dengan dihias jepitan kecil di bagian pinggir rambutnya. Sesudah dirasa rapi dan selesai dalam segala hal, Diary pun menyambar tas yang menggantung di kepala kursi belajar. Diary menuruni tangga dengan santai lantas ia mendapati Jenny yang tengah menyiapkan menu sarapan pagi di atas meja.      “Mbok Jen,” tegur Diary. Jenny lantas menoleh, “Eh, Good morning, Non Diary ... you look so beautiful this morning....” ucap Jenny memuji. Diary hanya mendengus lalu bertanya,“Mami sama Papi mana, Mbok?” Diary lekas duduk siap menyantap menu sarapan pagi ini.      “Loh ... Non Diary tidak tahu toh? Nyonya dan Tuan kan sudah berangkat lagi last night,“ jawab Jenny sembari menuangkan air putih ke gelas nonanya. Refleks Diary menganga lebar, “Apa ? Udah berangkat lagi? Tadi malam?“ pekik Diary tak menyangka.      “Thats right ... malah, Simbok lihat mereka begitu tergesa-gesa, Non,“ terang ARTnya lagi membuat hati Diary mangkel karena tak habis pikir dengan sikap kedua orangtuanya yang benar-benar hanya mementingkan pekerjaannya saja. Diary kembali mendengus, lalu diam-diam wajahnya berubah murung. Pandangannya nanar, bibirnya pun mengerut bersamaan dengan rasa kecewa yang menggandrungi isi hati.      “Loh ... Non Diary kok malah sad, Simbok speaking-nya salah toh, Non?” tegur Jenny merasa bersalah. Buru-buru, Diary pun menggeleng,“Enggak kok, Mbok Jen gak salah ... yang salah itu Mami sama Papi. Mereka datang dan pergi tanpa Diary tau, selalu seperti itu.” keluh Diary menunduk lesu. Melihat nonanya murung seperti itu, Jenny pun mendadak iba. Seperti seorang ibu yang tak tega melihat anaknya bersedih, Jenny lantas beringsut sembari mengusap lembut punggung Diary,“Hemm ... yowes toh, Non, mereka begitu kan just for you juga ... you must believe, kalo someday mereka pasti will show kepeduliannya ... okey, Non?” tutur Jenny berusaha menghibur. Diary mengangguk pelan, meski rasanya sangat mengecewakan. Tapi dalam hati Diary mengamini semua perkataan yang Jenny lontarkan. Semoga saja, apa yang baru saja diungkapkan Mbok Jenny memang akan terjadi suatu hari nanti. Batin Diary penuh harap.      “Okay, if that ... happy breakfast, Non Diary, dont worry ... be keep smile....” semangat Jenny. Senyum samar Diary perlihatkan, lantas ia lekas menyantap sarapan paginya dengan rasa yang sedikit kurang bersemangat.                                                                                     ¤¤¤ Tidak ada kata bahagia dalam hati Diary pagi ini, terlebih setelah ia sampai di gerbang sekolah. Hanya satu kata yang terlintas dalam benaknya ketika kedua kakinya melangkah masuk ke dalam gerbang sekolah. MENJENUHKAN. Mungkin hanya kata itulah yang pantas untuk Diary simpulkan. Hari-hari Diary memang sangat supermenjenuhkan. Apalagi ketika dia selalu merasa cemas ketika misalnya ia bisa saja ditindas lagi oleh Prita dan Keyna. Dalam diam, Diary pun menghela napas panjang. Meski Diary mempunyai teman seperti Restu yang sejak mereka berkenalan sudah menjadi teman baik, tapi hal itu pun tidak menjamin membuat Diary terlindungi. Sama saja seperti berlindung di belakang sapu lidi. Restu kan sebelas dua belas dengan Diary, korban perundungan dari Prita dan Keyna. Setiap hari mereka selalu menjadi bulan-bulanan dua perempuan menyebalkan itu. Entah mereka dijadikan sebagai pembantu di kelas, atau bisa juga salah satunya dipermalukan habis-habisan di depan umum. Tentu itu sangat menyakitkan bagi Diary, seperti tak ada harga dirinya lagi seandainya setiap hari Diary hidup di bawah tindasan Prita dan Keyna. Rasanya percuma pintar dan disenangi para guru, kalo nasibnya harus selalu malang karena selalu diperlakukan seperti itu oleh teman-temannya. Percuma nilainya selalu bagus, jika ternyata hal tersebut bahkan tidak menjadikan dirinya dihargai apalagi dibangga-banggakan oleh teman-teman sekelasnya. Bagi mereka, otak pintar itu nomor sekian. Justru yang mereka utamakan adalah gaya dan penampilan. Itulah kelemahan Diary yang tidak memiliki kepandaian dalam hal seperti itu, maka  dia selalu tertindas dan terabaikan. Kenapa mereka selalu mengutamakan penampilan dibanding kepintaran, lalu apakah di ujian nanti mereka bisa memperlihatkan penampilan mereka untuk mendapatkan nilai tuntas, tidak kan? Lantas untuk apa mereka sekolah? Setahu Diary, sekolah itu bukan untuk ajang pamer gaya dan penampilan kan? Tapi, kenapa malah hal seperti itu yang justru diprioritaskan? Keterlaluan.... Sudah dua bulan Diary menjalani hari-hari yang menyuramkan di kelas tiganya, namun tidak ada perubahan sama sekali. Selalu seperti itu, ditindas dan dianggap tidak ada. Sudah dua bulan juga Diary berkenalan baik dengan Gerrald, meskipun mereka berkomunikasi hanya sebatas w******p saja namun tampaknya Diary masih belum bisa menunjukkan perubahan apapun. Diary selalu bercerita tentang kesehariannya di sekolah, tentang tertindasnya dia di sekolah dan tentang dua cewek populer yang tak pernah bosan membully-nya hampir setiap hari. Diary memang tidak pernah menyebutkan nama Prita di saat dia bercerita kepada Gerrald, tapi Gerrald sangat paham akan apa yang Diary rasakan. Kelakuan Prita dan Keyna semakin menjadi, Diary bahkan sudah dianggap sebagai pembantu bagi mereka. Restu yang sama-sama suka tertindas pun tidak bisa membantu banyak. Dia hanya bisa menghibur Diary di kala Prita dan Keyna mencampakkan Diary ketika sudah puas mengerjainya. Tidak ada yang berani melaporkan perlakuan buruk mereka juga terhadap guru. Mereka terlalu takut untuk sekadar bertindak. Hingga pada suatu hari, Diary yang sedang asyik makan bakso di kantin sekolah sendirian tiba-tiba saja didatangi oleh Prita juga Keyna. Tanpa melihat Diary sedang apa, Prita menjambak Diary seenaknya membuat Diary terkejut lantas meringis kesakitan.      “Prita, sakiit....” Diary mencoba meronta.      “Sakit, ya? Lebih sakit mana, dijambak atau ketauan nyontek pas ulangan, hah?” teriaknya melotot.      “Ma-maksud kamu apa?” tanya Diary tergeragap. Semakin kencang Prita menjambak rambut Diary, semakin kesakitan pula Diary saat itu. Tidak ada satu orang pun yang menolong Diary termasuk Restu, dia hanya bisa bersembunyi di balik tembok yang melintang. Siswa lainnya yang sedang sama-sama ada di sekitar kantin pun hanya bisa menonton seakan itu adalah pertunjukan menyerukan yang sudah dianggap lumrah.      “Gak usah pura-pura gak tau, elo kan yang kasih tau Bu Ineu tentang gue yang nyontek pas ulangan kemarin, iya kan ??” tuduhnya sangar.      “Eng-enggak, Prit ... aku gak pernah bilang apa-apa ke Bu Ineu, aku juga gak tau soal kamu yang menyontek saat ulangan kemarin,” elak Diary yang benar-benar tidak tahu menahu.      “Alasan!" damprat Prita tak percaya, "Dasar tukang cari muka lo!” umpat Prita bersamaan dengan melepaskan jambakannya secara kasar. Diary meringis, meraba bagian rambut yang sudah dijambak Prita sambil menahan tangis dengan menggigit bibir. Diary memang tidak tahu soal yang Prita tuduhkan, bahkan Diary adalah orang pertama yang menyelesaikan ulangan biologi saat itu. Setelahnya, Diary pun diperbolehkan istirahat oleh Ineu, dia tidak tahu lagi mengenai kelanjutan yang berlangsung di dalam kelas. Namun seakan tidak percaya, Prita pun bersikeras menuduh Diary yang mengadukannya pada sang guru. Semua yang menyaksikan labrakan Prita terhadap Diary pun mulai tampak ketakutan karena amukan Prita pada Diary semakin menjadi. Tidak ada yang berniat menolong Diary, bahkan Restu sekalipun. Dia malah bersembunyi di belakang tembok sekolah yang membatasi antara kantin dan lapangan basket. Malangnya, Diary dipermalukan lagi oleh Prita di depan orang banyak, padahal Diary tidak tahu apa-apa tentang hal yang Prita tuduhkan. Merasa dirinya paling benar, Prita seenaknya mencaci maki Diary. Bukan hanya itu, Prita pun dengan berani menyiramkan segelas jus yang ada di atas meja ke kepala Diary, membuat gadis itu tersentak bahkan tak menduga bahwa dia akan disiram seperti itu. Setelah puas mempermalukan Diary, Prita pun pergi begitu saja diikuti Keyna, membiarkan sebagian siswa membincangkan Diary dalam bisik-bisiknya. Diary merasa malu, tangisnya pecah. Lagi-lagi Diary harus menanggung penderitaan untuk ke sekian kalinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD