3. Cowok Berkacamata

1584 Words
Untuk kesekian kalinya, kata 'sekolah' membuat perasaan Diary kembali hancur. Meski bukan tempatnya yang membuat dia hancur tapi tetap saja, sebagian orang-orang yang ada di sekolahlah yang menyebabkan Diary selalu merasa tersingkir dan terkucilkan. Maka, setiap mendengar kata sekolah, pikirannya pun selalu langsung terarah kepada hal yang tidak menyenangkan. Penindasan dan penekanan sepertinya tak pernah mau enyah dari kehidupannya selama di sekolah. Perundungan, akankah hal itu ia dapatkan kembali seperti halnya sepulang sekolah kemarin? Atau mungkin, saat masuk kelas pun dia akan mendapatkan hal yang tidak menyenangkan? Diary menghela napas, semoga saja tidak. Ya, Diary berharap hal buruk itu tidak akan terjadi lagi menimpa dirinya. Diary melangkah ragu saat dirinya sudah berada di depan kelas. Diary berharap semoga Prita dan Keyna belum datang. Melihat dua manusia itu, rasa takut selalu muncul secara tiba-tiba. Penindasan yang sudah beberapa kali mereka lakukan tentu saja mendorong ketakutan itu menjadi muncul ke permukaan. Lalu secara perlahan, Diary pun melongokan kepala ke dalam kelas, dan huh ... Diary bernapas lega, harapannya terkabulkan. Duo menyebalkan itu belum datang, itu artinya Diary bisa menghirup udara bebas di dalam kelas dengan nyaman walaupun hanya beberapa menit saja. Diary duduk manis di bangku depan yang sama seperti kemarin, dia membuka buku pelajaran yang akan dipelajarinya pada jam pertama. Baru membuka lembar kedua, Diary sudah dibuat kaget saja oleh gebrakan meja yang berasal dari tangan Prita yang kini tengah berdiri di hadapannya.      “Masih berani ternyata lo liatin batang hidung lo di sini. Awas aja kalo sampe lo belagu lagi di depan guru-guru, gue gak akan segan-segan buat bikin hidup lo ancur berantakan kaya kapur tulis diinjak sepatu gue, NGERTI LO ??” ancam Prita kasar. Diary tak menggubris. Seperti biasa, dia hanya bisa diam tanpa kata. Walau sebenarnya ada rasa jengkel dari dalam diri Diary, namun dia tidak punya keberanian untuk melawan. Diary memang tidak pernah diajarkan untuk memberontak, karena walaupun Diary ini anak orang kaya dan punya segalanya tapi Diary kurang perhatian dari orangtua sehingga ia tidak tahu cara menghadapi orang semacam Prita dan Keyna itu harus bagaimana. Prita dan Keyna lekas duduk di bangkunya, mereka bertindak semau mereka sendiri. Wajar Prita berperilaku seperti itu, Prita adalah anak kepala sekolah SMA PERTIWI, maka dia merasa dirinyalah yang paling punya wewenang atas siswa lainnya. Prita pun tidak sadar kalo Diary lebih punya segalanya dibanding dia, karena selama ini Diary tidak terlalu memperlihatkan bahwa ia punya segalanya. Mungkin, hanya segelintir orang saja yang tahu tentang asal usul Diary. Tapi, itu pun masih bisa dihitung jari. Kerendahan hati dan cara berpenampilannya yang sederhana membuat sebagian orang mengira kalau dia hanyalah anak orang biasa, maka pantas saja kalo Diary sering diabaikan anak-anak populer di sekolahnya, secara mereka tahunya Diary itu hanyalah gadis biasa yang tak punya stylist. Begitu pelajaran berlangsung, lagi-lagi Diary mendapat pujian dari guru matematikanya. Anna, guru yang terkenal killer-nya bagi para siswa lainnya malah bersikap baik kepada Diary. Itu karena Diary anak yang pintar dan selalu mengikuti pelajarannya dengan baik serta antusias. Maka tidak heran jika setiap guru selalu memuji-muji kecerdasan Diary dalam pembelajaran. Namun hal itu justru malah membuat Prita dan Keyna semakin meradang, mereka selalu tidak suka jika melihat kedekatan antara siapa pun gurunya dan Diary. Sebenarnya, Diary merasa takut kalo sampai Anna selalu memuji-muji dirinya di hadapan murid yang lain. Itu artinya, penderitaan yang serupa akan kembali ia dapatkan dari Prita juga Keyna. Apa boleh buat, Diary juga tidak mungkin menolak kebaikan Anna. Lantas, apa yang harus Diary perbuat sekarang?                                                                                      *** BRUG. Diary terbanting ke ubin kelas, tangannya terkilir karena tertumpu saat menahan tubuhnya agar tidak terkulai. Diary sampai meringis tertahan tatkala rasa ngilu menjalar di sekitar pergelangan tangannya.      “KENAPA SIH LO GAK PERNAH DENGERIN OMONGAN GUE, LO TULI ATAU b**o???” amuk Prita memelotot. Diary terdiam sambil menahan rasa sakit di tangan. Sebagian siswa 3 IPA A yang masih berada di kelas pun hanya saling bertatapan saja tanpa bisa berkutik. Mereka hanya mampu menonton Diary yang sedang dihakimi oleh Prita dan Keyna, tidak ada seorang pun yang berani membela Diary.      “Ini untuk yang terakhir kalinya gue liat lo belagu di depan guru. Kalo sampe lo kayak gitu lagi dan sengaja bikin gue marah ... jangan harap lo gue kasih ampun, paham?" ancam Prita menggebu-gebu. Prita mengentakkan kakinya geram lalu pergi melengos bersama Keyna. Sementara Diary masih terduduk di lantai sambil memegang pergelangan tangannya, “Sakit banget,” rintih Diary menggigit bibir. Kali ini, seseorang datang menolong Diary. Dia masih teman satu kelas Diary. Tapi sepertinya, Diary baru melihat orang ini. Karena kemarin saat Diary masuk, dia sepertinya tidak hadir di dalam entah karena apa.      “Ka-kamu gak apa-apa?” tanya cowok berkacamata tebal itu, lantas berjongkok di depan Diary. Diary menggeleng pelan, kedua matanya masih menatap cowok culun di depannya itu lekat-lekat.      “Namaku Restu, siswa 3 IPA A juga,” ucapnya mengulurkan tangan. Walau masih bingung karena tahu-tahu ada seseorang yang berani mendekatinya, namun dengan tulus Diary pun segera menerima uluran tangan tersebut. Restu pun berusaha membantu Diary untuk berdiri. Gadis itu kembali meringis karena pergelangan tangan sebelah kanannya semakin terasa ngilu.      “Kamu anak 3 IPA A juga? Tapi, kemarin aku kok gak lihat kamu di sini?” tanya Diary mencari tahu. Kini, mereka berdua sudah duduk di bangku Diary. Mengabaikan bisik-bisik di sekeliling mereka dan mencoba berinteraksi secara langsung selagi Prita dan Keyna sedang tidak ada di kelas.      “Iya, ke-kemarin itu ... a-aku gak bisa masuk karena ada kepentingan keluarga. Ja-jadi aku baru bisa masuk sekarang." terang Restu sambil sesekali membenarkan letak kacamatanya, "Eh, ta-tangan kamu terkilir, ya?” tanyanya kemudian sambil memperhatikan tangan Diary yang masih dipegangi oleh tangan satunya lagi. Diary melirik tangannya yang ditunjuk Restu, “Hehe, gak apa-apa, kok. Nanti sepulang sekolah aku mau coba ke tukang urut aja biar gak keterusan ngilu," ujar Diary bertekad. Restu tampak menghela napas, "Prita itu emang udah dari dulu jahat kayak gitu ... dia tuh paling suka banget ngebully murid yang terkenal cupu atau culun kayak aku, pokonya Prita itu siswa paling berani di sekolah ini....” tutur Restu kembali membuang napas. Diary tersenyum kecut, siapa pun sudah tahu tentang Prita yang jahat dan suka membully. Tapi, jika sudah banyak yang tahu. Kenapa tidak ada seorang pun yang berani melaporkannya? Apa karena dia anak kepala sekolah? Lalu, jika memang karena itu alasannya, perlakuannya yang jahat itu masih pantaskah dianggap sebagai sesuatu yang tidak patut untuk ditindak?      “Oh iya, tadi kamu bilang sepulang sekolah nanti mau cari tukang urut kan?” tanya Restu memecah sunyi. Diary mengangguk, "Iya, tapi aku gak tahu harus cari tukang urut di mana. Toh, selama ini aku belum pernah berurusan sama tukang urut...." ujar Diary mengangkat bahu.      “Tenang aja, aku tau kok di mana kamu bisa menemukan tukang urutnya,” tukas Restu manggut-manggut.                                                                                      ***      “AAAAAAAA....” Diary menjerit kencang. Pergelangan tangannya sedang diurut oleh ahli tukang pijat langganan Restu. Tidak kuat menahan rasa sakit Diary pun menjerit-jerit, bahkan Diary sampai berani mengguncang lengan Restu yang ada di sebelahnya. Membuat Restu ikut meringis karena dulu pun dia pernah mengalami hal seperti Diary. Tak lama kemudian, Diary selesai diurut. Sehabis mengucap terima kasih dan membayar ala kadarnya, mereka pun ke luar dari beranda rumah si tukang urut.      “Ma-makasih ya, Pak Idan ... berkat urutan Bapak yang yahut, te-teman saya jadi gak kesakitan lagi....” ucap Restu ramah.      “Sama-sama, Nak Restu. Cuma untuk temannya, Bapak sarankan agar jangan dulu mengangkat yang berat-berat untuk beberapa hari ke depan, karena uratnya masih belum pulih normal,” saran Idan.      “Ba-baik, Pak, ka-kalo begitu ... kami pulang ya, Pak. Assalamualaikum!” salam Restu undur diri. "Alaikumsalam...." jawab Idan mempersilakan. Keduanya pun kini melangkah pulang. Diary masih syok atas urutan tukang urut langganan Restu tadi. Mukanya bahkan masih pucat pasi, seperti baru saja melihat hantu gentayangan. Restu yang berjalan di sebelahnya mencoba meredakan syok yang dialami Diary.      “Santai, Diary, udah biasa kok ... a-awalnya emang ngilu, tapi nanti juga sembuh kok,” Restu mencoba menenangkan.      “Sumpah, aku baru pertama kali ini diurut, Res, dan rasanya sakit banget ... Aku sampai ngeri kalo inget itu lagi, aku kapok ah ... gak mau diurut-urut kayak gitu lagi,” jujur Diary bergidik. Restu hanya tersenyum geli melihat ekspresi Diary yang bergidik seperti orang kedinginan. Lalu, keduanya kini melangkah beriringan hingga mereka harus berpisah di perempatan jalan.      “Maafin aku ya, Diary, aku gak bisa antar kamu sampai rumah.... “ ucap Restu meminta maaf. Diary mengangguk ,”Its okay, gak apa-apa, kok. Lagian rumahku juga udah deket kok dari sini,” senyum Diary terulas. Saat Restu hendak mengajaknya ke tukang urut Diary memang langsung menghubungi sopirnya untuk tidak menjemput. Maka, sekarang Diary pun harus rela berjalan kaki seorang diri menyusuri jalanan yang tak terlalu ramai kendaraan.      “Ya udah kalo gitu, kita berpisah di sini ... sampai ketemu besok di sekolah, ya....” Restu pamit sembari melambaikan tangan. Diary cukup mengangguk dengan jempol yang teracung. Setelah melihat Restu berjalan agak jauh, Diary pun melangkah menuju rumahnya yang tidak jauh dari sana. Sambil sesekali, Diary iseng-iseng menendang batu kerikil kecil yang berserakan di jalan. Diary menyadari bahwa dirinya harus menyeberang karena rumahnya berada di sebelah kanan. Ketika Diary hendak menyeberang, tiba-tiba sebuah motor melaju nyaris menabrak Diary bersamaan dengan Diary yang berteriak lantang.      “KYAAAAA,” Beruntung motor yang ditumpangi seorang cowok itu pun berhenti tepat satu meter tak jauh dari tubuh Diary yang berdiri sambil menutup kedua telinga. Cowok itu lantas turun dari motornya dan menghampiri Diary yang masih terlihat syok.      “Diary,” gumamnya membuat si pemilik nama menoleh perlahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD