Part 2

1720 Words
Bunyi hentakan heels terdengar nyaring mengiringi langkah anggun Valerie memasuki gedung yang sudah menampungnya selama dua tahun ini untuk memburu dollar. Senyum ramahnya terpancar pada siapapun yang dilewatinya. Hanya terlihat beberapa karyawan yang baru datang dikarenakan ini masih terlalu pagi dari waktu seharusnya bekerja. Valerie memang terbiasa datang tepat waktu, namun untuk datang secepat ini biasanya hanya dilakukannya ketika ada hal-hal penting tertentu. Seperti saat ini, hal penting yang Valerie maksud adalah menyambut atasannya yang menjurus calon suaminya. Valerie harus bisa memberikan kesan terbaik di pertemuan pertama mereka. Ah, mengingat itu membuat Valerie semakin tidak sabar untuk bertemu dengan pria tampan itu. "Apa kau bersedia berkencan denganku pekan ini, Honey?" Valerie sangat mengenali suara itu. Senyum Valerie yang sejak tadi tidak pudar dari bibirnya kini terlihat semakin lebar mendapati Sammy sudah berdiri tegak di belakangnya. Bisa dibilang Sammy adalah pria yang paling sering berkencan dengan Valerie. Pria itu memiliki wajah yang lumayan tampan dan sikap yang baik, hanya saja posisinya sebagai karyawan biasa di divisi keuangan membuat Valerie berpikir dua kali untuk menerima pria itu sebagai kekasihnya. Bagi Valerie, Sammy hanya teman kencan yang menyenangkan untuknya. "Tentu saja. Apapun untukmu, Sam." Valerie mengedipkan sebelah matanya sebelum berbalik melanjutkan langkahnya. Selagi menunggu kedatangan Alexander, Valerie memeriksa jadwal penting pria itu. Cukup padat, mengingat ini hari pertama Alexander bekerja. Tapi sepadat apapun itu, tentu saja Valerie sangat siap mendampinginya. Valerie memperhatikan wajahnya di depan cermin kecil yang selalu tersedia di atas meja kerjanya. Ia harus memastikan penampilannya sudah sempurna. Baru saja Valerie ingin memoleskan bedak ke wajahnya, ketika telinganya menangkap bunyi hentakan sepatu yang mendekatinya. Valerie mendongak menatap sosok tampan yang sedang berjalan ke arahnya. Tiba-tiba saja perasaan ingin pingsan melanda Valerie. For God Sake, pria di depannya ini sangat-sangat tampan. Jika biasanya kecanggihan kamera bisa mengalahkan keindahan rupa aslinya, namun Alexander justru sangat jauh lebih tampan dibandingkan foto yang biasa Valerie lihat. Rambut legam berkilau yang membuat Valerie ingin meremasnya, mata biru bersinar yang membuat Valerie ingin menyelaminya, hidung mancung yang membuat Valerie ingin mendakinya, bibir penuh yang membuat Valerie ingin mengecupnya, rahang kokoh yang membuat Valerie ingin menyentuhnya, serta otot atletis yang membuat Valerie ingin merasakan dekapannya. Sempurna. Valerie semakin yakin jika Alexander lah pria yang selama ini dicarinya. Suara pintu tertutup mengembalikan kesadaran Valerie. Astaga! Apa yang baru saja dilakukannya? Ia terlalu terpesona dengan ketampanan Alexander hingga membutakan akal sehatnya. Seharusnya Valerie berdiri menyambut hangat kedatangan atasan barunya, bukan duduk diam seperti patung tidak berguna yang sibuk dengan imajinasinya. Dasar bodoh. Tapi tunggu! Bukankah tadi Alexander sempat melihat Valerie? Kenapa pria itu hanya diam saja melewatinya? Biasanya jika Jerremy melihat Valerie lebih dulu, maka pria paruh baya itu akan menyapanya. Ah, mungkin saja Alexander belum tahu jika Valeria lah yang akan menjadi sekretarisnya. Well, sekarang yang harus Valerie lakukan adalah masuk ke ruang CEO untuk memperkenalkan diri. Setelah mengetuk pintu, Valerie masuk ke ruang CEO dimana Alexander sudah duduk manis di kursi kebesarannya. Mata pria itu sibuk bergerak liar seakan sedang mengamati apa-apa saja yang ada di dalam ruangannya. Valerie memasang wajah seanggun mungkin. Ia berdiri di depan meja Alexander untuk memperkenalkan diri. "Selamat pagi, Sir. Selamat datang di Hudson Group. Saya, Valerie Grayson yang akan bekerja sebagai sekretaris anda disini." Tak ada jawaban, Alexander masih sibuk dengan pandangannya menjelajahi isi ruangan tanpa mau menatap Valerie. Itu membuat Valerie berpikir jika suaranya tadi kurang keras atau tidak terdengar tegas. Valerie berdeham singkat sebelum mengulangi ucapannya dengan suara yang dibuat lebih keras dan tegas. "Perkenalkan Sir, saya Valerie Grayson yang akan bekerja sebagai sekretaris anda disini." Yes! Valerie berhasil menarik perhatian Alexander. Pria itu memandangnya cukup lama dengan tatapan menilai. Itu membuat Valerie memperbaiki posisi berdirinya. Dipandang intens seperti ini membuat jantung Valerie memompa cepat layaknya sehabis lari marathon. Terlebih mendapati jika mata biru mempesona itulah yang sedang memandangnya. "Jangan memakai lipstick berwarna merah lagi!" "Apa?" tanya Valerie spontan ketika suara tiba-tiba Alexander membuatnya kaget. Suara berat pria itu terdengar begitu seksi. Dan itu semakin menambah nilai plus Alexander di mata Valerie. "Kau terlihat seperti jalang." Deg! Jantung Valerie yang tadinya bekerja keras memompa, mendadak terasa berhenti sesaat. Valerie merasa tidak ada yang salah dengan pendengarannya. Ia juga melihat hanya ada dirinya berdua dengan Alexander di ruangan ini. Bukankah itu artinya ucapan Alexander tadi tertuju pada Valerie? "Maaf, Sir. Bisa tolong jelaskan maksud ucapan anda tadi?" Valerie berusaha menormalkan suaranya menutupi segala emosi yang bercampur dalam dirinya saat ini. Sebagian dalam diri Valerie menganggap jika mungkin saja Alexander sedang melemparkan candaan padanya. Tapi anggapan itu luntur ketika suara berat Alexander kembali terdengar. "Aku tidak suka mengulangi ucapanku. Dan aku tidak menerima penolakan dari setiap perintahku. Kau hanya perlu menjawab ya, maka kau akan tetap bertahan disini." Mulut Valerie terbuka tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Sebenarnya apa yang terjadi disini? Mungkinkah Valerie sedang berada dalam awang-awang imajinasinya? Tapi, kenapa imajinasinya kali ini sangat jauh dari kata indah? "Jangan seperti orang bodoh! Tutup mulutmu sebelum serangga memasukimu!" Valerie mengatupkan bibirnya. Mata Valerie mengerjab beberapa kali menatap Alexander yang sudah terlihat membuka laptopnya. Valerie menghirup napas panjang mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Walau semua ini masih membingungkan untuknya, Valerie berusaha mengumpulkan akal sehatnya untuk tetap bersikap profesional. "Jadwal anda hari ini dimulai dengan memperkenalkan diri dengan para karyawan−" "Tidak perlu. Semua orang sudah sangat mengenalku." Suara dingin Alexander membuat Valerie menelan kembali kalimatnya yang akan menjelaskan jadwal pria itu. Wajahnya terlihat tidak setuju dengan pernyataan Alexander yang menurutnya melanggar peraturan kantor. "Tapi, Sir. Setiap jejeran petinggi yang baru bekerja di kantor ini memang wajib memperkenalkan diri." "Kau tahu perusahaan ini milik siapa?" Valerie mengangguk, "Keluarga Hudson." "Kau tahu atasanmu sekarang siapa?" Lagi-lagi Valerie mengangguk, "Mister Alexander Hudson." "Bagus. Kalau begitu kau pasti sadar siapa yang seharusnya membuat keputusan." Valerie ingin kembali mengeluarkan protesnya, namun Alexander membuat kalimat yang sudah berada di ujung bibirnya harus tertahan. "Kau bisa keluar sekarang!" Disaat tidak ada lagi yang bisa Valerie lakukan, maka dengan patuh ia berbalik hendak meningalkan ruangan. Namun, baru saja satu langkah Valerie berjalan, suara Alexander terdengar. "Jangan menggangguku sampai jadwal perkenalan bodoh itu selesai dari jadwalku!" Valerie mengangguk sopan, namun rupanya anggukan sopannya dianggap kurang ajar oleh atasannya yang kini sedang melemparkan tatapan peringatan padanya. "Kau bisu? Atau kau tidak bisa mendengar semua yang ku katakan padamu tadi?" Otak cantik Valerie menari-nari berusaha menemukan apa-apa saja yang tadi Alexander katakan padanya. Ketika semua itu terkumpul menjadi suatu kesatuan yang utuh, perlahan warna merah menjalari wajah Valerie. Tangannya mengepal kuat dengan geraman tertahan di bibirnya. "Yes, Sir. Saya tidak akan mengganggu anda sampai dua jam ke depan." Setelah mengucapkan dua kata itu, Valerie berbalik. Tapi lagi-lagi suara Alexander yang terdengar membuat langkah Valerie yang sudah berada di ambang pintu terhenti. "Aku tidak akan pernah tertarik padamu sekalipun kau membuka rokmu disini. Jadi, jangan coba-coba menggodaku dengan membuka resletingmu lagi!" Sontak saja Valerie menyentuh resleting roknya. Sialan! Kenapa ia sangat ceroboh membiarkan kancing bodoh ini terbuka? Dengan wajah memerah malu ditambah dengan kemurkaan yang hampir tak terbentung, Valerie membanting pintu meninggalkan ruangan Alexander tanpa mengucapkan satu katapun. *** Kalimat umpatan serta rutukan tak henti keluar dari bibir Valerie sejak kakinya melangkah keluar dari ruangan Alexander yang sudah membuat kepalanya berdenyut karena kemarahan besar. Sebenarnya ada apa dengan atasan barunya itu? Demi Tuhan, ini pertemuan pertama mereka, tapi kenapa rasa-rasanya tidak ada satu kata baik pun yang keluar dari bibir Alexander? "b******k! b******k! b******k!" Umpatan itu terus keluar. Bantalan leher tak bersalah yang biasa Valerie pakai pun kini harus menjadi korban pelampiasan emosinya yang meledak-ledak. Valerie tahu cinta itu buta. Tapi bodohnya ia belum cinta kenapa sudah buta? Bahkan ditambah bonus tuli. Bisa-bisanya Valerie tidak bisa mengartikan semua ucapan penuh hinaan yang Alexander lontarkan untuknya di dalam tadi. Jalang, bodoh, bisu, tiga kata yang membuat kepala Valerie berasap mengingatnya. Pertemuan pertama macam apa yang sudah berani mengucapkan kata-kata menghina seperti itu? Apa Alexander sedang menguji kesabaran Valerie di pertemuan pertama mereka? Atau pria itu memang tidak pernah belajar kepribadian yang membuat etikanya sebagai manusia terlihat sangat buruk? Tidak.Tidak. Ini masih terlalu awal bagi Valerie untuk menilai. Valerie berusaha mengumpulkan pikiran positifnya. Ia tidak mau sampai menyalah artikan ucapan Alexander yang bisa saja nantinya berdampak buruk pada hubungan mereka. For God Sake, mimpi Valerie untuk menikah dengan Alexander dan menjadi menantu keluarga Hudson masih sangat kuat. Valerie harus bisa mewujudkan mimpi itu. "Dimana Mr.Hudson, Val? Kenapa dia belum memperkenalkan diri?" Valerie yang tadinya sudah memulai pekerjaannya, melotot jengkel pada Marry yang tiba-tiba datang memukul meja kerjanya. Tidak hanya itu, bahkan dengan santainya Marry duduk di atas meja kerjanya sembari merampas minumannya. "Ada apa dengan wajahmu? Astaga, ini masih pagi, tapi kenapa kau sudah menunjukkan wajah murung seperti itu?" "Aku tahu ini masih pagi. Karena itu seharusnya sekarang kau disibukkan dengan pekerjaanmu, bukan dengan menggangguku seperti ini!" ucap Valerie ketus. Sialan! Suasana hatinya yang buruk kini semakin buruk melihat kehadiran temannya yang sebentar lagi ia yakini akan berperan sebagai wartawan menyebalkan. "Aku tidak bisa bekerja sebelum memastikan kenapa CEO baru kita belum memperkenalkan diri. Apa terjadi sesuatu?" tanya Marry antusias, tapi yang ditanya justru menunjukkan tanggapan tak acuh. Valerie memilih fokus kembali menatap berkas-berkas di tangannya dibandingkan menanggapi pertanyaan tidak penting Marry. "Ayolah, Val. Apa kau ingin temanmu ini mati karena rasa penasaran?" bujuk Marry masih dengan jiwa pantang menyerahnya. "Dia tidak akan memperkenalkan diri." "Kenapa?" "Karena semua orang sudah mengenalnya." "Mengenal dari media saja tidak cukup, Val. Aku perlu berkenalan dengannya secara langsung." "Kalau begitu kau bisa menemuinya langsung di ruangannya!" Valerie berteriak kesal. Tapi yang diteriakin justru menyambutnya dengan tawa geli. "Jangan terlalu sering marah, Valey! Keriputanmu akan terlihat semakin jelas," ucap Marry masih lengkap dengan kekehannya. Saat menerima pelototan tajam Valerie, barulah Marry menghentikan tawanya sembari berkata, "Baiklah. Aku pergi." Tadinya Valerie sempat bernapas lega saat melihat Marry sudah bergerak dari meja kerjanya. Tapi ternyata sahabatnya itu bukan bergerak untuk kembali bekerja, namun bergerak ke arah satu-satunya ruangan yang saat ini paling ingin Valerie hindari. Tidak! Jangan katakan Marry benar-benar akan menemui Alexander secara langsung. Astaga! Sungguh Valerie merutuk bibirnya yang tidak bisa menjaga ucapannya. Selain suka bergosip, Valerie tahu bahwa Marry adalah temannya yang sangat polos nyaris mendekati lemot. Kaki Valerie bergerak cepat menyusul Marry yang sudah hampir mendekati pintu ruang CEO. Sialnya kebaikan tidak mendukungnya. Karena sebelum Valerie sempat menyusul Marry, temannya itu sudah lebih dulu membuka pintu dan masuk ke ruangan Alexander yang Valerie yakini sebentar lagi akan memecatnya. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD