Part 3

1571 Words
Valerie tidak pernah berpikir hari paling menyialkan benar-benar terjadi dalam hidupnya. Yang paling parahnya hari tersial itu terjadi di hari yang tadinya Valerie pikir akan menjadi hari paling beruntung mengingat pertemuan pertamanya dengan pria sejuta pesona yang paling diincar semua wanita. Tatapan Valerie tertuju pada pria yang saat ini sedang fokus pada layar tabletnya. Oh, lihatlah betapa santainya pria itu memainkan game di layar itu. Benarkah pria itu putra dari Jerremy Hudson, pria paling hangat yang pernah Valerie kenal setelah ayahnya? Atau mungkin Alexander adalah anak yang diadopsi hingga tidak sedikitpun mewarisi sifat Jerremy. Apapun itu, yang pasti Valerie ingin menenggelamkan pria itu sekarang juga ke sungai sss. Bayangkan saja, setelah berhasil mempermalukan Valerie di depan Marry dengan segala kata-kata penuh hinaannya, kini dengan kejamnya Alexander menyuruh Valerie untuk memperbaiki susunan barang-barang yang ada di ruangannya. Valerie merasa tidak ada yang salah dengan susunan barang-barang di ruangan Alexander, tapi menurut pria itu sususan barang-barang disini sangatlah tidak memanjakan indra penglihatannya. Mulai dari meja kerja yang harus menghadap kaca jendela, lemari yang harus berada di sudut ruangan, lukisan yang tidak boleh terpajang, jam dinding yang harus berbentuk persegi, sofa yang tidak boleh menempel ke dinding, serta rak buku yang harus berada tepat di samping meja kerjanya. Valerie memijat pinggangnya yang mulai terasa pegal. Sungguh! Pekerjaan seperti ini tidaklah pernah masuk dalam jobdesc seorang sekretaris sepertinya. Lagipula, Valerie adalah seorang wanita yang tidak seharusnya melakukan pekerjaan berat seperti ini. Sudah satu jam berlalu, tapi yang masih berhasil Valerie kerjakan adalah mengganti jam dinding yang berbentuk lingkaran menjadi bentuk persegi. Valerie sudah berusaha menggeser meja kerja Alexander, tapi sialnya entah terbuat dari apa meja itu hingga membuat Valerie tidak berhasil menggesernya sedikitpun. Jika meja saja tidak berhasil digesernya, terlebih lagi lemari, rak buku dan sofa. Mata Valerie beralih menatap gantungan beberapa lukisan yang menghiasi dinding. Ada tiga lukisan yang Valerie tahu lukisan mahal dari pelukis terkenal di dunia. Apa salah lukisan indah itu hingga Alexander tidak mau melihatnya? Dasar pria aneh! Valerie menggeser tangga yang tadi digunakannya untuk mengganti jam dinding. Untungnya ukuran tangga ini tidak terlalu besar dan berat. Tapi tunggu! Menyadari sesuatu yang berbeda, mata Valerie segera melotot horor ke arah lukisan-lukisan yang posisinya lebih tinggi dari jam dinding. Itu artinya Valerie harus mencapai puncak tangga untuk bisa mengambil lukisan itu. Valerie memang tidak memiliki fobia terhadap ketinggian. Tapi jika harus disuruh berdiri di puncak tangga dengan ketinggian tiga meter tetap saja bisa membuat hormon adrenalinnya meningkat pesat. Tidak, tidak! Valerie itu terkenal sebagai wanita pemberani. Tidak seharusnya tangga seperti ini menakutinya. Valerie menarik napas panjang mencoba mencari kekuatan untuk menyelamatkan harga dirinya sebagai wanita pemberani. Setelah memastikan posisi tangga tepat di bawah lukisan, kaki Valerie mulai bergerak pelan menapakinya. Saat mencapai anak tangga pertama, Valerie menyempatkan diri menatap Alexander berharap kalau saja pria itu masih memiliki sedikit hati nurani untuk menyuruh Valerie turun. Tapi, jangankan menyuruh turun, meliriknya pun tidak. Alexander masih fokus memainkan gamenya. Sialan! "Ya Tuhan, lindungi aku!" Begitulah kalimat yang secara berulang-ulang Valerie suarakan dalam hatinya bersamaan dengan kakinya yang terus menaiki anak tangga secara perlahan. Keringat dingin mulai membasahi pelipis Valerie saat posisinya semakin menjauhi lantai. Dan saat Valerie akan menapaki lima anak tangga terakhir, suara umpatan Alexander membuat kakinya terpeleset hingga tubuhnya terpelanting ke lantai. Valerie mengerjap beberapa kali memandangi langit-langit dengan suara ringisan keras. Posisinya masih telentang di lantai dingin dengan rasa sakit yang luar biasa hebat. Valerie bahkan merasa seluruh tulang-tulangnya patah dan kepalanya benjol. Satu detik, dua detik sampai hampir satu menit Valerie hanya meratapi kesakitannya sendiri dengan posisi awalnya. Alexander? Jangan tanyakan pria itu yang masih duduk santai di sofa dengan tablet di genggamannya. Valerie hanya berhasil mencuri perhatian Alexander sekilas karena suara keras saat ia terjatuh. Ternyata umpatan tiba-tiba yang keluar dari bibir Alexander tadi dikarenakan game bodoh yang dimainkannya. Valerie semakin yakin jika pria itu memang tidak memiliki sedikitpun naluri kemanusiaan. Bisa-bisanya saat menyadari Valerie terjatuh, Alexander hanya melirik Valerie singkat lengkap dengan senyum merendahkannya. Itupun hanya dilakukannya beberapa detik sebelum kembali fokus dengan gamenya. Apa menunggu Valerie pingsan dulu baru Alexander membantunya? Brengsek! Setelah mengumpulkan kekuatannya, Valerie berusaha bangkit dari posisi menyedihkannya. Tapi lagi-lagi suara ringisan keluar dari bibir tipisnya. Hell, rasanya sakit sekali. Ternyata kaki kiri Valerie terkilir yang membuatnya kesulitan berjalan. Dengan kaki yang pincang, Valerie menyeret tubuhnya ke arah sofa. Sungguh, ia tidak bisa menahan rasa sakitnya lagi. "Kenapa kau duduk?" Suara dingin Alexander terdengar saat Valerie baru saja mendaratkan bokongnya di sofa yang berhadapan dengan pria itu. "Kaki saya terkilir, Sir. Apa anda tidak lihat jika saya baru saja terjatuh?" "Kau ini memang ceroboh. Tidak ada satu pekerjaan pun yang bisa kau selesaikan dengan baik. Aku heran, bagaimana bisa ayahku mempekerjakan sekretaris yang tidak andal sepertimu?" "Sabar, Valey. Sabar!" Valerie mencoba menenangkan dirinya. "Sepertinya anda harus banyak belajar dari Mr.Jerremy, Sir. Karena ayah anda tahu mana bagian yang harus saya kerjakan sebagai seorang sekretaris dan mana yang tidak." "Apa kau sedang mengajariku?" Saat melihat tatapan intimidasi Alexander, Valerie cepat-cepat menggeleng. "Tidak, Sir. Mana mungkin sekretaris seperti saya mengajari CEO seperti anda." "Bagus. Kau memang harus menyadari statusmu." Valerie tersenyum. Senyum terpaksa disaat keinginan hatinya untuk menjahit bibir Alexander sangat besar. Sayang sekali bibir seksi yang dimiliki Alexander hanya bisa digunakan untuk mengeluarkan kata-kata pedas. Seharusnya bibir itu akan lebih berguna untuk berciu-. No! Valerie segera menggeleng keras. Bisa-bisanya disaat seperti ini, ia memikirkan hal intim itu. "Jadi, sampai berapa lama aku harus menunggumu duduk bermanja seperti ini di ruanganku?" "Ha?" "Aku tidak mau membayar karyawan yang bisanya hanya memakan gaji buta." Valerie menggeram. Sialan! Pria di depannya ini benar-benar sukses menarik keluar amarahnya. "Saya perlu waktu untuk memulihkan kaki saya yang sakit, Sir." "Dasar tidak berguna! Keluar sekarang juga!" "Tapi, Sir-" "Keluar!" "Yes, Sir." Dengan hati yang berat dan langkah terseret, Valerie keluar dari ruang Alexander. Mata Valerie memanas, rasanya ia ingin menangis sekarang juga. Seumur hidupnya, baru kali ini Valerie diusir seseorang. Ditambah lagi pengusiran itu dilakukan sangat kasar dalam kondisi tubuhnya yang sakit karena baru saja terjatuh. "Huaaa..aaa..a" Tangis Valerie pecah. Namun baru beberapa detik ia menangis, pintu ruangan di belakangnya terbuka menampilkan Alexander yang berdiri menatapnya tajam. "Apa kau gila? Kenapa kau berteriak di depan ruanganku?" Sontak saja tangisan Valerie terhenti. Setelah beberapa kali menarik masuk cairan kental di hidungnya, Valerie menjawab dengan menampilkan wajah sedihnya. "Kaki saya rasanya sakit sekali, Sir. Kenapa anda tidak sedikitpun berniat membantu saya? Hiks..." "Apa maksudmu aku harus menggendongmu ke sofa lalu memijat kakimu dan menyuruhmu beristirahat?" Valerie mengangguk antusias. "Gadis gila." Wajah berseri Valerie berubah pias. Tadinya ia pikir Alexander benar-benar akan melakukan semua yang dikatakannya tadi. Ternyata memang pada dasarnya pria itu b******k. "Cepat kembali bekerja sebelum aku memecatmu!" "Tapi, Sir-" "Aku bilang sekarang!" "Yes, Sir." ***  “Valey, kau baik-baik saja?” “Apa kau sudah keluar dari ruangan Mr.Hudson?” “Apa yang dilakukannya padamu?” “Valey!” “Kenapa kau tidak membalas pesanku?” “Valey!” “Valey!” Ingin rasanya Valerie melemparkan ponselnya saat membaca satu per satu notifikasi chat yang masuk ke ponselnya. Marry Anderson, satu-satunya sahabat Valerie yang paling berjasa memberikannya banyak kesulitan. Jika bukan karena Marry yang nekad masuk ke ruangan Alexander, mungkin kaki Valerie tidak akan bernasib seperti ini. “Oh, kaki indahku.” gumam Valerie sembari memandang iba kaki kirinya yang terkilir. Ringisan kecil keluar dari bibirnya kala rasa nyeri kembali menyiksanya. Alexander sialan! Sungguh Valerie menyesal pernah mengagumi pria itu. Pantas saja Alexander tidak memiliki kekasih. Wanita mana yang tahan dengan makhluk abstrak seperti itu? Masa bodoh dengan mimpi Valerie yang ingin menjadi menantu keluarga Hudson. Valerie lebih memilih sendiri dibandingkan harus hidup bersama pria b******k itu. Valerie memang tidak bisa membalas kesadisan Alexander padanya, tapi Valerie bisa berdoa semoga saja pria b******k itu menua dalam kesendiriannya. “Huuaaaa...” Tiba-tiba Valerie meraung keras. Hati kecilnya jelas menolak kutukan yang baru dilontarkan benaknya. Rasanya sayang sekali pria setampan Alexander harus hidup sendirian. Pria seperti itu tidak boleh dianggurin begitu saja. Tidak! Ini bukan karena Valerie labil! Lebih tepatnya karena Valerie memiliki keunggulan sifat yang sulit dimiliki wanita lain. Penyabar dan pemaaf adalah dua dari begitu banyaknya kriteria kecantikan yang dimiliki Valerie. Valerie menarik napas panjang mencoba membuang sisa-sisa kemarahannya. Bibirnya berusaha menarik seulas senyum kesabaran. Sekarang Valerie mengerti maksud pesan Jerremy saat perpisahan mereka. Valerie harus melatih sedikit kesabarannya. Benar! S.E.D.I.K.I.T. “Sekali lagi aku melihatmu bermalas-malasan. Maka kupastikan akan menendangmu dari perusahaanku saat itu juga.” “Uhhukk…” Valerie terbatuk saat pendengarannya menangkap suara penuh ancaman dari intercom. Valerie memutar kursinya ke kanan menatap dinding kaca penyekat ruangan Alexander. Dari luar kaca itu memang terlihat gelap, namun dari dalam Alexander bisa melihat keluar dengan jelas. Pasti sejak tadi Alexander memperhatikan Valerie yang hanya duduk manis di kursi nyamannya. Padahal pria itu tidak tahu jika dalam duduknya, Valerie terus meratapi kesakitan kakinya serta merutuki atasan b******k yang sudah menciderai kakinya. “Putar kursimu dan cepat kerjakan laporanmu!” Menyadari Alexander masih memperhatikannya, reflek Valerie memutar kursinya kembali menghadap layar komputer. Kenapa juga Alexander harus memperhatikannya? Apa pria itu tidak memiliki pekerjaan lain? Atau mungkin⸻ “Satu jam lagi laporan itu harus sudah ada di mejaku!” Atau mungkin Alexander mulai tertarik padanya? Sepertinya kemungkinan kedua itu harus Valerie telan kembali mengingat perintah gila yang baru disampaikan Alexander. Satu jam? Apa Alexander pikir otak dan tangan Valerie terbuat dari mesin? Baiklah! Mungkin Valerie perlu meralat kata-kata Jerremy. Bukan sedikit. Tapi banyak. Benar. Valerie harus berlatih banyak untuk mempertahankan kesabarannya. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD