LOVE - Jesika

1046 Words
“Aku nggak tahu, Sam. Soalnya aku nggak pernah begituan. Paling mandi doang,” jawabku.  Samuel jadi murung sekarang. Apa dia tidak suka dengan perempuan yang tidak suka luluran dan maskeran? Ya ampun, bukannya lebih baik berpenampilan natural? “Kamu ada rasa sama Marko?” tanya Samuel dengan suara pelan. Aku heran dengan perubahan suaranya sekarang. “Maksudnya?” tanyaku. Aku harus berhati-hati dalam berucap. Karena kalau tidak, dia akan mengetahui suasana hatiku yang sebenarnya. “Abaikan aja, Jes! Ayo kita pulang.” Setelah itu Samuel mulai menjalankan mobil. Tidak ada suara di antara kami berdua. Jangan-jangan Samuel marah karena berpikir aku mencintai temannya? Astaga! Aku sungguh bodoh! Bisa-bisanya membuat cowok yang aku cinta marah. Bagaimana caranya meminta maaf sekarang? “Marko dan Willy akan jalan bareng dengan Loli. Mereka ingin menanyakan beberapa informasi juga mengenai Siska.” Samuel masih fokus pada jalanan. “I-iya.” Suaraku mulai gugup kalau berduaan dengannya. Payah sekali aku ini. Seharusnya aku bisa langsung mengatakan, “Sam, aku minta maaf. Aku nggak suka sama Marko, kok. Aku sebenarnya suka sama kamu. Sumpah, deh!” Namun, lidahku sungguh kelu untuk berucap. “Berly itu teman yang bagaimana?” Samuel mulai menatapku lagi, walau sebentar. Tidak ada senyuman di wajahnya. Astaga, dia benar-benar marah sepertinya. Omong-omong tentang Berly, aku mulai sedih ketika mengingat tentang Berly. “Berly adalah sosok teman yang baik dan peduli denganku. Walaupun kadang-kadang dia suka marah-marah nggak jelas karena urusan keuangannya yang kacau. Tetap saja dia orangnya baik. Kalau diibaratkan, Berly itu teman yang setia, Sam.” Teringat sosok Berly yang senang mengganggu waktu sendiriku di perpustakaan saat Vina asik dengan urusan OSIS. Anak itu pasti menjadi sosok jahil. Yah, aku tahu itu semua karena Berly membutuhkan sosok teman yang peduli kepadanya. Untung saja aku dan Vina senang berteman dengannya, sementara banyak orang lain membencinya karena pelit membagi contekan dan mata duitan. “Sam, apa aku buat salah malam ini?” Aku membuka suara begitu saja. Tidak ada yang menyuruhku untuk berbicara. Namun, mulutku sontak saja mengucap. Astaga! Mengapa saat-saat seperti ini mulutku tidak bisa terkunci? Andaikan dunia ini memiliki tombol ctrl+z untuk meng-undo semua kejadian, aku pasti menggunakannya saat ini. Malu banget! “Maksudnya apa? Kenapa tanya begitu, Jes?” sahutnya. Samuel tampak risih saat aku bertanya, pasti aku punya salah. “Nggak jadi, Sam. Kamu fokus nyetir aja,” jawabku dengan nada bergetar. Jesika, kamu telah melakukan kesalahan di kesempatan pertama ini. First impression Samuel kepadaku pasti sudah buruk. Dia pasti tidak mau lagi berdekatan denganku. Bagaimana ini? Apa aku tidak bisa mendapatkan Samuel suatu saat nanti? Tuhan, bantu aku untuk menyelesaikan masalah ini. Mudah-mudahan Samuel tidak peduli dengan pertanyaanku tadi. Bisa-bisa diriku tercoreng dari daftar cewek yang dapat disandingkan menjadi pacarnya. Oh Tuhan! Aku mengkhayal lagi. Tidak mungkin cewek kutu buku sepertiku disandingkan dengannya. Benar, seharusnya aku memberi jarak padanya. Samuel pasti mengajakku kencan hanya untuk memancingku masuk ke dalam tim penyelidik yang ia buat. Sadar Jesika! “Jes! Kenapa Fajar ngomong begitu, ya? Kamu denger Fajar ngomong masalah mewujudkan kutukan tadi pagi?” Samuel mengalihkan pembicaraan. Benar sekali, Samuel tidak peduli dengan pertanyaanku, bahkan dia mengalihkan pembicaraan. Seharusnya aku senang karena harapanku terkabul, tetapi hatiku justru sebaliknya. Samuel pasti mengalihkan pembicaraan karena dia tidak mau membicarakan hal yang aku tanyakan tadi. Itu membuatku sadar kalau Samuel tidak mencintaiku. Jadi, begini rasanya cinta tak terbalas, ya? Cinta memang tidak ada logika. “Iya, dengar, kok,” jawabku lesu. Ucapanku saja sudah seperti orang yang tidak pernah makan berhari-hari. Lesu dan tidak bertenaga. Kalau aku mendaftar di kelurahan dengan suara seperti ini, mungkin aku sudah dibawa ke panti asuhan dan diberikan asupan makanan bergizi di sana. Samuel menengok ke arahku. Dia memelankan laju mobil dan menyentuh lenganku. Ibu jarinya mengelus tanganku dengan lembut. “Kenapa kamu jadi murung begitu?” “Oh iya? Nggak ada apa-apa, Sam. Mungkin aku hanya mengantuk, soalnya semalem aku kurang tidur dan bangun terlalu pagi,” kilahku. Memang benar kalau aku kurang tidur, bukan? Aku tidak berbohong atau mengada-ada. Aku langsung mengalihkan pandangan ke arah luar jendela. Sungguh, aku benar-benar ingin pergi ke kamar saat ini. “Jes!” Samuel memanggilku dengan lembut. Aku tidak menyahut, justru memejamkan mata. Mungkin cara jitu untuk menghindari suasana yang tidak indah saat ini hanyalah berpura-pura untuk tidur. Biarlah Samuel menyangka kalau aku tertidur, nanti dia tidak akan mengajak aku berbicara lagi. Aku tidak perlu repot memikirkan masalah Samuel yang marah. Semua ini salahku. Seharusnya aku bisa paham bagaimana tipe cewek yang layak jadi pacar seorang cowok idaman seperti Samuel. Aku ingin melayakkan diri menjadi pacarnya? Diajak kencan seperti malam ini saja sudah merupakan sebuah keuntungan. Padahal ujungnya aku hanya dijadikan objek untuk membantunya dalam mengusut kasus kematian Berly. Kalau memang kencan biasa, tidak mungkin dia mengajak teman-temannya. “Kita langsung pulang atau mau mampir ke mana dulu?” tanya Samuel. Seperti kataku, karena sedang berpura-pura tidur, tidak ada jawaban dari mulutku. Biarlah Samuel fokus pada jalanan di depannya, mungkin itu bagus juga agar mengurangi resiko kecelakaan. “Ya sudah, aku anggap itu jawaban iya. Mungkin kamu juga sudah mengantuk, ya?” Samuel kembali bertanya. Maafkan aku, Samuel. Aku benar-benar tidak mau berbicara denganmu sekarang. Izinkan aku untuk diam, nanti kalau sudah tenang aku akan kembali berbicara denganmu. Akhirnya tidak ada pembicaraan lagi di antara kami berdua. Samuel fokus banget sama jalanan, bahkan dia tidak sadar kalau aku mengintipnya tadi. Sekarang justru hatiku yang merasa hampa karena masih memikirkan kejadian tadi. Dasar Jesika! Tidak bisa sekali saja untuk tenang kalau sudah dengan Samuel. Aku bisa mendengar Samuel yang bergumam, walaupun terdengar sangat tidak jelas. Aku hanya menangkap beberapa kata seperti, bodoh, tidak berguna, tidak berperasaan, dan beberapa kata lain yang terdengar seperti mulut berbicara tidak jelas. Pasti dia sedang marah kepadaku. Rasanya aku ingin menangis di pelukan Vina. Rasanya sakit sekali mendengar u*****n-u*****n Samuel kapadaku. Kemudian mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah. Aku sengaja tidak bergerak, biar saja Samuel yang membangunkanku. Anggap saja seperti bagian dari sandiwara, agar tidak terlihat bohong. Namun, hal yang berikutnya terjadi benar-benar tidak terduga. Samuel mengelus rambutku. Dia usap berkali-kali, membuat kenyamanan timbul di dalam diriku. Sungguh, aku benar-benar bingung dengan perilakunya. Ingin sekali berteriak kepadanya agar tidak menebar pesona kepada cewek yang mudah bodoh sepertiku. Tidak sadar setetes air mataku mengalir. “I love you, Jessie!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD