Interogasi - Samuel

1087 Words
Lalu Jesika menutup bukunya kemudian menopang dagunya dengan kedua tangan. Dia menggelengkan kepala lalu tertawa. Aku yakin dia paham kenapa aku tidak bisa membaca bukunya. “Kenapa nggak bisa dibaca?” tanya Jesika dengan suara yang menggemaskan. Aduh! Andai sekarang bukan di perpustakaan, aku pasti sudah mencubit pipinya sampai dia memohon untuk dilepaskan. Manis sekali dia! Ya Tuhan, apakah engkau tengah tersenyum saat menciptakannya? Aku benar-benar bahagia melihatnya yang sedang tersenyum sekarang. Astaga, tenang Samuel. Aku harus menjaga image di depan Jesika. Cewek itu tidak boleh melihatku yang sedang kegilaan disenyumi olehnya. Aku alihkan pikiran untuk menjawabnya. Buku yang tadi aku jadikan sebagai pelindung, sekarang aku buka asal halamannya dan aku tunjukkan padanya. “Tulisan aksara Jawa, Jes. Aku nggak bisa bacanya. Kamu bisa baca aksara Jawa? Kalau bisa, ajarin aku, dong!” Sontak aku dan Jesika menahan tawa semampu kami. Jelas saja, ini adalah hal terkonyol yang pernah dilakukan. Aku membawa buku dengan tulisan Jawa untuk dibaca. Astaga, jangankan tulisannya, bahasa Jawa saja aku tidak faseh. Akhirnya, kami terus menahan tawa sebisa mungkin karena pengawas perpustakaan sudah memperhatikan kami sejak tadi. Andai saja kami bersuara, dia pasti datang dan mengusir kami. “Aku nggak bisa baca itu, Sam. Bahasa Indonesia aja suka remedial kalau lagi ujian, apalagi aksara Jawa,” jawabnya diselingi tawa. Benar juga kata Jesika. Ujian bahasa Indonesia saja aku sering remedial. Aku tidak mengerti dengan itu, padahal bahasa yang digunakan sehari-hari, tetapi kami tetap saja banyak yang remedial. Guru dari mana yang membuat soal terlalu sulit seperti ini? Apa jangan-jangan ini adalah konspirasi agar siswa harus belajar bahasa Indonesia dengan benar dan tidak menyepelekannya? Yah, karena bahasa sehari-hari kami jadi tidak perlu repot-repot belajar dan hasilnya buruk. “Kalian berdua kalau mau pacaran jangan di perpus, ya! Pergi aja, deh! Ganggu yang lain, tuh!” Mirna menegur kami dengan tatapan yang sangat tidak aku suka. Baru saja aku membayangkan bagaimana pengawas itu menegur dan mengusir dengan tatapan tajam dan lengan kaus yang ia sampirkan ke atas, dia justru berteriak dari jauh. Dasar perempuan tidak mengenal cinta! Kalau dia sedang jatuh cinta, aku harap ada pengganggu juga untuknya. Omong-omong, dia juga berisik saat menegur kami sampai berteriak. Bukannya itu juga mengganggu yang lainnya? Jesika sudah kembali membaca bukunya kembali. Aku juga langsung mengambil ponsel dan mengeceknya, karena beberapa saat lalu ada getaran. Setelah aku melihatnya, ernyata pesan dari Marko. Apa yang dia kirim, ya? Semoga saja dia tidak melakukan aksi konyol yang mengharuskan aku untuk membantunya. Aku sedang asik kencan dengan Jesika soalnya. Tidak mungkin harus pergi karena membantu Marko lolos dari aksi konyolnya. Marko Sam, ke  kantin buruan! Loli minta ketemu sama gue sekarang. Willy lagi tidur di UKS, susah banget dibangunin. Terus si Gibran lagi nyontek PR yang dikumpulin hari ini katanya. Kalau lo nggak bisa juga, mending gagal rencananya, dari pada gue harus sendirian. Kalau urusan yang satu ini aku tidak mungkin diam saja. Rencana kami semua, termasuk Jesika. Kalau sampai dia tahu aksi bertemu Loli batal karena aku lebih memilih duduk di depan Jesika, bisa-bisa dia marah. Aku tidak mau membuat cewek manis marah padaku. Belum juga pacaran, masa sudah ada masalah. Mungkin aku harus mengalah demi kelancaran rencana. Tidak apa, aku bisa berduaan dengan Jesika lagi besok. Kelompok kami akan selalu bersama karena akan menyelidiki kasus ini sampai tuntas, kan? Itu artinya masih banyak waktu untuk bertemu dengan Jesika. “Jes!” panggilku dengan berbisik tentunya. Jangan sampai penjaga itu sadar kalau aku mengeluarkan suara lagi. Nanti aku bisa semakin repot. Kemungkinan terburuknya, aku akan diseretnya keluar. Itu akan jadi hal terburuk yang aku alami selama hidup pasti. Cewek manis melihat ke arahku. Dia menoleh dengan buku yang dipakai untuk menutupi wajahnya dari pengawas perpustakaan. “Iya, kenapa? Jangan berisik! Nanti si Mirna jadi makin resek kalau kita berisik.” Sudah pasti itu akan aku lakukan. “Aku mau pergi ke luar duluan! Nggak apa-apa, kan?” tanyaku sambil tersenyum. Dia menganggukkan kepalanya. Lalu menegakkan kembali badannya. “Hati-hati, ya! Jangan sampai telat masuk! Kelas kamu ada ujian, kan?” Astaga, dia mengingatkan hal ujian nanti. Padahal aku sudah melupakan tentang itu dan mengalihkannya pada Jesika. Sekarang, aku jadi dilema dengan ujian. “Iya, nggak lupa, kok. Makin diingetin sama kamu sekarang. Terima kasih, ya.” “Welcome.” Jesika kembali menatap buku di depannya. Itu tandanya dia sudah mengizinkan aku untuk pergi dan dia juga mau melanjutkan bacaannya. “Sampai ketemu nanti!” Aku langsung menuju kantin, karena kalau harus berlama-lama, Marko bisa mengamuk. Lorong sekolah masih ramai seperti biasa. Aku yakin mereka sudah pada kenyang dan pastinya kantin sudah semakin sepi. Dasar Marko, dia paham sekali tindak-tanduk siswi SMA Angkasa yang selalu mau paling pertama dan tidak mau mengalah dalam hal mengantre makanan. Sesampainya di kantin, aku sangat malas menceritakan hal ini sebenarnya, tetapi memang sangat menyebalkan. Marko sedang menebar pesona kepada beberapa cewek di sekitarnya. Dia tersenyum sambil menaik-turunkan alis pada cewek yang lewat di depannya. Terkadang aku bingung dengannya, mengapa harus tersenyum kepada semua cewek, ya? Itu kan membuat mereka salah tingkah. Kalau salah satu dari mereka jatuh cinta, nanti dia akan bilang, “Senyum itu ibadah, kenapa lo harus jatuh cinta sama senyuman gue?” Ingin sekali aku menyentil ginjalnya. Apa dia tidak tahu kalau senyumnya itu mampu membuat hati cewek berbunga-bunga, kecuali Jesika. Masih saja dia bilang senyum ibadah? “Tebar terus sampai baper anak orang, kemudian lo tinggalin, deh!” tegurku menepuk pundaknya. Mengapa Marko senang sekali membuat perempuan di sini jatuh cinta padanya? Marko menoleh ke arahku, “Eh, sudah sampai aja teman jomloku! Sendirian aja, nih? Gue kira lo bareng Jesika.” Tanpa sadar bola mataku memutar menanggapi balasan Marko. Mungkin suatu saat nanti aku akan membuktikan padanya, kalau aku bukanlah seorang jomlo lagi! Pada saat itu, aku yang akan menggodanya hingga dia malu. Tunggu saja, Marko! Lihat pembalasanku nanti. “Langsung ke intinya aja! Kenapa minta sekarang?” tanyaku dengan wajah sengit. Wajar saja, aksi berkencan dengan Jesika kali ini gagal lantaran Marko yang mengancam untuk menggagalkan rencana. Untung saja ini demi keselamatan Jesika dan kencan lebih lama dengannya juga. Akhirnya aku rela mengikuti mau Marko. Kalau tidak karena itu, sudah pasti aku malas menyanggupi permintaannya. “Loli nanti malam mau pergi dengan keluarganya. Jadi, dia minta ketemuan sekarang,” kata Marko sambil melihat keadaan sekitar kantin. Sudah semakin sepi sekarang, tidak ada yang bisa mendengar obrolan kami seharusnya. “Sebenarnya gue agak takut ketemuan di kantin .... Terbuka banget, kan? Kalau sampai ada yang denger, bisa-bisa ketauan kita, Sam. Nanti malah si pembunuh ngincer kita semua.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD