Awal Kisah

2135 Words
Telah ditemukan mayat seorang siswa SMA Angkasa pada pagi hari ini. Mayat tersebut ditemukan oleh beberapa siswa SMA Angkasa di belakang gedung aula dengan kondisi yang tidak wajar. Sampai detik ini, pihak kepolisian masih menyelidiki kasus tersebut. Mereka belum mengetahui penyebab siswa tersebut tewas, tetapi siswa di sana meyakini kalau mayat tersebut adalah bukti kutukan yang menghantui SMA Angkasa. Sekian berita terkait penemuan mayat siswa di SMA Angkasa, informasi ini akan kami beritakan lebih lanjut lagi nanti, saya kembalikan ke studio. Masa-masa SMA benar-benar tidak seseru yang aku kira! Dibandingkan dengan orang-orang yang katanya memiliki masa SMA yang seru, keseruan milikku tidak banyak, justru lebih banyak dipenuhi kesialan. Aku mendengar cerita teman SMP yang banyak mendapatkan kekasih saat masa SMA, banyak dari mereka juga yang bisa lolos olimpiade tingkat daerah, dan ada juga yang bisa ke luar negeri gratis dibiayai oleh yayasan sekolah. Sedangkan aku? Ingin tertawa saja jika mengingatnya. Awalnya aku bahagia karena mendapatkan beasiswa di SMA Angkasa, yang katanya sekolah bagus. Aku sudah berandai-andai akan mendapatkan pengalaman yang luar biasa jika sekolah di sana. Waktu itu aku sudah mengharapkan akan bertemu kekasih, lalu mendapatkan teman yang banyak, dan yang paling utama bisa menjadi juara kelas agar bisa masuk universitas negeri. Pada akhirnya, aku sungguh menyesal menerima beasiswa itu. Sudahlah, aku sudah menjadi siswa tahun terakhir di SMA Angkasa. Tidak ada kekasih, tidak mendapatkan banyak teman, dan tidak juga bisa menduduki peringkat pertama se-angkatan. Jangankan se-angkatan, se-kelas saja aku tidak bisa. Sepertinya semua kesialan yang tadi aku sebutkan tidak cukup membuat hidup tenang, masih saja ada kesialan lain yang membuat siapa pun bergidik ngeri. Bukan kesialan dari diriku, melainkan kesialan sekolah yang diidam-idamkan oleh para anak SMP ingusan, sekolah yang selama ini aku duduki, SMA Angkasa juga memiliki kesialan tersendiri. Selama aku hidup, sepertinya belum pernah mendengar kalau ada kutukan yang terjadi. Namun, pengalaman itu berubah drastis ketika aku memasuki lingkungan SMA Angkasa. Hidupku yang mulanya aman-damai, tenteram tanpa ancaman, berubah menjadi hidup yang selalu was-was. Katanya SMA Angkasa dikutuk. Jika ada orang yang bertengkar dan salah satu dari mereka menyumpahi lawannya, omongan orang itu akan menjadi kenyataan. Hell no! Yang benar saja, mana mungkin sekolah dikutuk? Memangnya sekarang masih zamannya Malin Kundang? Tidak mungkin ada kutukan! Terdengar tidak masuk akal bagiku. Sebisa mungkin aku kelak semua rumor itu, tidak mau percaya dan tidak mau peduli. Jika ada orang yang berusaha meyakinkanku, segera aku alihkan pembicaraan atau paling buruk aku kabur. Namun, sekarang aku harus percaya kalau kutukan itu memang benar ada. Saat kelas XI, aku benar-benar melihat pertengkaran itu beserta mayatnya. Sampai sekarang, itu mungkin hal terburuk yang pernah aku alami. Semoga saja tidak ada hal seperti itu lagi. Itu, kan, hanya harapan, bukan suatu pernyataan yang harus terjadi. Sialnya, dua minggu yang lalu sekolah ini digegerkan kembali dengan tragedi kutukan. Sebuah mayat ditemukan dengan kaki yang tergantung sementara kepalanya hampir menyentuh tanah di aula utama SMA Angkasa. Membayangkannya saja aku tidak ingin, apalagi sampai melihatnya. Kabar buruknya, mayat itu ternyata Andi yang kabarnya dikutuk oleh Kevin di kantin sekolah. Aku tidak melihat pertengkaran mereka, tetapi aku melihat Kevin yang babak belur sehari sebelum mayat Andi ditemukan. Jika memang mereka benar bertengkar dan salah satunya bersumpah, ini adalah kejadian kedua yang aku alami selama di SMA Angkasa. Lupakan masalah kesialan! Aku muak membicarakannya, seolah-olah aku hidup dalam penderitaan setiap hari saja. Aku tidak hidup dalam kesialan terus, masih ada beberapa keberuntungan yang aku miliki selama di SMA Angkasa. Salah satu keberuntungan yang aku miliki itu dapat menikmati pemandangan indah di kantin. Pemandangan yang ini bukanlah pemandangan suasana alam yang membuat pikiran menjadi jernih, melainkan pemandangan laki-laki ganteng yang sedang tertawa dengan teman-temannya yang tidak kalah ganteng. Dia adalah Gibran Prakoso. Pria kelas XII IPS yang berhasil membuat beberapa kaum hawa melihatnya dengan tatapan memuja. Mendengar namanya saja membuat jantungku berdebar, apalagi jika dihadapkan langsung dengan cowok berbadan kekar dan memiliki senyum yang manis itu. Hal yang terjadi pasti sangatlah tidak enak untuk diperbincangkan, aku yang menganga lantaran dapat menikmati pemandangan itu lebih dekat dengan air liur yang hampir menetes. Satu biji kacang mendarat di dahiku dengan sempurna, membuatku berjengkit lantaran kaget. “Puas-puasin liat Gibran, gue mau ke ruang OSIS dulu,” kata Vina, sahabatku sejak MOS. Aku sudah tidak perlu kaget lagi kalau Vina akan ke ruang OSIS setiap istirahat. Kalau orang-orang bilang, itu sudah jadi ritual penting dalam hidupnya, seakan-akan mistis saja. Tidak, kok, dia memang sering ke ruang OSIS karena itu tempat ternyamannya di sekolah. Padahal jabatannya sudah ingin dicabut, tetap saja dia masih setia dengan ruangan berdebu itu. “Rapiin ruangannya, biar kalau gue bolos bisa tidur di sana!” sahutku dengan nada sinis. Jelas saja, dia ke ruang OSIS hanya untuk membuka layar komputer, paling-paling membuka aplikasi YouTube lalu menonton video klip dari Boy Band kesayangannya. “Enak aja! Lo pikir ruang itu mau nerima orang kayak lo? Baru selangkah masuk juga langsung ditendang sama penghuninya!” sanggahnya diikuti tawa jahat. “Lagian lo mau ngapain ke ruang OSIS? Nggak boleh! Nanti lo berantem sama Riko, gue nggak mau repot!” Aku heran dengan Vina, tampangnya saja yang terlihat lugu, padahal dia adalah cewek paling sarkas yang aku ketahui. Lagian untuk apa aku datang ke ruang itu, tidak akan mungkin! Apalagi kalau sampai harus melihat Riko. Tidak akan sudi! “Gue datangnya saat sepi, dong.” “Penghuni yang gue maksud itu setan!” Sial, bisa-bisanya dia menjahiliku tentang makhluk halus. Aku, kan, jadi merinding setelah mendengarnya. Setelah mengatakan itu, dia langsung pergi seperti tanpa memiliki dosa karena sudah membuatku ketakutan di siang bolong. Walaupun begitu, aku harus mengucapkan banyak terima kasih padanya juga. Banyak sekali pertolongan yang dia berikan padaku. Mulai dari memberiku tebengan untuk berangkat dan pulang sekolah, sering juga dia menraktirku makan siang, bahkan dia sering membuatkan tugas sekolah jika badanku kelelahan bekerja. “Tumben lo nggak ke perpus?” tanyaku pada satu-satunya orang yang tersisa di depanku. “Kenapa? Lo mau ngusir gue biar puas liat cowok-cowok itu?” Aku menjawabnya dengan cengiran, sedangkan orang itu hanya tersenyum menanggapi. Temanku yang satu ini namanya Jesika, siswi yang paling malas bergaul. Selama hampir tiga tahun sekolah, hanya aku dan Vina temannya, ditambah buku-buku lusuh dan berdebu di perpustakaan. Kalau kami malas berteman, sudah pasti dia akan sendirian di sekolah tanpa ada yang mau mengajaknya berbicara. Jesika langsung pergi, meninggalkan aku sendirian di meja kecil yang akan menjadi saksi bagaimana laparnya Berly akan kegantengan Gibran. Omong-omong, meja kami tidak terlalu jauh jaraknya. Jadi, aku bisa menatapnya dengan puas sampai ke pori-porinya. Oke, itu terdengar lebay, tetapi memang ini jarak terdekat yang pernah aku alami. “Baksonya datang!” Akhirnya, aku bisa menikmati kagentengan Gibran sambil memakan bakso yang enak ditambah sambal yang biji cabainya masih utuh-utuh. “Baiknya teman-temanku.” “Nggak perlu memuji, itu memang kenyataan kalau gue baik!” sahut Fanya. Selalu saja percaya diri. Aksi makan bakso di kantin kali ini benar-benar langka. Seharusnya aku memanggil penyiar berita waktu itu untuk memberitakan kalau Berly Sekar sedang bahagia. Oke, terlalu lebay kalau harus memanggil penyiar berita itu lagi. Hari ini aku harus fokus pada Gibran yang sedang memakan nasi goreng di pojok kantin dengan teman-temannya—yang omong-omong juga tidak kalah ganteng darinya, Samuel dan Marko. Aku sudah mengincar Gibran sejak awal masuk sekolah. Dia adalah pemain basket yang sering mencetak angka ketika bermain. Rambutnya yang dipotong cepak selalu basah saat bermain, dan membuat diriku semakin jatuh cinta padanya. “Ber, hati-hati! Siska udah ngeliatin lo mulu dari tadi,” kata Fanya. Dia memang penakut, wajar saja kalau terlalu bersikap hati-hati dalam bertindak. Jangankan dengan Siska, dengan Jesika yang pendiam saja dia takut. “Tenang aja, gue nggak takut sama dia.” Aku menengok ke arah Fanya, “Hari ini SMA Angkasa akan ada berita yang besar, seorang Berly mampu melawan komplotan Siska yang cupu. Bagaimana tagline-nya? Apakah itu keren?” Risma terlihat menenggak minumannya hingga habis, “Kalau dia marah-marah, gue nggak mau belain, ya! Males berhubungan sama dia.” Aku sampai lupa kalau ada satu siswi yang terlalu terobsesi dengan Gibran, dia adalah Siska. Aku tidak mengerti apa yang dilakukan Siska sampai-sampai membuat hak paten kalau Gibran adalah miliknya, padahal sudah jelas kalau Gibran menolaknya mentah-mentah di lapangan basket hampir satu tahun lalu. Sekarang, siapa saja yang berani mendekati Gibran, bahkan hanya menatap Gibran terlalu lama, Siska akan mendatangi orang itu. Kalian mau tahu apa yang terjadi? Biasanya Siska akan memulai pertengkaran dengan menampar orang itu, lalu menyerangnya dengan kata-kata pedas yang mampu membuat orang itu malu. Kalau orang itu aku, tidak akan semudah yang dia lakukan sebelumnya. Aku tidak takut dengan Siska. Justru rasanya ingin sekali berhadapan dengan mulut besar Siska. Sekali-sekali mulut besarnya harus dihajar, agar tidak membesar lagi. Lagi pula, aku harus mengingatkannya kalau Gibran sudah menolaknya. Mungkin saja dia sudah gila karena ditolak Gibran, makanya bertingkah tidak waras. Kalau benar seperti itu, aku akan menjadi orang pertama yang menahan tangannya, lalu menendang kepalanya ke rumah sakit jiwa. Untuk menyukseskan rencana, hal pertama yang harus dilakukan adalah melanggar aturan yang Siska buat. Semoga saja tantangannya tidak rumit. Aku mulai menatap Gibran sambil tersenyum lebar. Sialnya, Gibran menoleh kepadaku. Aku jadi salah tingkah kalau ditatap dengannya. Tidak, aku tidak boleh kalah, aku harus terus menatapnya. Untung aku adalah cewek dengan muka badak yang tebal di sekolah ini. Pasti sebentar lagi ada seorang cewek resek yang menghampiri. “Hei, Parasit!” pekik Siska setelah tiba di hadapanku. Risma dan Fanya sudah mulai khawatir kalau Siska akan membantai kami. Lihat, aku yang akan membantai mereka sendirian. Memang sesuai dugaanku, Siska datang bersama teman-temannya dengan muka sombong. Dia memukul keras meja hingga kuah bakso menciprat mengenai mataku. Memang kejadian yang menyedihkan. Sementara Siska asik tertawa, aku justru asik mengucek-ngucek mata yang perih karena kuah bakso yang tercampur dengan sambal Mba Lala. “s****n! Mata gue perih!” Sial! Semua yang aku rencanakan untuk membuat dia kapok sepertinya akan sirna. Aku hanya bisa meratapi nasib yang sedang ditertawakan oleh seluruh isi sekolah, terdengar jelas tawa mereka di telingaku. Sebelum aku menjadi tontonan yang lebih menyebalkan, langsung buru-buru aku basuh muka agar tidak perih lagi. “Kurang ajar!” Setelah semua penglihatanku kembali jernih, langsung saja kusiram sisa air mineral ke seragam Siska. Rasakan, makanya jangan melawan seorang Berly kalau tidak mau mendapatkan hal yang menyakitkan! Aku pikir wanita itu telah malu akibat seragamnya basah, ternyata dia malah menjambak rambutku, sedangkan kedua temannya mengunci pergerakanku. Kalau sudah seperti ini, tidak ada yang bisa aku lakukan untuk membalasnya. Mana mungkin berusaha untuk terlepas sedangkan tangan kanan saja sedikit lagi akan terkilir. Akhirnya, aku memilih cara yang mungkin akan ampuh, membalikan semua omongannya. “Lo ngapain ngeliat Gibran terus?” “Kenapa? Memangnya lo nggak suka kalau gue ngeliat Gibran? Lo bukan pacar, udah ditolak, kan, waktu itu?” Siska langsung menampar wajahku dengan keras. Astaga! Aku jadi semakin malu. “Kalau lo memang cantik dan pantas jadi pacar Gibran, kenapa lo harus bersikap gini? Harusnya lo percaya diri!” ucapku lantang. Tepat sekali, omonganku membuat Siska langsung terpancing emosi. Tebakan pertama, sehabis ini dia akan menampar wajahku lagi. s**l, kalau sampai itu terjadi, bisa makin malu dan reputasiku sebagai murid yang tidak menyukai k*******n akan tercoreng. Lebih sialnya lagi, Fanya dan Risma tidak berusaha menolong, dia malah ketakutan karena Siska dan teman-temannya yang berani melakukan apapun untuk membuat siapa saja kapok. “Atau memang lo merasa jelek? Sampai-sampai lo nggak berani saingan sama gue?” tanyaku pongah. Siska berjalan mendekat dan langsung menamparku. Untuk ukuran cewek kurus, tamparannya lumayan keras. Aku tidak boleh kalah dengan permainan ini. Hanya tamparan tidak akan mempan untuk membuatku kesakitan. “Pengecut! Satu lawan satu kalau berani!” Sesuai dugaanku, Siska tidak akan menyuruh anak buahnya untuk melepaskanku. Dasar cewek tengil, beraninya keroyokan! “Dasar cewek nggak berguna! Lo itu cuma sampah bagi semua orang! Kerjaan di kelas tidur aja bangga. Memangnya nggak punya rumah untuk tidur?” kata Siska yang lumayan memancing emosiku, “Yah, gue lupa kalau lo memang parasit yang selalu numpang tenar dan pamer sama cewek-cewek populer seperti Fanya dan Vina.” Sial! Sekarang justru aku yang dipojoki oleh dia. Memang mulut besarnya sangat kejam, aku sampai tidak ingin membalasnya lagi takut dia merendahkan lebih jauh. Namun aku tidak mungkin berdiam diri, nanti dia malah besar kepala. “Punya rumah atau nggak itu bukan urusan lo! Dari pada menyebarkan omongan tanpa bukti, mending lo urusin kelompok sebar jawaban ujian lo sebelum gua bocorin ke pihak sekolah.” Rasakan pembalasan dariku. Siska tidak pintar dalam akademi, makanya dia membuat kelompok untuk mencuri soal ujian di ruang kepala sekolah dan membayar orang untuk menjawab soal ujian dengan biaya yang mahal. Aku tahu semua itu karena Fanya termasuk salah satu orang yang mengikutinya. “Dasar cewek nggak tau diri! Lo itu sampah yang nggak pantes sekolah di sini! Dasar miskin! Gua sumpahin lo akan mampus sebentar lagi!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD