BAB 2

1684 Words
Pagi yang sangat berbeda dari pagi-pagi sebelumnya. Tidak ada lagi suara lembut bi Siti saat membangunkannya salat Subuh, tidak ada lagi telepon rumah dan suara berisik langkah kaki ayah dan ibunya saat mengangkat telepon sambil bersiap kerja, tapi yang paling berat untuk ia terima sekarang adalah, tidak ada lagi yang menyediakan sarapan pagi padahal ia sudah lapar. "Harusnya gua minta motor, kalau jalan kaki terus lama-lama kulit gua hideng," ucap Rain seraya menguncir rambutnya. Dia bangun pagi kali ini, syukurlah. Ia langsung mandi, karena kalau mata tidak dipaksa terbuka dan tubuh tidak dipaksa bangkit, yang ada dia tidak sekolah hari ini, tetap tidur di atas kasur dan menyesal saat bangun. Mengingat betapa berusahanya bi Siti saat membangunkannya salat Subuh, ia pun memilih untuk melaksanakan salat Subuh terlebih dahulu sebelum membeli sarapan di luar. Untuk membeli dan makan sarapan saja ia membutuhkan waktu tiga puluh menit, sangat menguras energi dan tidak hemat waktu. Bahkan sekolahnya dengan tempat membeli sarapan lebih jauh tempat membeli sarapan, menyebalkan sekali. Di pukul 06:15 Rain berangkat ke sekolah. Baru kali ini ia merasa berdebar berangkat ke sekolah baru. Biasanya ia tidak merasakan hal apapun, karena memang ia akan selalu sendiri walaupun masuk sekolah mana pun. Namun kali ini, berbeda dengan sebelumnya. Hanya membutuhkan waktu lima menit untuk sampai ke sekolah. Kini ia sudah berada di depan gerbang SMA X Negeri, yang sudah ia impikan sejak dulu. Rain menoleh ke arah pos satpam yang berada tepat di samping gerbang. Satpam itu bertubuh tegap dengan kumis tebal, ia hampir saja tertawa saat melihat satpam itu menggeliat. Tawanya urung saat mata mereka bertemu. Rain langsung membuang muka dan berjalan masuk ke dalam sekolah. Rain merasa tidak nyaman saat sorot mata banyak tertuju padanya. Mungkin mereka aneh, Rain tidak ikut MPLS, jadi tak mengenal siapa pun dan tidak ada yang mengenalnya. Rain mendengkus saat tiba-tiba ada yang menubruknya dari belakang. Jelas-jelas ia jalan di pinggir, masih saja ada yang menabraknya. "Ma-maaf, aku enggak sengaja, kamu enggak apa-apa, kan?" tanya seseorang di belakang Rain. Suaranya kecil, halus tapi kekanakan. Rain tidak menoleh, perempuan itu yang maju ke depan untuk memastikan keadaan Rain. "Maaf, aku tadi terlalu malu berangkat sendiri, jadi nunduk terus, eh nabrak kamu. Maaf, ya?" Perempuan itu menangkupkan tangan di d**a dengan wajah memelas. Rain mengangguk. "Enggak apa-apa." Setelah mengatakan itu Rain langsung berjalan kembali, melewati perempuan itu tanpa basa-basi. Rain mengembuskan nafas saat melihat lorong yang banyak dihuni para laki-laki. Ia harus melewati lorong ini untuk mengetahui di mana kelasnya. Akhirnya ia beranikan diri untuk maju. "Eits-eits, namanya siapa nih?" Tiba-tiba ada laki-laki berdiri di depan Rain. Rain menaikkan sebelah alisnya. Laki-laki itu merapihkan rambutnya lalu menyodorkan tangan. "Nama gua Devan, nama lu siapa?" Mungkin para kaum hawa lainnya akan meleleh melihat laki-laki ini. Dia memang tampan, tapi bagi Rain, mau laki-laki itu tampan atau tidak, sama sekali tak memberikan efek apapun. "Rain," jawab Rain tanpa membalas sodoran tangan laki-laki bernama Devan itu. Devan mengepalkan tangannya yang melayang tanpa disapa. Sementara Rain langsung pergi begitu saja. "Baru kali ini gua dicuekin cewek," ucapnya seraya merapihkan rambut. "Enggak apa-apa, masih banyak cewek lain, dibawa santai aja, Van." "Etdah!" gerutu Devan saat tiba-tiba ada yang menimpuknya dengan kerikil. "Eh kutil, ngapai lu melongo di situ? Kesambet kali?" "Apaan, sih, lu? Orang gua lagi tebar ketampanan. Udah ayo kita ke kelas, eh-eh, jangan deh, ke kantin dulu, cari cewek." Devan langsung merangkul teman laki-lakinya itu. "Dih, enggak lah!" "Lama lu lah!" Devan pun akhirnya menarik paksa leher laki-laki itu dengan rangkulannya. *** Setelah membaca namanya tercantum dalam kelas X IPA-1, Rain langsung mencari di mana kelas itu berada. Ternyata, di lantai satu. Rain menghentikan langkahnya saat melihat kelas sudah ramai. Bangku di bagian perempuan hanya ada satu yang kosong, tepat di samping perempuan berbaju panjang yang nampaknya tidak asing di mata Rain. Rain pun mulai masuk dan mendekat ke bangku kosong tersebut. "Gua duduk di sini, ya?" tanya Rain sebelum duduk. Perempuan itu menoleh. "Eh, iya, kamu yang tadi aku tabrak, ya?" Rain tersenyum kaku sambil mengangguk. Ingin rasanya bisa seperti orang lain, tapi ia tidak biasa. "Aku Asyifa Razak, kamu bisa panggil aku Syifa. Nama kamu siapa?" Perempuan bernama Syifa itu menyodorkan tangannya. Rain membalas sodoran tangan Syifa. "Syakera Raina Fatah, panggil aja Rain." Rain langsung melepas sodoran tangannya, dadanya berdebar, ia tidak biasa dengan situasi ini. Ternyata Syifa ini sangat banyak bicara, hal itu membuat Rain kuwalahan, ia hanya tersenyum kaku dan mengangguk menanggapinya. Sampai akhirnya saat guru masuk ke dalam ruangan, Syifa baru menghentikan ucapannya. "Selamat pagi anak-anak," sapa seorang wanita dewasa dengan pakaian formal khas guru, dia pasti wali kelasnya. "Pagi, Bu," jawab seisi kelas kompak. "Perkenalkan, nama Ibu Nur Hafidzah, kalian bisa panggil Ibu dengan sebutan Bu Fidzah." "Hai, Bu Fidzah," sapa seisi kelas. Bu Fidzah tersenyum. "Ibu akan menjadi wali kelas kalian selama satu tahun. Mohon kerja samanya anak-anak." "Baik, Bu." Lagi-lagi serempak. Seketika ruangan sepi, seluruh mata menyorot ke arah pintu. Ada dua laki-laki di sana. Mereka tersenyum canggung, salah satunya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Ma-maaf, Bu, tadi kita ada keperluan mendadak makanya telat." Bu Fidzah menggelengkan kepalanya sambil menatap dua anak laki-laki dengan keringat bercucuran itu. "Masuk!" Mereka berdua nurut dan langsung masuk ke dalam. Siswa dan siswi langsung berbisik, entah apa yang mereka bicarakan. "Siapa nama kalian?" tanya Bu Fidzah sambil melipatkan tangannya di d**a. "Saya Devan dan dia Reza." "Jujur apa alasan kalian telat masuk?" "Ada keperluan, Bu," jawab Devan. Lagi-lagi dia yang bicara. "Jujur!" "Tadi kita ke kantin, terus diberhentiin sama kakak kelas, mereka ngajak foto, udah ditolak maksa, jadilah kita telat," jawab Reza. Di saat itu juga bahakan tawa langsung terdengar. "Bibit-bibit primadona ternyata, syukurlah kalian di kelas saya. Yaudah, kalian duduk, untuk kali ini saya maafkan, lain kali akan ada hukuman." "Baik, Bu, terima kasih." Saat dua laki-laki itu berbalik, para siswi langsung heboh berbisik. Mereka memang tampan. Rain menyipitkan matanya, dua laki-laki itu tidak asing baginya. Reza pernah ia lihat di tukang nasi goreng, sementara Devan adalah laki-laki yang tadi mengganggu jalannya. "Ibu mau kalian memperkenalkan nama masing-masing, sesuai absen, ya?" ucap Bu Fidzah seraya menatap lembar absen. Seketika kelas riuh, mereka berisik sekali tapi tidak berani untuk maju ke depan. "Asyifa Razak," panggil Bu Fidzah. Mata Syifa membulat. Ia gigit bibir bagian bawahnya. Dia ini sangat pemalu. Seketika keringat dingin langsung membasahi tubuhnya. Namun, mau tidak mau ia harus maju. Kalau tidak akan lebih malu. "Maju, Nak." "Ah, i-iya, Bu." Akhirnya Syifa pun berdiri dan berjalan maju ke depan. Saat Syifa berjalan ke depan, banyak para laki-laki menatap takjub ke arahnya. Dia sangat berbeda dengan yang lain. Dari mulai pakaian sampai cara berjalan. Syifa sangat anggun dan penuh tatakrama. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, nama saya Asyifa Razak, panggil aja Syifa, saya dari Bandung, sebelumnya saya pesantren di MA. Darul Al-Faqih. Terima kasih." Syifa menghela nafas berat saat selesai mengatakan itu. "Boleh minta nomor w******p-nya enggak?" Dalam hitungan detik seluruh penghuni kelas menoleh ke sumber suara. Ternyata itu suara Devan, laki-laki yang menggoda Rain di jalanan tadi. Reza sebagai teman sebangkunya merasa malu, di saat itu juga ia menutup wajah Devan dengan tangannya. "Malu-maluin aja lu!" omelnya. "Silahkan, Syifa, kamu boleh duduk lagi." Syifa mengangguk lalu berjalan ke bangkunya kembali sambil menunduk. "Sumpah tuh cewek cakep banget," ucap Devan saat Syifa melewati tempatnya. Reza menimpuk Devan dengan kertas yang baru saja ia kepal. "Diem kenapa sih lu!" Devan tidak menggubris ucapan Reza, dia malah sibuk melihat Syifa sampai perempuan itu duduk di tempatnya. Matanya semakin membulat saat melihat teman satu bangkunya. "Sebuah anugrah Tuhan, dua bidadari duduk dalam satu meja yang sama." Reza ikut menoleh, sebelah alisnya terangkat saat melihat perempuan di samping Syifa. Ia seperti tidak asing dengan perempuan itu. "Adeevan Renald." Panggilan Bu Fidzah membuat mereka tersadar kembali ke dunia nyata. Devan maju dengan penuh percaya diri, semangatnya semakin menggebu karena absennya berdekatan dengan Syifa. "Nama saya Adeevan Renald, panggil aja Devan. Asal SMP Y Negeri, orang asli Jakarta." Devan menyeka rambutnya ke belakang setelah mengatakan itu. Hal itu berhasil membuat para kaum hawa meleleh karena ketampanan yang ia miliki. Namun ada sebagian pula yang merasa tidak suka karena sikap sok tampan yang Devan miliki. Satu-persatu nama siswa dan siswi dari kelas X IPA 1 sudah disebutkan. Kini giliran Rain maju ke depan. Saat Rain berdiri, kelas langsung sepi, Rain pun tidak tahu apa sebabnya. Ia maju dengan wajah santai, padahal ia pun merasakan gugup seperti orang-orang. "Nama saya Syakera Raina Fatah, asal SMP Bintang Malang." Saat Rain menyebutkan asal sekolahnya, sebagian siswa dan siswi yang mengetahui sekolah elite itu langsung menutup mulut takjub. "Panggil aja Rain." "Hai, Rain," sapa kumpulan laki-laki di bagian belakang, nampaknya mereka calon genk nakal di kelas ini. Rain menatap kumpulan laki-laki itu dengan wajah sinis. Tanpa basa-basi ia langsung berjalan menuju bangkunya kembali padahal belum dipersilahkan. Bu Fidzah mengerutkan kening melihat sikap Rain. Di hari pertama sekolah saja Rain langsung dapat penghujat karena sikapnya. "Baik, sekarang absen terakhir. Zen Reza." Tepat saat Reza hendak maju Rain mau lewat. Akhirnya mereka berhenti sebentar, saling menampakkan raut dingin. "Mundur," ucap Rain pelan. Hanya orang-orang di sekitarnya saja yang dapat mendengar. "Lu yang minggir, biarin gua lewat," balas Reza tidak kalah dinginnya. Bukannya saling minggir mereka malah saling menatap sinis. "Rain, Reza!" tegur Bu Fidzah. Mereka yang memiliki sikap sama-sama tidak mau mengalah itu bahkan tidak menggubris ucapan gurunya. Sampai akhirnya Bu Fidzah yang menghampiri mereka. "Reza, mundur dulu, ya?" Reza menautkan alis tidak setuju. Namun karena wajah serius Bu Fidzah akhirnya ia mengalah dengan wajah kesal. Rain jalan begitu saja setelah Reza menepi. Saat Reza maju para siswi langsung heboh. Di kelas ini memang Reza yang terlihat lebih tampan dari yang lain. Ditambah sikapnya yang lumayan dingin, jadilah banyak perempuan yang semakin tertarik dengannya. "Nama saya Zen Reza, panggil aja Reza, sekolah asal saya di SMP Y Negeri Jakarta. Saya asli Jakarta." Sudah ditebak, setelah pelajaran berakhir pasti banyak perempuan yang akan meminta nomor w******p-nya. Bahkan tidak hanya perempuan yang memuji, ada sebagian laki-laki juga. Hari pertama sekolah yang hampir sama dengan hari pertama sekolah pada umumnya. Ada laki-laki tampan, ada perempuan cantik, ada yang populer ada pula yang bahkan tak terlihat. Itu sudah biasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD