BAB 1

1123 Words
Karena sudah tidak kuat dengan apa yang sudah menjadi takdirnya, Rain coba untuk bangkit, lebih berani untuk mengemukakan pendapat. "Ya, aku udah pikirkan ini matang-matang, aku memutuskan untuk sekolah di Jakarta, aku harap Ayah dan Ibu bisa mengabulkan keinginanku!" Rain benar-benar merasa tertekan dengan segala sikap yang orangtuanya torehkan dalam hidupnya. Ia merasa diabaikan dan dikekang, padahal ia juga seorang manusia yang berharap bisa bersosialisasi dengan sesama manusia lain. Tidak hanya itu, ia juga sangat ingin merasakan yang namanya diperhatikan lebih oleh kedua orangtuanya. Ia sangat jarang menggunakan waktu luangnya untuk berkomunikasi dengan orangtua, mereka sibuk mengurus bisnis dan jarang di rumah. Rain adalah anak semata wayang, jadi tak ada yang bisa ia ajak bicara, ia merasa kesepian tapi tak boleh bebas keluar rumah. Karena jarang bersosialisasi, sikap Rain jadi buruk, ia dingin dan cuek dengan keadaan, hanya orang-orang tertentu yang ia perlakuan dengan baik, bahkan kedua orangtuanya tidak masuk kategori. Hanya satu orang yang Rain perlakuan dengan baik di rumah yakni, pembantu rumah tangganya sendiri, bi Siti. "Baiklah, kamu boleh melanjutkan SMA di Jakarta, Ayah akan mencari kos untuk kamu," ucap Pak Fatah, setelah mengatakan itu dia langsung pergi meninggalkan Rain ke kamar, dia baru saja pulang dari kantor bersama isterinya yang tak lain adalah ibu Rain, mereka bekerja di perusahaan yang sama, pak Fatah bagian pemasaran sementara bu Maya bagian produksi, perusahaan baju itu berdiri hasil dari perjuangan mereka sejak muda, saat masih berstatus sebagai pasangan kekasih haram, pacaran. *** Satu bulan kemudian. "Gimana udah siap?" tanya Pak Fatah. Ia bicara tanpa menatap Rain, itu yang Rain tidak suka dari orangtuanya, mereka selalu sibuk dengan handphone saat di rumah, padahal mereka jarang di rumah, seharusnya saat memiliki waktu luang, gunakan sebaik mungkin untuk membahagiakan anak. Rain hanya bergumam menanggapinya. Niatnya untuk pergi dari rumah semakin kuat, lagi pula percuma tinggal di rumah dengan fasilitas memadai kalau selalu kesepian dan terkekang. "Nih sarapan dulu," ucap Bu Maya seraya menaruh nenampan berbentuk apel yang di atasnya tersedia roti, selai dan s**u ke atas meja makan. Selama Rain sarapan ayah dan ibunya sibuk dengan handphone, ayahnya terus mengangkat telepon berkali-kali, ibunya sibuk men-scroll layar, ia jadi tidak nafsu makan. "Aku langsung berangkat aja," ucap Rain seraya bangun dari duduknya. "Tapi makanan kamu belum habis itu, Rain," ucap Bu Maya. "Aku enggak nafsu makan." "Yaudah, Mang Ujang udah tunggu di depan," potong Pak Fatah. Bu Maya dan Pak Fatah mengantar Rain sampai Rain masuk ke dalam mobil. "Jaga diri baik-baik di sana, ingat kalau kamu itu seorang wanita, tandanya jangan sampai ada laki-laki yang menyentuhmu dengan sengaja. Jangan pacaran dan bertemanlah dengan anak-anak baik," pesan Pak Fatah. Rain yang sudah ada di dalam mobil hanya mengangguk tanpa menatap ayah dan ibunya di jendela mobil. "Jalan, Mang," ucap Rain. Mang Ujang menatap Pak Fatah dan Bu Maya bergantian. Saat mereka mengangguk Mang Ujang baru melajukan kemudi. "Aku pergi, semoga Ayah dan Ibu bahagia selalu," ucap Rain sebelum menutup kaca mobil. *** Di perjalanan Rain tidak banyak bicara, Mang Ujang yang sudah bekerja lama dengan pak Fatah dan bu Maya justru lebih mengenal bagaimana sifat Rain ketimbang ayah dan ibunya yang jarang di rumah. Rain tidak banyak bicara dan lumayan menutup diri. Dia terlihat selalu serius, padahal kenyataannya ia seperti itu memang karena tidak ada yang mengajaknya bercanda. Hidupnya terasa flat sejak kecil. Saat Mang Ujang hendak keluar untuk membukakan pintu mobil, Rain melarangnya. "Aku bisa sendiri, langsung pulang aja, Mang." Mang Ujang terdiam beberapa saat sampai akhirnya mengangguk. "Ba-baik, Non, semoga betah dan bisa beradaptasi sama lingkungan barunya." Rain hanya mengangguk menanggapinya. Setelah itu ia seret koper ke tempat yang menjadi tujuannya. "Kost Melati Putri," ucap Rain dalam hati seraya menatap plang di samping gerbang masuk. Rain menarik gerbang agar terbuka, setelah itu ia seret kembali kopernya ke dalam. Semalam pak Fatah memberikannya kunci kamar, ia sudah dipesankan kamar dari jauh-jauh hari. Di kunci itu ada tulisan "Kamar VIP KMP 18B" itu pasti nama kamarnya. "Permisi," ucap Rain saat melihat seorang perempuan dewasa bertubuh tinggi besar dengan kacamata kotak bertengger di hidung duduk manis di bawah pohon mangga sambil membaca buku yang entah apa isinya. Perempuan itu mendongak. "Ya, ada apa?" "Ruangan ibu kost di mana?" "Saya Ibu Kost, kenapa? Kamu siapa?" Rain menyodorkan kunci kamarnya pada perempuan itu. "Oh anaknya pak Fatah, langsung naik aja, kamarnya ada di lantai dua bagian ujung dekat tangga menuju balkon." Rain menarik kembali sodorannya lalu mengangguk. Tanpa basa-basi lagi dia langsung pergi begitu saja. Ibu kost itu menatap tidak suka ke arah Rain. "Enggak punya adab, bicara sama orang lebih tua kayak bicara sama bawahan. Haduh ... anak orang kaya zaman sekarang." *** Saat sampai di kamar Rain langsung membereskan peralatannya. Kost yang ia tempati tidak terlalu besar, tapi fasilitasnya lengkap, seperti AC, televisi, almari dan lain sebagainya. Setelah selesai merapihkan semuanya, Rain merebahkan tubuh ke atas kasur, tidak seempuk kasurnya, nuansa kamarnya pun bukan Minnie Mouse, salah satu kartun favoritnya yang ia jadikan motivasi untuk menghiasi kamar. Meski begitu, kamar ini sudah cukup nyaman. Rain mengelus perutnya yang tiba-tiba berbunyi. Dia tadi hanya memakan segigit roti dan dua teguk s**u, tentu saja perutnya belum sempurna terisi. Rain bangun dari tidurnya, ia lihat jam yang melingkar indah di lengan. Ia memilih untuk membeli makanan di luar sekalian lihat-lihat pemandangan. Hal ini tidak bisa ia rasakan kalau sudah di rumah, pekerja ayah dan ibunya selalu lapor kalau Rain keluar, ujung-ujungnya ia dapat omelan. Jalannya tidak ramai, justru lebih sepi dari daerah rumahnya. Cuaca pun sangat panas. Rain menghela nafas berat saat tak kunjung menemukan tukang jualan. Setelah berjalan beberapa langkah lalu belok ke arah jalan raya, mata Rain menangkap gerobak dengan tulisan "Nasi Goreng Mas Jul" di bagian kacanya. "Satu bungkus," ucap Rain saat sudah ada di samping penjual. Penjual nasi goreng itu terlihat terkejut saat melihat Rain. Mungkin karena Rain datang tiba-tiba pesan. "Siap, Neng, tunggu dulu, ya." Rain tidak menjawab, ia langsung duduk begitu saja ke bangku panjang yang sudah tersedia. "Orang baru, ya, Neng?" tanya penjual itu sambil mengoseng-ongseng nasi goreng. "Iya," jawab Rain tanpa memandang orang yang bertanya. "Ngekos di KMP, ya, Neng?" "Iya." Penjual nasi goreng itu akhirnya diam, Rain bukan orang yang asyik diajak bicara. "Mas Jul, biasa," ucap seorang laki-laki muda, sepertinya seusia Rain. "Siap, Mamas Reza, tunggu dulu, ya." Rain menoleh saat merasa bangku yang ia duduki bergerak. Tepat saat Rain menoleh, laki-laki muda itu juga menoleh. Mereka langsung sama-sama membuang muka. Saat Mas Jul--penjual nasi goreng, menoleh, ia tersenyum. "Masyaallah, cocok banget," ucapnya. "Ini punya saya, kan? Terima kasih," potong Rain. Ia ambil bungkusan nasi goreng dari tangan Mas Jul lalu pergi setelah menaruh uang di atas cobek. "Dingin banget, ya, Mas?" ucap Mas Jul. Laki-laki muda bernama Reza itu tidak menjawab, ia menatap punggung Rain sekilas lalu menatap handphone-nya kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD