BAB 7

1580 Words
Setelah jam istirahat berakhir kelas Rain didatangi para OSIS, semua siswa dan siswi yang sebelumnya masih berkeliaran di luar langsung disuruh untuk masuk. Awalnya masih ada yang nyeleneh, tapi karena ketua OSIS di sini tegas dan terkenal galak, semua siswa dan siswi langsung masuk saat ia menggebrak meja. Wajahnya memang terlihat ramah dan manis, tapi siapa sangka kalau sudah marah seperti banteng. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, kami enggak lama-lama kok, cuma mau minta bantuan struktur kelas kumpulin nama-nama siswa yang mau mengikuti ekstrakurikuler. Jenis-jenis ekstrakurikuler-nya akan disebutkan oleh Kak Bayu, silahkan Kak Bayu," ucap Adinda—sekretaris OSIS. Bayu—ketua OSIS langsung maju dengan wajah berubah drastis saat marah tadi. Senyuman manis dan suara ramahnya membuat para kaum hawa terkesima. Dia menjelaskan macam-macam jenis ekstrakurikuler dengan singkat dan jelas. "Terima kasih, Kak Bayu," ucap Adinda, sebenarnya mereka sama-sama kelas sebelas, karena sekarang sedang bicara di depan adik kelas ia jadi harus seperti itu agar adik kelas ikut memanggil kakak. "Iya Kak Adinda." "Baiklah, tolong sekretaris dicatat, ya, yang mau ikut ekstrakurikuler, nanti besok pas istirahat kita ke kelas kalian lagi. Bisa dipikirkan dulu. Terima kasih, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Setelah mengatakan itu Adinda, Bayu dan dua orang temannya keluar dari kelas Rain. Seketika ruang kelas riuh, mereka bingung ingin masuk ekstrakurikuler apa, sekolah mewajibkan setiap siswa mengikuti minimal satu ekstrakurikuler. "Kamu ikut apa, Rain, aku ikut rohis aja deh," ucap Syifa, "gimana kalau kamu juga masuk rohis? Lumayan lho buat nambah-nambah ilmu agama juga." Rain menggeleng, di sekolahnya dahulu pun ada yang namanya rohis, yang ia tahu rata-rata anggotanya berpakaian syar'i bagi perempuan dan laki-laki pun terlihat rapih. Mereka selalu beda dengan yang lain, sementara Rain masih belum siap memakai pakaian syar'i. "Terus kamu ikut apa?" "Gua suka main gitar, mungkin masuk musik, gua enggak mau masuk ke organisasi atau apapun yang enggak sesuai sama skill yang gua punya," ucap Rain. Meskipun ia harus sendiri, ia lebih memilih masuk ke organisasi atau apapun yang sesuai dengan skill-nya daripada ikut-ikutan orang lain tapi merasa tidak nyaman karena tidak memiliki skill di bidang itu. Syifa menganggukkan kepalanya paham, ia tidak bisa memaksa orang untuk mengikuti apa yang ia bisa, karena belum tentu orang itu pun bisa seperti ia. Syifa mulai menuliskan siapa saja yang ikut ekskul beserta apa yang mereka pilih dari orang-orang yang menghampirinya lebih dulu. Ia tidak berani menghampiri, jadi Dimas yang keliling Syifa yang menulis ulang. Karena masih banyak yang bingung dengan kemampuannya masing-masing, akhirnya Dimas memberi saran untuk membuat grup kelas supaya bisa membicarakannya sepulang sekolah nanti. Semuanya setuju. Fatih selaku ketua kelas langsung keliling meminta nomor w******p teman-temannya. Karena sekolah mereka membolehkan bawa handphone asal tidak digunakan saat ada guru, di saat itu juga Fatih langsung memasukkannya satu persatu ke dalam grup. "Mantap akhirnya tanpa minta gua bisa dapet nomor Ukhty Syifa," ucap Devan. Reza hanya memutar bola mata malas, temannya yang satu ini memang tidak pernah berubah—hobby menebar pesona dan mudah kagum dengan wanita cantik—untungnya dia bukan tipe orang yang suka pacaran, tapi karena itu Devan disebut tukang ghosting, dia cuma menebar kenyamanan kepada para kaum hawa, saat sudah bosen ya dilupakan. Dasar Devan! *** Saat bel pulang berbunyi Rain langsung keluar begitu saja. Syifa bergegas mensejajarkan langkah. Sebenarnya Syifa merasa sedih, ia selalu menunggu Rain, tapi Rain tidak mau menunggunya. Namun ia berusaha untuk positive thingking saja, mungkin Rain sedang ada pikiran atau sedang kebelet buat air. "Rain, tunggu ...," ucap seseorang dari belakang. Syifa yang menoleh lebih dulu. Rain menghela napas pelan sebelum menoleh, ia ingin cepat-cepat merebahkan tubuh di kasur. Karena tidak biasa jalan ke mana-mana, tubuhnya jadi pegal-pegal, padahal baru dua hari tinggal di Jakarta dan berusaha untuk mandiri, ternyata hidup sendiri itu memang sekeras ini. "Kenapa?" tanya Rain saat sudah membalikkan badan. Ternyata Fatih yang memanggilnya. "Kok nomor kamu enggak bisa dimasukkin ke grup?" tanya Fatih. Rain baru ingat kalau ia men-setting w******p-nya. Apabila ada yang mau mengundangnya ke grup harus melalui link, ia yang akan masuk sendiri melalui link itu, orang lain tidak bisa sembarangan memasukkannya ke grup. Ia melakukan itu karena saat SMP dahulu sering dimasukkan ke grup kelompok, sementara ia sering dilarang untuk main oleh kedua orangtuanya. "Ah ya, lu kirim link-nya aja ke gua, nanti gua masuk sendiri lewat link itu," ucap Rain. Fatih mengangguk lalu membuka handphone-nya. Tak lama kemudian handphone Rain bergetar pertanda pesan masuk. "Oke, udah aku kirim, terima kasih." Setelah mengatakan itu Fatih langsung pergi. Rain terlihat biasa saja, tapi tidak dengan Syifa, entah mengapa anak itu malah tremor dadakan, tangannya terus saja bergerak memilin ujung kerudung, setelah Fatih pergi baru kegiatan itu terhenti. Setelah masuk ke dalam grup Rain langsung memasukkan handphone kembali lalu melanjutkan jalannya. Syifa pun kali ini nampak pendiam. Jadilah sepanjang perjalanan mereka hanya diam saja. Bahkan saat sampai di perbatasan antara tangga dan belokan, Syifa hanya melambaikan tangan, Rain tidak ikut melambaikan tangan, itu sudah biasa dan sepertinya Syifa pun harus terbiasa dengan sikap Rain mulai sekarang dan seterusnya. Hanya kepada Rain ia bisa leluasa menjadi seorang Syifa, meski tidak diladeni. Saat sampai kamar mereka masing-masing, Fatih memberitahukan informasi. Dia bilang nanti setelah salat Ashar struktur kelas kumpul di sekolah untuk ikut rapat gabungan. Saat SMP dahulu Rain juga dipilih sebagai bendahara, tapi ia sama sekali tidak pernah merasa kerja keras, bahkan tak ada yang namanya rapat. Ternyata dunia SMA beda dengan dunia SMP, dan Rain kesal akan hal itu, niatnya ia ingin langsung tidur sampai matahari tenggelam, semalam ia benar-benar kurang tidur. Ia sampai rumah pukul dua siang, sekarang hanya ada waktu satu jam untuk tidur, daripada kebablasan lebih baik ia gunakan waktu singkat ini untuk mencuci pakaian setelah itu nonton drama kesukaannya di laptop. Rain paling suka dengan genre action-mistery, kalau sudah bertemu dengan hal-hal berbau romance, ia tak segan-segan men-skip-nya. Rain tidak hanya memiliki kehidupan flat, kisah cintanya pun flat, buram tak berwarna. Sampai detik ini, ia belum suka dengan laki-laki mana pun selain aktor-aktor unggulannya di drama, itu pun tak berlangsung lama, kalau sudah bosan ya sudah ia lupakan. Namun jujur saja, ia suka dengan laki-laki dingin yang penuh misteri. *** Tepat setelah salat Ashar dia turun ke bawah, niatnya ingin menghampiri Syifa, tapi malah berpapasan di tangga, Rain ingin turun sementara Syifa ingin naik. Syifa tersenyum manis saat menatap Rain, senyuman yang paling Devan sukai, sayangnya anak itu tidak ada di sini sekarang. "Baru aja aku mau samper kamu, yaudah kita langsung berangkat aja." Rain mengangguk setuju, siang tadi Syifa tidak banyak bicara, tapi sekarang seperti handphone setelah di-charger, mode banyak bicaranya timbul kembali, awalnya Rain merasa terganggu, tapi dua hari berurusan dengan Syifa ia merasa biasa saja, dalam hati ia berkata, kalau tidak banyak bicara ya bukan Syifa namanya, kalau banyak bicara ya namanya juga Syifa. Saat sampai di aula, semua struktur kelas disatukan semua. Guru Bimbingan Konseling mulai berbicara, ternyata kegiatan ini terstruktur sampai guru pun ikut serta. Mereka semua mendapatkan siraman rohani, sampai akhirnya diberitahu apa saja tugasnya. Ternyata se-disiplin ini, kata-kata itu terus terulang dalam pikiran Rain. "Rain, kamu anaknya pak Fatah, ya?" tanya Bu Ira—Guru Bimbingan Konseling—setelah kegiatan selesai. Sekarang mereka sedang duduk-duduk santai di aula, menunggu para ketua berdiskusi. Rain hanya mengangguk menanggapinya. Ia tak selera jika sudah membahas keluarga. "Pak Fatah masuk deretan orang terkaya ke-lima di negara kita, sejarah hidup pak Fatah dengan bu Maya viral di media massa digital ataupun non digital, patut dijadikan contoh," ucap Bu Ira. Rain tersenyum miring, bahkan ia yang menjadi anaknya saja tidak mau menjadikan ayah dan ibunya panutan. Mereka menjengkelkan di mata Rain. "Tapi kok kata anak-anak kelas, kamu rada pendiam, ya? Apa karakter kamu kayak gini atau kamu enggak nyaman sama sekolah dan lingkungannya?" tanya Bu Ira lagi. Rain yakin, mereka semua tidak hanya mengatakan ia pendiam, segala embel-embel buruk lainnya pun pasti mereka katakan. "Dia enggak pendiam kok, Bu, kita cuma harus tau aja gimana caranya ngajak dia bicara," sambar Syifa, ia paham dengan kondisi Rain yang tak bisa menjawab karena menahan emosi, terlihat jelas di wajahnya, Rain tipe orang yang tak suka ditanya tentang keluarganya, apalagi karakternya. Syifa belum paham dengan itu, yang ia tahu saat ini Rain hanya sedang tidak enak pikiran, soalnya sejak tadi dia diam saja. Bu Ira menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Semoga kalian sukses, ya, yaudah Ibu duluan." Setelah mengatakan itu Bu Ira pergi. Melihat para ketua selesai berdiskusi, Rain langsung bangun dari tempatnya duduk. Waktunya pulang sudah tiba. "Ayo kita pulang," ucap Rain. Syifa mengangguk setuju. Tepat saat Rain dan Syifa keluar dari gerbang, mereka dapat melihat Reza sedang memeluk seorang wanita paruh baya. "Hati-hati, Bunda, aku tunggu di rumah, sebentar lagi aku pulang kok," ucap Reza. Langkah Rain dan Syifa terhenti sesaat, mereka masih tak percaya laki-laki cuek seperti Reza bisa semanis itu kepada ibunya. "Yaudah Bunda berangkat, ya, assalamu'alaikum." Setelah Reza menjawab salamnya, ibu itu pergi, bahkan Reza membantu ibunya menyebrang. Dari awal ibunya masuk mobil sampai mobil itu pergi Reza masih saja memerhatikannya, seolah tak percaya dengan siapapun, ia hanya bisa percaya kalau melihat dengan mata kepala sendiri. Saat Reza melirik ke arah Rain dan Syifa, mereka berdua langsung melanjutkan langkahnya kembali, ketahuan sedang memerhatikan. Sebenarnya Reza tahu kalau sejak tadi sedang diperhatikan, ia hanya pura-pura tidak tahu saja. Sepanjang perjalanan pulang Rain terbayang bagaimana akrabnya Reza dengan ibunya. Dalam hati, ia merasa iri, ingin rasanya bisa sedekat itu dengan orangtua, tapi sayang ... orangtuanya berbeda dengan orangtua lain. Rain tersenyum kecil, ia bahagia karena bisa mencintai diri sendiri, itu sudah lebih dari cukup melalui lisan, meski hati belum menerima.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD