BAB 6

1429 Words
Tepat saat matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya. Rain dan Syifa sudah ada di jalan menuju tempat pembelian sarapan. Kemarin siang sebelum kembali ke kamar masing-masing, mereka janjian untuk beli sarapan bersama. Dan pagi ini, Syifa yang menghampiri Rain, hampir saja Rain kesiangan kalau Syifa tidak menghampirinya, semalam ia tidak bisa tidur karena mendengar suara jangkrik, Rain paling tidak suka suara jangkrik, karena itu kamarnya di rumah kedap suara. Karena sekarang ia sedang ada di kost, ia hanya bisa menutupi telinga dengan bantal. Ia bukan tidak suka dengan jangkriknya, hanya tidak suka dengan suaranya karena Rain pernah mimpi buruk yang bersangkutan dengan suara jangkrik, sampai sekarang ia masih suka mimpi buruk kalau mendengar suara jangkrik. Entah, ia pun aneh dengan itu, bi Siti bilang itu hanya suggest, tapi Rain tidak pernah menginginkan mimpi buruk dalam bentuk apapun, mimpi buruk itu hadir dengan sendirinya. Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya mereka menemukan tukang nasi uduk. Syifa menghela napas pelan, keningnya sudah dibasahi keringat, untungnya masih pagi, sinar matahari masih sehat untuk tubuh. "Kamu kok tadi baru bangun, Rain, enggak salat Subuh? Atau kamu habis salat Subuh terus ketiduran?" tanya Syifa sambil menunggu tukang nasi uduk menyiapkan dua porsi, mereka akan makan langsung di tempat itu. "Gua tidur jam tiga, dan belum salat Subuh." Mata Syifa membulat kaget. "Rain, kok kamu tinggalin salat Subuh, sayang banget ...," ucap Syifa heboh. Rain yang masih di tahap mengumpulkan nyawa, hanya diam saja. Sejak tadi ia masing mengantuk, jalan pun sambil bengong. "Rain salat lima waktu itu wajib, kalau kamu enggak laksanain nanti malah dosa," ucap Syifa lagi, Rain yang meninggalkan salat, Syifa yang kelabakan. Syifa memang dibiasakan untuk salat tepat waktu, bahkan salat sunnah pun ia laksanakan, mengetahui Rain tidak salat ia jadi merasa sangat sayang, di luar sana banyak orang yang mau salat tapi tak leluasa, entah karena dijajah ataupun keadaannya yang tidak memungkinkan. Rain masih diam saja, sebenarnya ia kurang suka dengan cara Syifa mengajaknya bicara pagi ini. Mungkin karena kondisi Rain yang sedang berada di ambang tidur dan bangun, jadi mudah emosi. Setelah mendapatkan satu piring masing-masing, Syifa baru diam. Tepat saat Rain hendak menyuap nasi uduk ke dalam mulutnya, handphone ia berdering pertanda telepon masuk. Napasnya berembus pelan saat melihat siapa yang menelepon, ayahnya. "Aku lagi sarapan, nanti lagi aja teleponnya," ucap Rain tepat saat ia mengangkat telepon. "Dengar Ayah dulu, baru bicara, sesulit itu memberikan waktu sedikit?" ucap Ayahnya di balik telepon dengan suara tidak suka. Wajah Rain yang sudah tertekuk dua semakin bertekuk-tekuk, mood-nya langsung tidak baik. "Kenapa?" Syifa hanya bisa memerhatikan, ia tidak berani bertanya, ia merasa kalau itu masalah pribadi Rain. "Tadi malam Ayah telepon tapi telepon kamu enggak aktif, kamu ke mana? Kamu main ke luar? Jangan aneh-aneh, ya, di sana, atau Ayah bawa kamu ke Malang lagi." Rain memutar bola matanya malas. "Aku sengaja matiin. Aku enggak keluar." "Kamu enggak bohong, kan?" Rain menghela napas lebih berat agar Ayahnya tahu kalau ia merasa keberatan saat makan ditelepon seperti ini. "Aku bukan wanita malam, Ayah," ucap Rain dengan suara penuh penekanan. Dari sana Syifa tahu kalau sekarang Rain sedang berbicara dengan ayahnya. "Ayah enggak tanya kamu wanita malam atau bukan, yang Ayah tanya kamu ke luar atau enggak semalam?" Kali ini Rain benar-benar mengembuskan napas kasar. "Aku udah bilang enggak, Ayah!" Setelah mengatakan itu Rain langsung memutuskan saluran telepon, ayahnya itu tidak pernah berubah, selalu saja memojokkannya. Rain jadi tidak nafsu melanjutkan sarapannya. Melihat Syifa sudah menghabiskan separuh makanannya, akhirnya ia mulai makan. Baru tiga suap ia langsung menyingkirkan piring. "Kok enggak dilanjut?" tanya Syifa sambil mengelap bibirnya dengan tissue, dia sudah menghabiskan makanannya. "Enggak lapar, ayo langsung ke kost." Tanpa mau mendengar penuturan Syifa lagi, Rain langsung bangun dan berjalan lebih dulu. Ia sudah membayar nasi uduk di awal, jadi setelah makan bisa langsung pergi. *** Rain dan Syifa sampai di sekolah tepat saat bel masuk berbunyi, mereka telat karena tadi pagi terlalu lama mencari sarapan. Tak lama setelah mereka sampai di kelas, bu Fidzah datang. Dari sekian wali kelas, hanya bu Fidzah yang selalu datang paling awal. Mungkin karena dia masih muda, wali kelas lain terlihat sudah lanjut usia. Setelah bicara singkat di awal, Bu Fidzah mulai menjelaskan apa yang mau ia tentukan hari ini. Dia bilang hari ini akan ada penentuan struktur kelas. Untuk menghemat waktu, Bu Fidzah akan memilih sesuai dengan apa yang ia inginkan. "Kamu Fatih, ya?" ucap Bu Fidzah sambil menatap anak laki-laki yang duduk paling depan, dia memang terlihat lebih rapih dan cerdas daripada laki-laki lain di kelas ini, dari wajahnya saja sudah terlihat aura-aura ketua kelas. Fatih mengangguk. "Iya, Bu." "Kamu maju, Nak," ucap Bu Fidzah. Tanpa ragu Fatih langsung maju, perempuan yang duduk di depan Rain langsung berbisik, samar-samar Rain bisa mendengarnya, Fatih itu peraih nilai terbesar di sekolahnya dahulu, dan dia bisa masuk SMA X tanpa syarat, alias beasiswa dari kecerdasannya. Bu Fidzah menoleh ke arah Rain, ia tahu latar belakang Rain, tapi tak menyeluruh, yang ia tahu Rain itu anak dari keluarga kaya raya yang disiplin, mengingat dia orang berada Bu Fidzah langsung terpikir untuk menjadikan Rain bendahara. Bukan bermaksud su'uzon dengan anak didiknya, biasanya anak orang kaya tidak tertarik uang kecil semacam kas, jadi dia tidak akan menyalahgunakannya. Bu Fidzah hanya menerapkan tindakan preventif. Ditambah Rain itu perempuan dan wajahnya lumayan garang, cocok jadi penagih kas ke para laki-laki atau perempuan yang susah dimintai uang kas. "Rain kamu maju, Nak," ucap Bu Fidzah. Rain menautkan kedua alisnya. "Saya?" ulangnya. Bu Fidzah mengangguk sambil tersenyum. Syifa mendorong Rain pelan agar anak itu segera bangun. Mau tak mau akhirnya Rain maju ke depan. Karena di awal perkenalan Rain terlihat sombong, ia langsung mendapat hater. Padahal saat itu ia menampakkan wajah jutek dan langsung duduk begitu saja karena laki-laki yang duduk di bagian belakang, ia tidak suka digoda seperti itu. "Kemarin yang jujur habis diajak foto sama kakak kelas siapa? Reza atau Devan?" tanya Bu Fidzah. Mencari orang pintar itu mudah, tapi mencari orang jujur susah, karena itu Reza bisa dijadikan salah satu struktur kelas. "Reza, Bu," jawab para perempuan barisan depan—fans Reza garis keras. "Ya, saya suka sama kejujuran Reza, kamu maju sini." Sama seperti Fatih, Reza juga maju saja tanpa banyak protes. Malah yang heboh si Devan, merasa bangga karena temannya akan terpilih menjadi struktur kelas. "Em, siapa lagi ya ...," ucap Bu Fidzah sambil melihat nama-nama anak didiknya dari lembar absen. "Dimas, Syifa sama Bima deh, maju sini." Fatih, Rain, Reza, Dimas, Syifa dan Bima berdiri di depan para siswa dan siswi di kelas X IPA-1. Fatih, Reza dan Rain diam sambil menatap ke depan, Dimas dan Bima—si kembar sibuk menebar pesona, dan Syifa menunduk karena malu menjadi tatapan teman-teman kelas. Terlebih saat ia tak sengaja berpapasan mata dengan Devan, anak itu terus saja menatap Syifa dan Rain dengan wajah terkesima. Sebutan untuk Devan, si tampan yang menyukai wanita cantik. "Ibu milih enam orang ini enggak sembarangan, setelah Ibu tau akan jadi wali kelas kalian, Ibu langsung melihat daftar nama kalian sekaligus latar belakang kalian. Fatih, Ibu percayakan kamu sebagai ketua kelas, Bima wakil ketua kelas, Rain bendahara satu, Reza bendahara dua, Syifa sekretaris satu, dan Dimas sekretaris dua. Ini udah fiks, ya, Ibu enggak akan rubah selama kalian kelas sepuluh." "Ibu bisa aja milihnya, Rain sama Reza, sama-sama sangar, cocok sih jadi bendahara yang biasanya gegedoran mintain uang kas," ucap Devan yang disetujui para laki-laki bagian belakang. Kalau bagian depan para perempuan fans Reza garis keras, sementara wilayah belakang itu para laki-laki fans Rain garis keras. Bu Fidzah tertawa. "Kan Ibu udah bilang, enggak sembarangan milih." Dan pada akhirnya mereka semua sudah resmi menjadi struktur kelas. Setelahnya Bu Fidzah memulai mata pelajarannya. Tepat saat mau kembali ke bangku masing-masing, tanpa sengaja Syifa berpapasan dengan Fatih. Padahal ini salahnya, tapi Fatih terlihat tidak menyalahkan Syifa. "Maaf," ucap Fatih tanpa menatap Syifa,—dan dia malah meminta maaf atas kesalahan Syifa. Seketika Syifa terdiam lalu mengangguk. Ini kali pertamanya menatap Fatih dari jarak dekat. Jantungnya tiba-tiba berdetak cepat, ia langsung mengangguk lalu kembali ke bangkunya. Rain sudah lebih dulu duduk. Di sisi lain, Fatih malah tidak fokus karena Rain. Perempuan itu tadi menatapnya dengan tatapan tajam. Fatih mengira kalau Rain menatapnya, padahal Rain menatap Reza yang sedang menampakkan wajah sok di depan para siswa dan siswi—karena itu ia menatapnya dengan tajam. "Kenapa?" tanya Rain saat melihat Syifa mengigit tangan dengan wajah gugup. Ini pertama kalinya Rain bertanya kepada Syifa tanpa Syifa mulai lebih dulu. Syifa menggeleng. "Enggak apa-apa kok, Rain." Setelah mendengar kata tidak apa-apa Rain langsung mengalihkan pandangannya ke depan, ke arah Bu Fidzah yang mulai berbicara kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD