18. Flashback II

1059 Words
14 Mei 2922 Entah sudah berapa ratus robot yang telah mereka--The Trio Jenius-- ciptakan. Pembelian terus saja mengalir. Para orang kaya seakan berlomba agar mempunyai robot ciptaan mereka. Tahun ini, robot tipe 9 akan diluncurkan. Tentu saja hal ini menjadi sorotan publik kembali. Sebab, semakin naik tipe robot, maka semakin bagus dan canggih pula robot tersebut. Produksi robot melejit, hingga membuat Davin tidak lagi menjadi seorang aktor. Dia memilih pensiun, agar bisa fokus akan robot ciptaannya itu. Tetapi, sesuatu yang sama sekali tidak terduga malah terjadi. Di sana, terlihat Davin sedang meringkuk melindungi kepalanya di pojok samping meja. "Stop! Berhenti!" masih dengan posisinya, Davin berteriak tanpa menoleh ke belakang. "Huh, berhenti kau bilang? Apa kau sadar, perintah mu itu malah membuatku semakin ingin untuk membunuhmu, Dav." Perkataan itu semakin membuat seluruh tubuh Davin bergetar. Dia benar-benar tidak menyangka, hal ini akan terjadi. "Berhenti! Aku mohon ..." ucap Davin dengan nada bergetar. "Bahkan sekarang, kau memohon. Huh, sungguh diluar dugaan, Dav." Jawaban itu membuat Davin hanya ingin menangis saja. Hal ini berawal dari dirinya yang ingin memeriksa keadaan Ladam. Tapi, malah perbuatan seperti ini yang ia dapatkan. "Aku mohon .... Aku berjanji, aku akan melakukan apapun untukmu, La." Davin masih meringkuk di sudut meja. Dia benar-benar tak berani untuk sekadar menoleh. Ladam di belakangnya, dia membawa sebuah revolver di tangan kanannya. Ladam yang mendengar hal itu, tersenyum miring sambil memainkan revolver itu. "Hmm, apapun ya?" gumam Ladam yang masih terdengar oleh Davin. "Ya, apapun itu. Asal kau tidak membunuhku." sahut Davin kali ini berteriak. Lagi-lagi, Ladam menampilkan senyum miringnya, "Pilihan yang tepat, Dav." --- Hari ini, Davin bangun pagi-pagi. Di atas nakasnya, jam menunjukkan pukul 4. Biasanya, dia terbangun di jam 8 atau 9 pagi. Entah kenapa, Davin merasa jika hari ini akan terjadi suatu peristiwa besar untuknya. Tapi Davin tidak tahu, apakah firasatnya benar atau tidak. "Tadi itu, mimpi?" gumam Davin bertanya pada diri sendiri. "Aku berharap itu hanya mimpi." gusar Davin mengusap wajahnya kasar. Dia mengusak rambut berantakannya. Lalu beranjak turun dari ranjangnya untuk menuju dapur. Dia ingin menyegarkan pikirannya. "s**u cokelat, bantu aku mengusir pikiran buruk ini." Davin melangkah dengan gontai, dia masih merasa lemas akibat tidurnya tadi. Dapur terlihat beberapa meter lagi, Davin sontak tersenyum. Ia mempercepat langkahnya untuk segera membuat s**u cokelat. "Aku berharap itu mimpi." Davin menggumamkan perkataan itu lagi. Semalam, dia bermimpi jika Ladam, robot ciptaan mereka malah ingin membunuh dirinya. Davin masih ingat, Ladam mengatakan sesuatu tentang menciptakan negara baru. Negara untuk memproduksi banyak robot. Davin juga masih mengingat jelas, ketika Ladam mengatakan, bahwa dirinya ingin menjadi pemimpin negara itu nantinya. Davin mendengus, terkekeh geli mengingat mimpinya itu. Dia lalu tersenyum ketika s**u panasnya sudah siap untuk diminum. Davin berpikir untuk melihat keadaan Ladam. Dia beranjak dari duduknya, melangkah menuju sebuah ruangan tempat Ladam disimpan. Ladam memang di nonaktifkan, mereka pikir, Ladam adalah ciptaan paling mengagumkan yang pernah mereka buat. Itu sebabnya, mereka tidak mau, suatu saat nanti Ladam akan rusak. Davin memutar kenop pintu berwarna cokelat itu. Dia mendorong dengan pelan pintu tersebut. Davin pikir, ketika ia masuk ke dalam ruangan itu, ia akan menemukan Ladam dengan posisi biasanya. Yaitu, di dalam kotak kaca, dengan posisi berdiri tegap dan tangan yang menyilang di depan dadanya. Namun ternyata, yang Davin dapatkan adalah sebuah ruangan yang kacau balau. Peralatan yang ada di sana terhambur begitu saja di lantai. Pecahan kaca ada di mana-mana. Bahkan Davin melihat sebuah revolver berada di dekat jendela di sana. Davin terperangah, dia menggeleng tidak percaya. Davin sekarang sedang meyakinkan dirinya sendiri, bahwa kejadian tadi malam itu hanyalah sebuah mimpi buruk. Bukan lebih. Tapi di sini, sudah jelas, bahwa kejadian itu sama sekali bukan mimpi. Davin dengan wajah syoknya, perlahan mundur ke belakang dengan lemas. Tubuhnya tidak bertenaga saat ini, sehingga tubuh lemas itu terjatuh dengan sendirinya. Davin mengusak rambutnya kasar. Dia ingin, kejadian tadi malam itu hanya mimpi belaka. Dia ingin, itu semua hanya khayalannya saja. "I-ini, ini tidak mungkin terjadi, bukan?" tanya Davin lirih kepada kekosongan ruangan itu. "Aku .... aku tidak mau melakukan itu ....." ucap Davin ketika dirinya mengingat janji yang telah ia buat dengan Ladam. "TIDAK!! AKU TIDAK MAU MELAKUKAN HAL ITU!!!" Davin dengan frustasi berteriak dalam ruangan kosong tersebut, mengakibatkan teriakannya menggema. "Aku ... aku tidak mau." Davin terus meracau kata-kata 'tidak mau'. Tangannya bahkan tak segan-segan untuk menarik rambutnya dengan kencang. "Itu semua hanya mimpi ...." lirih Davin sungguh tidak terima. "Ladam. Aku harus menemukan Ladam!" Davin dengan kebingungan, beranjak dari jatuhnya. Dia melangkah gontai menuju luar ruangan. Mulutnya sekarang tak berhenti menggumamkan kata-kata 'Ladam'. "Aku harus menemukan robot b******k itu!" Beberapa detik setelah mengucapkan hal itu, Davin dikejutkan akan kedatangan sosok yang akan ia cari. Di pintu rumahnya, berdiri sosok Ladam dengan tubuh tinggi tegapnya itu. Saat ini, di tangan kanannya Ladam membawa sebuah revolver. Davin dengan refleks, menelan ludahnya takut. Dia berpikir, akankah ini hari terakhirnya untuk bernapas di dunia. "Ladam." gumam Davin pelan. Ladam di depan sana menyeringai seram. Tubuh Davin sampai bergidik ngeri. Dia benar-benar menyangka, bahwa hari ini adalah hari terakhir hidupnya. "Dav, apa kabar?" Pertanyaan Ladam malah membuat Davin semakin ketakutan. Davin beringsut mundur ketika Ladam dengan--entah disengaja atau tidak-- pelan melangkah maju menghampiri dirinya. "Dav, ada apa? Kau tentu ingat janjimu, bukan?" Ladam bertanya dengan memainkan revolvernya. Dia terus melangkah menuju Davin. Davin dengan kening mengkerut hanya bisa mundur dengan perlahan. Dirinya benar-benar sedang dilanda ketakutan sekarang. "DAV!!" merasa tidak mendapat jawaban, Ladam berseru dengan ekspresi marah. "Jawab Ladam, Dav! Kau masih ingat 'kan?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Ladam dengan nada lembut. "Te-tentu. Tentu aku masih mengingatnya." jawaban Davin terdengar seperti ketakutan. Dia terus menundukkan wajahnya agar tidak bersitatap dengan mata Ladam. Davin merasa, Ladam semakin mempunyai perasaan sama persis seperti manusia pada umumnya. Tapi, Davin pikir, Ladam tidak punya rasa amarah. Dia hanya berteriak dengan suara besarnya. "Bagus. Dan apa itu?" suara Ladam terdengar kembali. "Aku, aku harus menyingkirkan mereka ..." balas Davin dengan enggan. Senyuman miring Ladam nampak lagi. Dia merasa puas akan jawaban dari penciptanya itu. "Benar, applause untukmu." Ladam mengangguk-angguk dengan tangan yang saling bertepuk. "Untuk apa?" tanya Ladam lagi. "U-untuk, memudahkan rencanamu ..." jawab Davin dengan nada bergetar. "Hahaha, bagus Davin. Kau masih mengingat janjimu itu, hahaha." suara tawa Ladam menggema di dalam rumah Davin yang besar itu. "Sekarang, kau tahu apa tugasmu 'kan?" lanjut Ladam bertanya kembali. Davin mengangguk kaku, "Iya, aku tahu." ia menjawab dengan nada lirih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD