13. Human II: Manusia II

1056 Words
Pagi ini, Saki belum mengisi baterainya sama sekali. Bukan kenapa, Saki hanya mencari dan membaca semua buku digitalnya semalaman hanya untuk mencari satu kata. Manusia. Dia sungguh penasaran. Dan kali ini, entah bagaimana, rasa penasarannya lebih mendominasi daripada yang kemarin. Saki sampai lelah. Baterainya hampir habis sekarang. Dia sangat butuh diisi baterai saat ini juga. Tapi, Saki merasa tidak perlu. Sebab, masih banyak buku digital yang belum ia baca. Dengan mata yang setengah terbuka, Saki menggulir layar hologram berbentuk persegi panjang kecil yang berada di hadapannya. Mungkin, Saki akan tetap melanjutkan kegiatannya itu, jika sang ayah tidak menginterupsi Saki. Ayah Saki merasa terkejut. Dirinya mengira, Saki masih terpejam dengan kabel yang terkadang di tubuhnya--mengisi baterainya. Tapi, ternyata, anaknya itu sedang terduduk di ranjang kasur. Dengan setengah tubuh yang menyender ke bagian atas ranjang, itupun tubuhnya sudah setengah bungkuk. Ayahnya berpikir, kenapa dia tidak mengisi baterainya dulu saja. Baru membaca semua buku digital yang Saki punya, dan itu sangat banyak. "Saki!" seru sang ayah membuat Saki langsung menegapkan tubuhnya. "Ya Ayah?" tanya Saki pelan. Sungguh, dirinya sudah tidak ada tenaga sama sekali. "Cepat letakkan semuanya. Segera isi baterai mu Saki!" perintah sang ayah dengan tegas. "Ya, tolong." balas Saki masih dengan nada pelannya. Ayah Saki mengangguk, lantas segera menutup buku digital Saki. Dia juga membantu anaknya untuk berbaring telentang di kasurnya. Lalu, dia menyambungkan kabel pengisi baterai dengan tubuh Saki. Ayah Saki berdecak, memang dirinya yang meminta anaknya itu untuk memiliki rasa penasaran. Tapi, dia tidak tahu, jika rasa penasaran itu sudah mencapai tingkat yang tinggi. Lengannya bergerak, membelai rambut Saki. "Hati-hati Nak, mereka mengincar kita yang mengetahui. Walau itu cuma sedikit, mereka akan tetap mengincar kita. Ayah mohon, kau dan teman-teman mu, harus selalu berhati-hati. Sebab, mereka tidak akan pernah punya rasa pantang menyerah." ayah Saki bergumam, dia tidak mau anaknya mendengar ucapan kecilnya itu. Setelah itu, ayah Saki beranjak dari duduknya. Dia melangkah keluar dari kamar Saki. Saki yang melihat hal itu, membuka matanya perlahan. Sejujurnya, dia mendengar semua yang ayahnya bicarakan tadi. Tapi, dia sama sekali tidak mengerti, apa yang dimaksud sang ayah. Apa atau siapa itu mereka atau kita yang ayahnya bicarakan barusan. Tak mau memikirkan hal itu lebih lanjut sekarang, Saki memutuskan untuk mematikan dayanya. Sehingga, pengisian baterai akan lebih cepat berjalan. *** Hari ini, Saki berencana pergi ke rumah Randra. Dia akan melanjutkan pembicaraan mereka yang kemarin tertunda. "Saki." Langkah Saki terhenti, dia mendengar ayahnya memanggil. Saki bergegas menemui sang ayah. Sekaligus untuk meminta ijin, bahwa dia akan pergi keluar dan bermain seperti biasanya. "Ya Ayah. Ada apa?" tanya Saki begitu dirinya sudah berada di bangku yang berada di sebelah ayahnya. "Jangan terlalu malam. Ayah tau, kau pasti akan melanjutkan pencarian untuk menuntaskan rasa penasaran mu itu 'kan?" Saki tergelak, "Haha, ya Ayah. Saki usahakan tidak pulang malam hari ini." balas Saki. "Bagus. Di manapun kau berada, selalu ingat pesan Ayah. Mengerti?" "Ya, selalu waspada dan berhati-hati. Banyak kejadian yang tak terduga di dalam hidup. Dan nikmati hidupmu selagi kamu belum mati." ucap Saki mengingat jelas pesan sang ayah yang selalu ia berikan setiap harinya. "Benar 'kan?" tanya Saki dengan nada meledeknya. "Bocah. Ya, sana pergi!" usir ayah Saki terlihat kesal. "Hahaha, baik Ayah. Ayah juga, selalu jaga diri, ok?" pinta Saki kepada ayahnya. Sang ayah hanya mengangguk, lalu setelahnya kembali menyeruput brown oilnya. Saki melambaikan tangan kanannya, sebelum ia pergi ke luar rumahnya untuk menuju kediaman Randra. Di luar, Saki mengaktifkan SWGnya. Dia langsung saja melesat tinggi, terbang dengan kecepatan yang sengaja ia naikkan dari kecepatan biasanya. Saki hanya ingin cepat-cepat sampai ke rumah Randra. Selama diketinggian, Saki tidak berjumpa maupun hanya sekedar melihat helikopter yang biasanya terbang. Saki berpikir sebentar, ada apa gerangan hingga tak ada satupun helikopter yang beterbangan. Saki segera melupakan pikiran itu, kala atap rumah Randra sudah terlihat di depan sana. Saki lantas menambah kecepatan SWGnya. Beberapa meter sebelum ia mendarat, Saki memelankan laju SWGnya terlebih dahulu. Dia berhenti tepat di depan gerbang besar rumah Randra. Saki rasa, Sanka dan Randra sudah menunggunya di tempat biasa mereka berkumpul--kamar Randra. Setelah mendarat dengan sempurna, Saki langsung menonaktifkan SWGnya. Dia mendekat ke arah gerbang, guna menekan bel yang terpasang di sana. Bel dibunyikan oleh Saki beberapa kali. Lalu, pintu gerbang yang besar itu terbuka dengan sendirinya. Saki berjalan masuk ke dalam. Pintu rumah Randra juga sudah terbuka. Saki mengucapkan selamat pagi sebelum ia masuk ke dalam rumah Randra. "Selamat pagi juga, Saki." sahutan itu terdengar, Saki tersenyum ke arah para leluhur Randra yang tengah melakukan kebiasaannya--menonton televisi. Setelah itu, agar tidak diajak berbasa-basi lagi, Saki bergegas menuju kamar Randra yang berada di lantai atas. Sungguh, berapa kali pun dia berkunjung ke rumah Randra, pasti dirinya akan selalu berkagum-ria atas interior rumah kawannya ini. Setelah melewati tangga dan lorong panjang menuju kamar Randra, Saki akhirnya sampai di depan pintu kamar kawannya itu. Saki mengetuk beberapa kali, "Randra, Randra!" panggil Saki dengan kencang. Seperti biasa, pintu terbuka dengan sendirinya. Saki sontak bergegas masuk ke dalam kamar Randra. Ternyata, tebakan Saki benar. Kedua kawannya ini sudah stand by di kamar Randra. "Silahkan duduk, Tuan telat." ucap Randra dengan mengejek. "Diam!" sentak Saki tak suka. Sanka tersenyum miring sambil menggelengkan pelan kepalanya. "Sudah, hentikan dulu perdebatan kalian itu. Sebaiknya, kita segera lanjutkan pencarian kemarin!" ucap Sanka dengan nada perintahnya. "Itu, kita lanjutkan nanti dulu." balas Saki mengambil duduk di samping Sanka. Mereka duduk di atas karpet tebal kamar Randra, dengan meja kecil berbentuk bundar yang berada di tengah-tengah. Di meja itu juga, tersedia minuman kesukaan mereka masing-masing, dan tentu dengan sandwich pedas favorit mereka semua. "Kenapa?" Sanka bertanya. "Ya, Saki. Bukankah kita berkumpul untuk lanjut menyelidiki hal kemarin, bukan?" Randra pun ikut bertanya. "Diam, dan dengarkan aku dulu." pinta Saki kepada kedua kawannya. Sanka dan Randra mengangguk, mereka menatap wajah Saki dengan ekspresi serius. "Kemarin, aku bertanya pada ME ku. Yah, aku menanyakan, apakah ada memori di kepalaku ini tentang, adakah robot yang pernah aku temui yang berpengetahuan luas atau tidak? Lalu, ME ku menjawab. Bahwa, hanya Profesor Jula yang dia temukan." penjelasan itu berhenti sejenak. Sengaja, Saki ingin mengetahui raut wajah kedua kawannya dengan seksama. "Lalu?" tanya Randra penasaran. "Lalu, ME ku berkata lagi. Dia bilang, Profesor Jula adalah makhluk yang ia tidak ketahui sama sekali." lanjut Saki membuat kedua kawannya tersentak. "Apa maksudnya itu? Lalu apa atau siapa sebenarnya Profesor Jula?!" tanya Randra dengan nada meninggi. "Dia .... adalah manusia."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD