28. Amazing

1002 Words
Setelah masuk ke dalam pintu baja, ternyata mereka muncul di air terjun. Saki menelaah tempat itu, dia pikir pintu baja itu menyambung dengan tembok tanah yang berjarak beberapa meter dengan air terjun. Dia melihat sekeliling tembok tanah itu. Tertutupi dengan tanaman rambat, hampir sama seperti tanaman rambat di dunianya. Saki lalu mendekat ke arah pintu baja tadi berada. Dia mengambil sebongkah kayu untuk ia lemparkan ke tanaman rambat itu. Dia ingin menguji, apakah tanaman rambat itu beracun seperti tanaman tambat yang ada di dunianya, ataukah tidak. Saki sudah siap, dia bahkan mengambil ancang-ancang sebelumnya. Saki bergumam, dalam hitungan ketiga dia akan melemparkan kayu itu. "1, 2, 3!" Bukk Suara kayu terlempar terdengar kencang. Saki tak segan-segan untuk melempar kayu itu dengan sekuat tenaga. Randra dan Sanka yang mendengar kegaduhan, lantas pergi ke arah Saki untuk mencari tahu. "Saki, ada apa?" tanya Sanka. "Tidak, aku hanya ingin mengecek, apakah tanaman rambat itu beracun seperti tanaman di dunia kita." jawab Saki sambil melangkah ke arah kayu itu tergeletak. Dengan ragu-ragu, Saki mengambil kayu itu. Dia lalu berseru ketika lengannya baik-baik saja ketika menyentuh kayu tersebut. Dia lalu melangkah pelan untuk bisa memegang tanaman rambat di sana. Tangannya menjulur dengan pelan, dia berseru kembali ketika lengannya baik-baik saja. "Ini tidak beracun!" seru Saki kepada kedua kawannya. "Benarkah?" tanya Randra berlari menghampiri Saki. "Itu benar." Randra bergumam ketika dirinya berhasil memegang tanaman rambat itu dengan ragu-ragu. "Hmm, dunia ini berbeda dengan dunia kita, 'kan?" tanya Sanka yang berada di belakang mereka. "Ya, berbeda." Saki menjawab dengan gumaman. "Tapi, kenapa kau mencari tahu tanaman ini beracun atau tidak, Ki?" Randra yang merasa bingung bertanya pada Saki. "Itu, aku ingin mencari pintu baja. Barangkali itu ketemu dengan kita yang meraba tanaman rambat ini, 'kan?" Saki menjawab dengan pertanyaan kembali. "Mungkin, kita coba saja dulu." Randra yang menjawab. Setelah percakapan itu, mereka berpencar ke segala penjuru. Saki meraba tanaman rambat itu dengan kasar. Dia berharap, jika dia menemukan pintu baja tersebut. Tapi, setelah sekitar satu jam mereka mencari, mereka sama sekali tidak menemukan pintu itu. Bahkan hanya permukaannya saja, mereka tidak temukan. Ketiga kawan itu berkumpul, mereka saling menggeleng. Tidak ada diantara mereka yang menemukan pintu baja itu. "Ini berarti, jika kita ingin pulang, kita memang harus menghubungi Profesor Jula dulu." Sanka yang pertama kali bersuara setelah beberapa menit keheningan melanda mereka. "Ya, itu benar." jawab Randra manggut-manggut. "Jadi, lebih baik ...." Ada jeda sebelum Randra kembali berbicara. "APALAGI SELAIN KITA BERSENANG-SENANG DI SINII!!" Tentu saja Saki dan Sanka terkejut bukan main. Kawannya yang memang gila itu tiba-tiba berteriak seakan-akan jarak mereka saling berjauhan. "Ssstt, jangan berisik! Bagaimana jika ada seseorang di sini?" Sanka dengan cepat menghampiri Randra yang sedang tertawa kencang. Dia bahkan tak segan-segan untuk memukul rahang Randra dengan kencang. "Ah, ya. Aku lupa, hehe." Randra yang dipukul hanya bisa tertawa pelan. Dia merasa bersalah. "Sekarang, kita ke mana?" Saki bertanya pertanyaan yang membuat ketiganya kebingungan. Kedua kawannya juga tidak tahu, akan ke mana mereka setelah sampai di dunia ini. "Apakah Profesor Jula memberitahu kita sebelumnya?" tanya Saki kepada kedua kawannya. "Memberitahu apa?" Randra yang bingung bertanya kembali dengan kening yang mengkerut. "Maksudku, memberitahu kita, kita harus ke mana ketika sudah sampai sini." jawab Saki membuat Randra bergumam 'oh' dengan panjang. "Ku rasa tidak. Dia hanya menyuruh kita untuk menghubunginya ketika kita ingin pulang, 'kan?" Pikir Sanka. "Hmm, aku rasa juga begitu." Randra menyahut dengan bahu yang ia angkat. "Lalu, kita harus pergi ke mana?!" Saki yang pikirannya buntu, berseru kepada kedua kawannya. Dia benar-benar bingung, akan ke mana mereka akan pergi. "Menurutku, kita cari kota saja dulu. Kita amati para manusia itu seperti apa, kalau bisa, kita juga harus bersenang-senang dulu di sini. Setelah puas, baru kita pulang. Bagaimana?" ucap Sanka memberi usul. "Ide bagus. Jadi, sekarang kita akan pergi ke kota, begitu?" Saki menjawab dengan kepala yang mengangguk-angguk. "Ya, tentu." Sanka menjawab. "Lalu, tunggu apalagi, ayo kita berangkat!!" Randra lagi-lagi berteriak dengan kencang. Dia memang kadang tidak menurut pada kedua kawannya itu. "Randra." Saki yang kesal memanggil nama Randra dengan suara yang rendah dan penuh dengan tekanan. Randra mengerjap, "Eh, maaf, kelepasan, hehe." "Sudahlah Ki, jangan hiraukan kawanmu itu. Lebih baik kita cari perkotaan sekarang juga." Sanka menengahi Saki yang terus menatap Randra tajam. "Huh, kau benar. Kita tinggalkan saja dia." ucap Saki melotot pada Randra. "Hei! Apa-apaan kalian! Tidak akan kubiarkan kalian bertemu para leluhurku lagi!!" Randra yang sengaja ditinggal di belakang, lagi-lagi dengan tak segan berteriak dengan kencang. Saki dan Sanka yang sudah kesal, tentu menghiraukan teriakan Randra. Lagipula, siapa yang mau bertemu dengan 'mereka'. Yang ada, nanti kedua kawan itu malah kehabisan baterai karena kebosanan. "Kalian b******k!" teriak Randra berlari menyusul mereka. "Shut up Rand! Kau dari tadi!! Sudah kubilang jangan berisik! Bagaimana jika ada manusia di sini, hah?!!" Kali ini, kapasitas kesabaran Saki telah menipis. Dia dengan tak segan mencengkeram leher Randra setelah dirinya berbalik dengan cepat ke arah kawan menjengkelkannya itu. "Uggh, sorry Saki. Kau tahu sendiri 'kan, bagaimana sifatku dibentuk oleh mereka ..." Randra menjawab sambil lengannya yang bergerak mencoba melepaskan cengkeraman Saki yang erat di lehernya. "Jangan berisik! Paham?!" Saki terlihat enggan melepaskan cengkeramannya, dia lalu menatap Randra dengan tajam juga menekan setiap ucapannya tadi. "Baik Saki. Kali ini, aku akan berusaha untuk mengontrol sifatku yang satu ini." Randra menjawab dengan kepala yang sengaja tidak ia tolehkan kepada Saki. "Hmm." Saki bergumam. "Ekhem, sudah selesai 'kan?" Dari arah depan mereka, Sanka yang sedari tadi bersedekap d**a akhirnya berdekhem agar bisa mengalihkan atensi mereka berdua. "Tch, kau juga, jangan sampai kau bertindak seperti Randra!" Saki menatap kedua kawannya bergantian dengan mata yang ia pelototkan. "Ya Saki. Tenang saja, aku berbeda dengan kawanmu yang satu itu." Sanka menjawab dengan matanya yang menatap sinis Randra. "Diamlah!" Randra membalas tatapan Sanka dengan tak kalah sinis. "Huh, ayo kita lanjutkan perjalanan." Saki menginterupsi kegiatan saling tatap kedua kawannya. Dia melangkah duluan lagi-lagi meninggalkan kawan-kawannya itu. "Saki itu, kenapa ayahnya memberi dia sikap semaunya sendiri sih??" Sanka bergumam ketika melihat Randra yang sudah berjalan menyusul Saki. Dia menggeleng pelan sebelum dirinya juga menyusul kawan-kawannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD