7. He's a Professor

1026 Words
"Sakii!!" teriakan ayahnya menggelar. Saki mengerlingkan matanya. "Ya Ayah, Saki turun." balas Saki berteriak. Saki keluar dari kamarnya, sesudah bangun dan baterainya terisi penuh, Saki pindah ke kamar miliknya. Saki kini berjalan menuruni tangga, terlihat ayahnya sedang duduk dengan brown oil yang berada di atas meja. "Ayah." panggil Saki ketika dirinya sudah berada didekat didekat ayahnya. "Hmm. Kau sudah bersiap?" tanya sang ayah. "Ya Ayah. Kalau Saki belum, Saki tidak akan turun ke bawah, bukan?" jawab Saki dengan nada jengkel. "Hahah, baik-baik. Ayo kita berangkat!" ucap sang ayah, dia berdiri daru duduknya lalu melangkah keluar. Saki mengernyit, kala melihat sang ayah tidak menyuruhnya mengeluarkan CWG, ayahnya malah berjalan ke samping rumah. "Ayah!" seru Saki mempercepat lajunya. "Ya?" jawab sang ayah tanpa melihat ke belakang. "Mau kemana? Bukannya kita akan pergi ke tempat pembaharuan?" tanya Saki ketika berada di samping sang ayah. "Memang." jawab ayah Saki. Saki semakin tidak mengerti kala sang ayah berdiri di depan gerbang perumahan milik tetangga barunya. Saki memperhatikan ayahnya. Dia menekan bel, tak lama kemudian, gerbang terbuka dengan lebar dan perlahan. "Ayo, masuk!" ajak ayahnya. "Tapi Yah..." Saki menggumam. Melihat sang ayah sudah berjalan masuk ke dalam pekarangan rumah, Saki masih dengan keadaan bingungnya mengikuti sang ayah, berlari pelan untuk bisa mensejajarkan langkahnya dengan sang ayah. "Tetangga baru kita, dia bisa memprogram?" tanya Saki. "Ya. Apakah kau tidak tahu tetangga baru kita itu siapa?" tanya balik sang ayah memandang remeh anaknya. Saki mengernyit kembali, "Tidak. Memangnya, siapa sebenarnya tetangga baru itu?" tanya Saki penasaran. "Dia seorang profesor." ucap sang ayah memberi tahu. "H-hah? Apa?" ujar Saki kaget dan tidak percaya. "Ya. Memangnya kenapa kalau dia seorang profesor, ada masalah?" tanya sang ayah menyipitkan matanya. Saki gelagapan, dia samasekali tidak bermaksud seperti sang ayahnya pikir. Jujur saja, Saki hanya merasa kaget sekali. Dia tidak menyangka akan bertemu seorang profesor di hidupnya. "Saki... akan bertemu seorang profesor??!" gumam Saki merasa tidak percaya sekali. "Hmm. Ayah juga kagum pada diri Ayah sendiri. Setelah berpuluh tahun Ayah hidup, akhirnya Ayah bertemu salah satu makhluk yang berperan penting di dunia ini." ujar sang ayah sembari menekan kata 'ini' diakhir kalimatnya. "Haah. Ternyata bukan cuma Saki yaah." ujar Saki. Mereka berdua sudah berada di depan pintu besar milik tetangga barunya. Dari dalam, terdengar suara kunci yang membuka pintu. Lalu, pintu besar itu perlahan terbuka dari dalam. "Selamat datang para tetangga!" seru sebuah M-Robot ketika pintu sudah terbuka setengah. "Ayo masuk!" tarik ayah Saki menyuruh sang anak masuk dengan dirinya. Ketika mereka berdua sudah berada di depan pintu, terdengar suara pintu besar itu ditutup kembali. Saki yang penasaran, membalikkan badannya mengahadap belakang. Dia mendapati sebuah M-Robot tua yang memaki jubah putih sedang mendorong pintu yang terlihat berat tersebut. "Huh... anak muda ini, bukannya menolongku, malah berdiam mematung di depan pintu." ucap M-Robot itu ketika melewati Saki yang masih terkagum atas ayah dan dirinya sendiri. "Ada apa?" Saki tersentak. Sang profesor tiba-tiba ada di depan wajahnya. "A-ah, tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya kagum terhadap diri anda." Sang profesor mengangkat sebelah alisnya, berdecih pelan merasa tersanjung. "Sungguh? Kau kagum terhadapku yang seperti ini?" "Ya!" jawab Saki berseru. "Haha, itu bagus." profesor itu menepuk bahu Saki sekali sebelum berjalan menuju ayahnya. Saki berlari kecil, berniat ingin menanyakan sesuatu. "Omong-omong, bagaimana kau melakukan hal itu?" tanya Saki ketika berada di samping ayahnya-di depan sang profesor. Profesor itu mengangkat sebelah alisnya kembali, "Hal apa?" "Aah! Itu, hal itu!" Saki berseru tiba-tiba, membuat profesor itu berjengit kaget. Kali ini, alis sang profesor menekuk tajam ke dalam. "Melakukan hal apa?!" "Seperti ini," Saki menempelkan jari telunjuk di alis kanannya. Dia menarik alis itu hingga terangkat. Profesor itu mendesah. Dia mengerti. Para robot di dunia ini memang tidak bisa mengangkat kedua alisnya. Mereka hanya bisa menekuk alis ke dalam sehingga menciptakan kernyitan di alis dan kerutan di dahinya. "Maksudmu seperti ini?" profesor itu mengangkat alis kanan, lalu kiri dan kemudian kedua-duanya. "Iya! Seperti itu! Tapi, bagaimana bisa, kau bisa melakukannya sedang aku tidak?!" tanya Saki dengan nada sedikit tinggi. "Tentu ada alasannya." bukan sang profesor yang menjawab. Melainkan ayah Saki yang menjawab pertanyaan anaknya itu. Saki menoleh, alisnya lagi-lagi mengernyit. Sungguh, dia ingin sekali melakukan hal yang profesor tadi perlihatkan. "Sudah. Nanti saja bahasnya, sekarang silahkan berbaring di sana. Saya akan membuatmu tidak merasakan perasaan yang mereka sedang ciptakan baru-baru ini." suruh profesor itu, di kalimat akhir, sang profesor memelankan kata-katanya. Dia merasa, bahwa Saki tidak harus tahu apa yang akan dilakukan dirinya dan ayahnya itu. "Baik-baik. Aku berbaring." Saki melangkah menuju ranjang kayu yang tidak beralas dan terdapat satu bantal berwarna biru di atasnya. "Tapi, tidak ada tempat berbaring lainnya 'kah?" tanya Saki. "Tidak ada, cepat saja kau berbaring. Maka aku akan memulai prosesnya." suruh profesor itu mendorong pelan badan Saki agar terbaring di atas ranjang kayu tersebut. "Baiklah baiklah. Lakukan sesukamu wahai profesor." ujar Saki dengan nada mengejeknya. "Tch. Cepat. Lebih cepat lebih baik!" sentak profesor itu melihat Saki yang tak kunjung membaringkan badannya. "Tolong maafkan anakku Prof. Dia memang agak gila." ucap ayah Saki menyahuti perbincangan kedua makhluk yang berada di depannya itu. Sang profesor menghela napas, dia mengerlingkan matanya, terlihat jengah sekali. "Itu! Hal itu juga, bagaimana kau melakukannya?" seru Saki tiba-tiba. Dia benar-benar penasaran. Pertama, mengangkat alis, lalu tadi, seperti udara panas yang keluar dari mulut profesor tersebut. "Nanti saja. Nanti akan ku jelaskan secara rinci." ucap sang profesor merasa jengah terhadap M-Robot muda yang penasaran ini. "Omong-omong, apakah kau membuat anakmu memiliki rasa penasaran?" tanya profesor kepada ayah Saki. "Ya. Dia membutuhkan hal itu." jawab ayah Saki. "Iya Ayah, sebenarnya kenapa Ayah membuatku memiliki rasa menjengkelkan ini?" sahut Saki. Sang ayah hanya mengedikkan bajunya, "Nanti juga kau tahu." jawabnya kembali. "Oke-oke. Kita lanjutkan mengobrolnya nanti. Sekarang, akan ku urus dulu anakmu ini." profesor menjentikkan jarinya, menengahi obrolan antara kedua M-Robot ini. "Tch. Padahal dia sendiri yang memulai pembicaraan." gumam ayah Saki mengerlingkan matanya. "Nah, Nak, pasang alat-alat yang aku suruh pasang. Oke!" perintah profesor itu memberikan sebuah kabel panjang untuk Saki pasang ke bagian dadanya. "Oke Prof." jawab Saki menerima kabel itu, lalu memasangkannya. "Bagus, lalu ini." Saki menerima sekitar lima alat yang harus ia pasang di tubuhnya. Setelah semua alat terpasang, Saki mulai memejamkan mata-mati sementara untuk memudahkan prosesnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD