Batas Penantian
Seorang lelaki berusia 27 tahun tengah memandang lalu lintas kota Jogja dari balik kaca ruang kerjanya. Matanya menerawang tak fokus karena pikirannya tengah berjalan ke mana-mana. Sebuah dering ponsel memecah lamunannya. Kemudian dia mengangkatnya setelah melihat siapa yang menelepon.
“Assalamu’alaikum, Mas.”
“Wa’alaikumsalam, Mi. Kamu apa kabar?”
“Baik, Mas. Mas sekeluarga gimana?”
“Baik. Tapi kondisi Abah belum ada kemajuan, Mi.”
Gus Azmi mengembuskan napasnya pelan. “Azmi tinggal menyelesaikan satu masalah lagi, Mas. Setelah itu Azmi akan pulang.”
“Azmi.”
“Iya, Mas.”
“Kamu tahu empat hal yang bisa menjadi patokan memilih istri.”
Azmi mengembuskan napasnya lagi. Dia paham, sang kakak sedang memberi nasehat.
“Tahu, Mas.”
“Coba sebutkan!”
“Nikahilah wanita karena empat perkara yaitu 1. Harta, 2. Nasab, 3. Kecantikan dan 4. Agama.”
“Lalu?”
“Pilihlah agamanya maka kalian akan beruntung,” sahut Azmi lirih.
“Kamu yakin, Yasmin telah memenuhi keempat kriteria itu?”
Deg. Perkataan kakaknya sungguh menohok hati Azmi.
“Azmi.”
Hening.
“Azmi!”
“Eh. I-iya, Mas. Mas tadi ngomong apa?”
“Mas tanya apa Yasmin sudah masuk ke dalam empat kriteria itu?”
“Entahlah, Mas. Azmi tidak tahu.”
“Dengarkan mas, Azmi. Jodoh memang rahasia Allah, banyak ujian sebelum kita bertemu dengan jodoh kita. Tapi melihat gelagat Yasmin, mas gak yakin kalau dia mencintai kamu.”
“Maksud Mas Azzam?”
“Azmi. Kalau Yasmin menyukaimu, mas yakin harusnya alasan kuliah tak akan menjadi kendala.”
“Yasmin hanya ingin fokus, Mas. Dia kan calon dokter.”
“Baiklah, alasan itu bisa mas terima. Tapi untuk selanjutnya terserah kamu. Tapi saran mas, jika kali ini dia menolak kamu lagi. Maka mas tidak yakin dia mencintai kamu. Dia sepertinya gadis yang mencintai tittle saja. Nanti jika kalian menikah, mungkin kamu akan menjadi prioritas kesekian baginya. Terserah sama kamu. Abah, Umi dan Mas Azzam tak pernah mencampuri kamu akan menikah dengan siapa. Kami hanya ingin yang terbaik untuk kamu.”
“Azmi ngerti, Mas.”
“Ya sudah semangat ya, mas harap kamu segera pulang buat menengok Abah.”
“Iya, Mas.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Klik. Azmi melirik jam tangannya, baiklah ini waktunya dia janjian dengan Yasmin.
“Di, aku pergi dulu ya.”
“Oke, Bos. Memangnya Bos mau ke mana?” tanya Didi sahabat sekaligus karyawan kepercayaannya.
“Ada perlu.”
“Cie ... cie ... sama Bu Dokter ya Bos.”
“Iya.”
“Semangat ya Bos, semoga kali ini gak ditolak lagi. Kan Bu Dokter sudah wisuda dan diambil sumpahnya,” ucap Didi sambil mengepalkan kedua tangan dan mengangkatnya setinggi bahu sebagai gerakan semangat.
“Aish. Si Bos bucin apa bodoh, sih?!” Nita admin di tempat Azmi menyeletuk. Dia sahabat Azmi yang tomboy dan ceplas ceplos. Meski ceplas ceplos, dia sangat berdedikasi dan merupakan salah satu sahabat terbaik yang dimiliki Azmi. Jadi, apa pun ucapan Nita walau terasa nyelekit, Azmi bisa menerimanya walau kadang sedikit sakit hati sih. Sama seperti sekarang, dia sakit hati dikatai bucin tapi ya mau bagaimana lagi, memang kenyataannya begitu.
“Hush! Ngomongnya saru Nita,” sambil menoyor kepala Nita.
“Busyet ape lo, berani sama gue hah!”
“Ckckck, jadi cewek jangan bar-bar ngapa sih Nit!”
“Terserah gue.”
“Udah-udah kalau kalian kayak gini terus udah kalian nikah aja.” Azmi mau tak mau tertawa melihat tingkah keduanya.
“Gak!” kompak mereka.
“Hahaha.Ya udah aku cabut dulu ya.”
“Siap, Bos!” kompak mereka lagi.
Azmi segera pergi karena hendak menemui Yasmin. Setelah tak terlihat batang hidung Azmi, kedua sahabat sekaligus karyawannya mendesah.
“Gile bos kita. Setianya kagak nanggung. Bayangkan tujuh tahun cuma nungguin si Bu Dokter itu ckckck. Kalau aku sudah punya anak tiga, tahu!” sungut Didi sebal dengan sifat bucin sahabatnya itu.
“Iya, lagian gue juga heran sama Yasmin, apa yang kurang coba dari bos kita, ganteng, lulusan doktor ilmu komunikasi, kerjaan oke, sama-sama anak kyai. Apa yang kurang coba?” kini Nita yang bersungut-sungut.
“Kurang cinta kali Yasminnya,” celetuk Didi.
“Terus ngapain dia nggantungin bos kita? Orang tinggal ditolak aja. Beres, ‘kan?” Nita masih terlihat kesal.
“Mungkin ego seorang wanita yang merasa senang jika dirinya dicintai oleh seorang pria dengan sebucin itu.”
“Halah. Itu namanya jahat. Dianya enak-enakan masih tengok sana sini, tebar pesona di sana tebar pesona di sini sedangkan bos kita galau setiap hari.”
“Entahlah. Kedalaman hati seseorang kan gak bisa diukur, beda sama kedalaman samudra. Walau dalam banget tapi tetap bisa diukur.”
“Ck. Sok puitis lo.”
Nita memutuskan kembali ke meja kerjanya melanjutkan mengecek pemesanan pemotretan, desain banner atau pembuatan video dan lainnya. Sedangkan Didi memilih kembali ke studio foto untuk mengecek persiapan perlengkapan foto prewedding salah satu pelanggan.
***
“Mas Azmi.” Seorang gadis berperawakan mungil dengan kulit putih dan sangat cantik tersenyum cerah menyambut kedatangan Azmi. Azmi pun ikutan tersenyum.
“Yas.”
“Duduk sini, Mas.”
Azmi duduk di depan Yasmin. Yasmin segera memesankan makanan dan minuman kesukaan Azmi.
“Kamu seneng banget kayaknya, mau ketemu aku jadi seneng ya?” goda Azmi.
“Ish. Mas Azmi ini, orang setiap hari ketemu juga. Bukan. Tapi ini loh, aku mau melanjutkan spesialisku dan udah keterima, Mas. UI Mas. Bayangkan UI spesialis anak.”
Senyum di wajah Azmi tiba-tiba meredup. Berbeda dengan Yasmin.
“Kok Mas Azmi gak seneng sih, harusnya bangga loh calon istrinya mau jadi dokter spesialis.”
“Mas akan lebih bangga kalau kamu akhirnya setuju menikah dengan mas. Bukankah mas sudah janji tidak akan pernah melarang kamu untuk tetap menuntut ilmu atau bekerja. Mas hanya ingin hubungan kita segera menuju halal, Yasmin. Apa mas salah?”
“Tentu saja salah Mas, kan Yasmin minta Mas Azmi nunggu aku selesai kuliah kedokteran dulu?”
“Kamu bukannya sudah disumpah dan sudah jadi dokter? Kamu sudah lulus S1 setelah lima tahun, koas dua tahun dan intership setahun. Berarti penantianku sudah selesai, ‘kan?”
“Tapi Mas, aku pengin jadi spesialis anak, paling enggak butuh empat atau lima tahun lagi. Aku gak bisa fokus pada dua hal seperti suami dan kuliah, gak bisa,” ucap Yasmin nampak menggebu-gebu. Sedangkan Azmi hanya diam.
“Mas harusnya ngertiin aku dong. Kasih aku semangat biar aku itu bisa menyelesaikan studiku dengan baik, dengan nilai memuaskan lalu jadi spesialis anak yang terkenal nantinya.”
Diam. Azmi masih diam dan tak berkomentar.
“Mas. Mas Azmi dengerin Yasmin apa enggak sih!”
Azmi menarik napasnya dalam lalu mengembuskannya secara perlahan.
“Dengerin, Yas. Bukannya selama ini mas hanya bisa mendengarkan tanpa bisa bantu kamu.”
“Makanya Mas, cukup doakan Yasmin biar lancar sekolahnya terus habis itu kerja di rumah sakit besar, lalu membuka praktek dan klinik sendiri. Hihihi.” Angan Yasmin sudah ke mana-mana.
“Lalu tentang kita gimana?”
“Ya gak gimana-mana. Kalau kita udah siap ya kita nikah.”
“Mas sudah siap bahkan dari lima tahun yang lalu Yas,” lirih Azmi.
Yasmin nampak terkejut tetapi berusaha menguasai dirinya.
“Kalau Mas cinta sama Yasmin, Mas pasti akan menunggu Yasmin.”
“Dan jika Yasmin benar-benar mencintai mas, pasti Yasmin tidak akan membuat mas selalu menunggu.”
Deg. Omongan Azmi menohok sisi hatinya yang terdalam. Yasmin memang mencintai Azmi, hanya saja keinginannya untuk memiliki karier yang bagus dengan menjadi seorang dokter lebih menggebu. Kedua orang itu terdiam cukup lama.
“Kamu ingat terakhir kali aku melamarmu setahun yang lalu. Saat itu mas berharap ini tahun terakhir mas menunggumu karena kamu akan berangkat intership ke Lombok dan setelah itu akan segera melakukan sumpah dokter. Tapi rupanya kamu meminta mas untuk menunggu lagi.”
“Mas ....”
“Maafin mas, sekali lagi mas tanya. Maukah kamu menikah denganku? Dan jika keluargaku datang untuk meminangmu apakah kamu bersedia untuk kulamar dan segera kunikahi?”
Hening. Yasmin hanya diam saja.
“Yasmin. Maukah kamu menikah denganku?”
Hening. Yasmin masih saja tidak menjawab. Azmi terkekeh, namun tawa yang ia keluarkan adalah tawa kesedihan.
“Kita masih muda. Yasmin baru 26 tahun sedangkan Mas Azmi 27 tahun. Ditambah 4 atau 5 tahun lagi menunggu gak masalah.”
“Mungkin aku dan kamu bisa menunggu tapi maut tidak bisa menunggu.”
“Mas!” Suara Yasmin mulai meninggi.
“Maafkan aku Yasmin. Aku menyerah. Sampai disini saja batas penantianku. Tadi adalah lamaran keenamku untukmu dan terakhir. Maaf jika suatu saat aku akan melamar seseorang kembali dan orang itu bukan kamu. Terima kasih untuk semuanya. Berkat kamu, aku belajar tentang apa artinya kesetiaan dan kesabaran.”
Azmi berdiri dan melangkahkan kakinya menjauh dari cafe tempat dia dan Yasmin bertemu. Yasmin berteriak memanggil Azmi, tetapi Azmi bergeming dan terus berjalan tanpa menoleh lagi.
Mata Yasmin memanas, dia sedih. Pria yang dicintainya memilih menyerah. Sudut terkecil hatinya membenarkan semua perkataan Azmi. Namun, sisi egonya lebih mendominasi dan menyalahkan Azmi yang tidak sabar menunggu.
***
“Loh, Gus Azmi,” sapa Gus Yahya kakak Yasmin.
“Eh, Gus. Apa kabar?” Azmi menyalami sahabatnya dan mencium tangan Abah Yunus dan menangkupkan tangan pada Umi Miftah.
“Kamu dari mana, Gus?” tanya Yahya.
“Ketemu sama adik kamu.”
“Loh kok, Yasminnya mana? Kok kamu keluar sendirian?”
“Yasmin masih di cafe. Oh iya Abah, Umi, Gus Yahya. Azmi sekalian mau pamit. Azmi mau balik ke Purwokerto. Abah sakit jadi Azmi memutuskan menengok Abah dan sekalian pulang.”
“Loh-loh. Iki piye to. Lalu Yasmin gimana?”
“Ya gak gimana-gimana, Gus. Saya memutuskan menyerah pada penantian tak berujung. Sekali lagi saya mohon maaf. Mari Abah, Umi, Gus, Azmi pamit.”
Setelah menyalami ketiganya, Azmi menuju parkiran dan menjalankan mobilnya. Meski sakit tapi Azmi akan belajar untuk melepaskan dan mengikhlaskan alias move on.
***
“Kamu itu gimana sih, Dek. Kurang apa coba si Azmi? Dari gelar sudah S3, pekerjaan mapan, omzet foto studio sama desain grafisnya sebulan gak main-main loh, dan dia anak seorang kyai juga. Kamu sebenernya nyari yang gimana? Yang dokter? Kalau kamu mau nyari dokter, ngapain kamu kasih harapan buat Azmi. Tujuh tahun loh Dek. Tujuh tahun.” Yahya sedang menumpahkan amarahnya kepada sang adik, sementara abah dan uminya hanya diam. Namun nampak kesedihan pada dua pasang mata tua itu.
“Gus Azmi saja yang gak sabaran. Orang Yasmin mau melanjutkan spesialis dulu kok gak lama cuma empat sampai lima tahun.” Yasmin membela diri.
“Ya Allah, Dek! Empat sampai lima tahun itu lama kalau dijumlah sama tujuh jadi sebelas sama dua belas tahun.” Yahya terlihat emosi sekali, dadanya naik turun. Yasmin sendiri hanya diam. Merasa tidak tahan, Abah Yunus akhirnya bicara juga.
“Nduk. Ingat hadist ini.” Abah mulai membacakan suatu hadist yang artinya beliau ucapkan dengan lantang dihadapan Yasmin.
“Bila orang yang agama dan akhlaknya kamu ridhai datang melamar anak gadismu, maka nikahkan dengannya. Sebab bila tidak, akan terjadi fitnah di muka bumi dan banyak kerusakan.”
“Kamu tahu abah ridha akan perangai dan agama Gus Azmi, kamu pun sepertinya menyukai Gus Azmi. Tapi kenapa, Nduk?” lirih Abah Yunus.
“Yasmin gak nolak Abah. Yasmin hanya minta waktu.”
“Sampai kapan?” kali ini Yahya kembali menyerang adiknya.
“Sampai Yasmin siap dong, Mas.”
“Kapan kamu siapnya?”
“Sampai Yasmin selesai program spesialisnya dan sudah bekerja.”
“Astaghfirullah.” Yahya menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali.
“Terserah kamu Yasmin, yang penting kamu jangan menyesal di kemudian hari. Hati itu bisa berubah begitupun hati Azmi. Hari ini dia mencintai kamu, tapi suatu saat bisa saja rasa cintanya sudah menjadi milik orang lain.”
“Gak mungkin Mas. Mas Azmi cinta mati sama Yasmin. Buktinya mau menunggu Yasmin sampai tujuh tahun.”
“Jangan takabur, Nduk. Allah gak suka sama orang yang takabur,” kali ini uminya yang menasehati.
“Wes pokoknya Yasmin akan menyelesaikan program spesialis Yasmin. Akan Yasmin tunjukkan kalau Yasmin bisa dan Mas Azmi masih setia sama Yasmin.”
Yasmin memilih keluar dari rumah dan menjalankan mobil entah mau pergi ke mana. Sedangkan ketiga orang terkasihnya hanya mengucap istighfar berkali-kali.
Sedangkan di tempat berbeda Gus Azmi tengah pamit kepada para karyawannya. Usaha studionya akan dihandel oleh Didi dan Nita yang memang merupakan tangan kanan Azmi.
“Nitip studio ya Di, Nit. Kalau ada apa-apa hubungi aku.”
“Siap Bos tenang aja. Tapi beneran Bos mau nyetir sendiri ini?” tanya Didi khawatir.
“Insya Allah gak papa Di, nanti kalau capek, aku istirahat, kok. Ya sudah aku pamit ya?” Azmi menyalami semua karyawan laki-lakinya. Sedangkan dengan karyawan perempuan, Azmi menangkupkan kedua tangannya.
“Dadah Bos, saya doakan Bos dapat daun muda ya Bos,” celetuk Nita dan langsung ditoyor oleh Didi. Sedangkan karyawan lainnya hanya tertawa mendengar guyonan Nita.
Azmi sendiri hanya mengamini doa Nita. Setelah menatap studionya untuk terakhir kali, Azmi segera menaiki mobil kemudian melajukan mobilnya menuju kota kelahiran Azmi, Purwokerto tercinta.
*****