SCENE 02
ACTION!
Kugelengkan kepala sekali lagi. Wajah seriusnya. Ehmm oke. Aku sedang berada di perpustakaan kali ini. Bukan mau mengamati makhluk sempurna yang tak jauh dariku ini. Tapi kebetulan saat tadi mau ngembaliin buku, eh tahu-tahu ada sosok yang membuatku dilema teronggok di depanku.
Si Irgi sedang serius duduk di pojok ruangan perpus ini. Dan tampak fokus dengan entah apa yang di bacanya itu. Tentu saja aku penasaran. Masa duda sekeren itu? Adanya itu duda kayak Mang Rojak, yang rumahnya di pengkolan jalan. Yang bulan lalu langsung datang ke rumah bawain mahar buat lamaran. Padahal dia pantas menjadi kakekku. Aku bergidik ngeri membayangkan hal itu.
"Eh ada Bulan cantik." Nah suara horor ini nih. Bukan duren, masih bujangan. Tapi aku sudah ilfeel duluan denger suaranya. Aku menoleh ke arah samping dimana Sodiq salah satu pria yang sejak awal aku masih ke kampus ini sudah nangkring ngantri mau jadi pacarku.
"Apa lo! Pergi sana, gangguin orang lagi baca." Kutunjuk buku yang ada di depanku. Aku memang sedang membaca, atau katakanlah begitu. Meski sedari tadi mataku ini melirik ke arah Irgi yang ada di samping kiri ku dua kursi.
"Ih Bulan kok galak sih. Bang Sodiq udah pesenin cincin buat kita nikah loh."
Aku beringsut untuk menjauh. Tak mau tertular kesomplakan Sodiq. Dia itu aneh bin ajaib. Dengan giginya yang bisa buat nakutin anak kecil, Sodiq selalu mengaku wajahnya paling tampan di kampus. Yang artinya paling ancur kalau di artikan secara harafiah.
"Apa sih. Gue laporin ke penjaga perpus lo. Mengganggu ketenangan mahasiswa yang sedang belajar." kukibaskan rambutku dan kini melirik lagi ke arah Sodiq yang malah meneteskan air liurnya melihatku. Iuh jijik banget.
"Alah sama calon suami kok gitu sih Bulan ini. Malu-malu meong yak? Aheeheheee" Tuh kan sarap ini dasar orang. Aku angkat buku dan sudah akan menimpuknya.
"Pergi gak lo!"
"Hussst. Berisik. Kalau mau pacaran bukan di sini."
Deg
Aku menoleh ke arah kiri ku dan mendapati Irgi sudah menoleh kepadaku dan menatapku dengan galak. Wah jutek juga ini orang.
"Siapa yang pacaran." Aku bersungut-sungut ingin membantah. Tapi Irgi hanya berdecak sebal dan dia malah memberesi bukunya dan langsung beranjak dari duduknya. Sekali lagi menoleh ke arahku tapi kemudian langsung berjalan lurus ke depan. Dan akhirnya keluar dari perpus.
"Yaaahhh tuh kan, orang lain aja bilang kita pacaran loh dek Bulan. Udah terima ya cintanya Bang Sodiq ini."
Aku menatap horor ke arah Sodiq yang sudah memonyongkan bibirnya mmembuatku ingin muntah. Papa anakmu di zolimi ini.
*****
Sial. Setelah kejadian dengan sodiq di perpus yang membuatku di usir oleh mbaknya penjaga perpus. Karena aku membuat kehebohan dengan melempar buku yang aku baca tepat di wajah Sodiq. Dan membuat sang mbak langsung mendatangiku. Aku kira ingin menolong Sodiq yang wajahnya sudah merah karena terkena buku itu. Tapi ternyata mbaknya memarahiku karena membuang-buang buku. Alhasil aku terkena usir.
Apalagi saat kutelepon Meita yang katanya masih ada kelas. Dan siangku ini berakhir sia-sia. Dosen di kelas ku juga tidak masuk karena ada acara penting. Kutendang-tendang kerikil di sebelah taman yang kemarin aku injak ini. Masih siang begini juga malas balik ke kos. Anak-anak juga belum pada balik. Nanti yang ada aku cuma guling-guling di atas kasur. Bosan.
Akhirnya aku berbelok ke kantin. Membeli satu kantung penuh macaroni yang di beri bumbu pedas. Ada level-levelnya sih. Biasanya aku sama Meita beli level yang paling pedas, walau nantinya berebut ingin minum es teh yang sekalian di pesan.
Kuputuskan aku menunggu Meita di bangku yang ada di taman kampus ini. Sambil duduk aku makan macaroni pedas ini, tapi baru beberapa suap aku sudah kepedasan. Dan lupa membeli es tehnya. Wah, aku celingak-celinguk untuk melihat beberapa orang yang ada di taman. Sebagian banyak yang menunggu jadwal kelas selanjutnya. Dan semua kursi yang ada di taman sepertinya penuh. Aku tak rela apabila aku beli es teh di Kantin kursi ini akan di tempati orang lain. Padahal kursi ini yang paling strategis. Di bawah pohon sehingga tempat ini teduh. Dan dari sini aku bisa melihat Meita yang keluar dari kelasnya.
Dan akhirnya aku memutuskan untuk meletakkan macaroni ini sebagai tanda kalau ada orangnya. Dan bergegas berlari ke kantin lagi untuk membeli es teh.
Tapi sesaat kemudian aku kembali melangkah ke arah kursi yang tadi kutinggalkan. Aku melihat seseorang yang tak asing sudah duduk di sana dan sedang memakan macaroni itu. Eh apa-apaan ini?
Segera aku berderap menuju ke tempatnya. Enak saja, siapa yang beli siapa pula yang makan.
"Heh, mentang-mentang duren beraninya makan punya orang lain. Balikin sini."
Aku sudah berkacak pinggang di depan Irgi. Pria yang tampan memang tapi kelakuannya nyaris tak tampan sama sekali. Jutek dan dingin. Aku jadi berpikir ulang deh mau terima taruhan dari Meita kalau seperti ini.
Pria itu mengangkat wajahnya dari buku yang sejak dari perpustakaan tadi di bacanya. Tangan yang satunya masih memegang macaroni dan memakannya dengan santai. Dia menengadah dan tatapan kami bertemu. Lalu dia mengerutkan keningnya. Tapi kemudian menunduk lagi. Dan sepertinya mengabaikanku.
"Heh tuan duren yang terhormat. Saya bicara sama Anda. Sopan santunnya kayaknya terletak di kaki deh."
Aku sudah kesal dengan tabiat pria di depanku ini. Songongnya tingkat akut.
Dan dia akhirnya menatapku lagi. Tapi kali ini raut wajahnya tampak kesal. Enak saja, harusnya yang kesal aku, dia sudah mengambil macaroniku.
"Nona yang terhormat. Caramu untuk merayuku sudah basi. Kalau ingin mendapat perhatianku tak usah memakai alasan aku mengambil makananmu. Kamu mau kenalan kan denganku?"
Dan kuhentakkan sepatuku. Enak saja dia bilang aku ingin berkenalan. Memangnya aku siapa? Dan saat itulah, aku mengerjap. Saat ku edarkan pandanganku. Ke kursi yang ada di sebelah kananku. Di sana ada satu bungkus macaroni yang sepertinya punyaku. Hah?
Langsung aku menoleh lagi ke arah Irgi. Owh astaga! Aku salah tempat, alias salah kursi. Bulan dodol. Sungguh, kenapa aku bisa begini?
Dan saat itulah aku melihat senyumnya. Bukan sejenis senyum yang mengejek. Tapi senyum tulus yang menambah manis wajah itu.
"Ehm gotcha....masih beneran mau kenalan?"
Dan seketika itu juga aku berlari ke arah kursiku. Langsung mengambil macaroni itu dan segera berlalu dari taman. Sungguh hal ini sangat membuatku malu. Bodohnya aku.
"Nona..."
Aku melangkahkan kaki dengan cepat tak mau lagi menoleh ke belakangku. Mau di taruh di mana wajahku ini.
"Nona... Kamu menjatuhkan ini." Secepat kilat aku berhenti saat tubuh tegap itu sudah melesat di depanku. Dia menunjukkan dompet milikku. Dan aku membelalakkan mata. Owh astaga itu memang dompetku. Aku langsung menyambar dompet itu. Dan membuat Irgi mengangkat alisnya.
"Tak ada ucapan terimakasih?"
Dia menatapku dengan dingin dan datar. Tipe yang sepertinya setengah hati menolong. Dan alhasil aku kesal lagi.
Langsung kubuka dompetku dan kuambil uang 50 ribu lalu aku berikan kepadanya.
"Ini ucapan terimakasihku." kuulurkan tanganku. Tapi dia menatapku sepertinya tak suka.
"Bukan itu tujuanku nona. Permisi." Dan langsung berbalik meninggalkanku. Owh dasar pria songong. Tapi begitu teringat tas branded itu, aku langsung berubah pikiran. Demilah, dapatin Si Irgi lalu minta tasnya ke Meita lalu putusin deh.
Aku langsung berlari menyusul Irgi. Ini kesempatan ku untuk mendapatkan perhatiannya.
"Hei...hei.. .tunggu." aku mencoba mengatur nafasku saat sudah bisa menyusulnya. Tapi pria itu tak melirikku sedikitpun dan terus berjalan.
"Hei...aku ingin bicara."
Kutarik lengannya membuat dia dengan cepat menghentikan langkahnya. Lalu menatapku dengan malas.
"Heheeh...maaf. Ehm aku cuma mau ngucapin makasih. Maaf atas sikapku barusan ya. Aku Bulan...kamu?" Kuulurkan tanganku dan menunggunya untuk menjabat tanganku. Dia masih menatapku malas dan sedikit kesal. Aku menahan nafasku. Beberapa detik berlalu dan saat aku sudah merasa malu karena terlalu agresif. Dia mengulurkan tangannya. Dan menjabat tanganku dengan mantap.
"Irgi Purnama Putra"