Pagi ini, usai sarapan, Raden Suryo mengajak Faisal berbincang mengenai rencana semalam di ruang tengah.
“Jam berapa pacarmu akan menemui bapak sama ibu?” Pak Suryo bertanya setelah menyeruput kopi panas kental yang tak terlalu manis.
“Dia tidak akan datang, Pak.” Faisal menjawab murung.
“Lho, kenapa?” Raden Suryo terkejut, karena semalam Faisal mengatakan akan membawa pacarnya ke rumah dan memperkenalkan mereka.
“Ibu tidak bilang sama bapak?” tanya Faisal saat melihat ekspresi bapaknya.
Raden Suryo mengerutkan keningnya. “Ibumu tidak mengatakan apa pun. Memangnya apa yang terjadi? Kenapa bapak malah tidak tahu apa-apa?”
“Semalam panjenengan sudah sare, Pak. Jadi ibu tidak berani membangunkan.” Bu Suryo datang dari arah dapur sambil membawa secangkir jamu hangat yang selalu ia konsumsi—resep ayu dan awet muda warisan leluhur. “Dita tidak jadi datang menemui kita, Pak,” lanjut Bu Suryo memberitahu.
Pak Suryo terdiam beberapa saat, tak menggubris penjelasan istrinya. Ia sedang menunggu Faisal yang mengatakan sendiri berikut alasannya. Namun, karena Faisal tak kunjung mengeluarkan suara, Pak Suryo memutuskan bertanya, “Katanya hubungan kalian serius. Kenapa tidak berani menemui bapak dan ibu jika memang ingin melanjutkan pada jenjang yang lebih serius?”
“Dita masih ingin mengejar karir. Dan sejujurnya, saya juga masih belum siap untuk menikah, Pak.” Akhirnya Faisal angkat bicara dengan suara rendah.
Raden Suryo tersenyum. “Kamu bisa menunda waktu untuk menikah, Faisal... tapi siapa yang tahu usia bapak maupun ibu tidak akan sepanjang yang kita harapkan?”
Faisal menunduk. Dia merasa perkataan bapak telah menyentil hatinya.
“Bapak tak akan memaksa. Kamu sudah dewasa dan punya pilihan. Jika kamu lebih berat pada pacarmu, maka kamu berhak menolak keinginan bapak sama ibumu ini untuk menikahkan kamu dengan segera. Tapi, Nak, kalau kamu lebih berat pada keinginan bapak dan ibu, yang usianya sudah sepuh ini, tentunya kamu akan mempertimbangkan keinginan kami.”
Kalimat Pak Suryo memang dibuat sesantai dan sedatar mungkin, tanpa emosi, tetapi justru semakin menohok hati Faisal. Laki-laki itu mendongak, menatap Raden Suryo yang masih tersirat aura ningratnya. Namun, gurat-gurat tua mulai kelihatan menghiasi wajah beliau.
“Pak, jangan terlalu terbawa perasaan... nanti kesehatan njenengan turun lagi.” Bu Suryo mendekat, duduk di samping Raden Suryo, mengelus lengan lelaki tua itu dengan lembut.
Faisal terkesiap. Kesehatan bapak turun lagi? Bukankah itu berarti sudah pernah turun sebelumnya?
Raden Suryo menggeleng. “Insyaallah, bapak akan baik-baik saja, Bu.” Pak Suryo tersenyum arif melihat kekhawatiran Bu Suryo.
“Bapak ndak harus memikirkan masa depan Faisal terlalu dalam. Biarkan Faisal memilih masa depannya sendiri.” Bu Suryo berkata lirih.
Pak Suryo mengangguk.
“Faisal memang anak kita ketika dia masih kecil dan menjadi tanggung jawab kita. Tapi sekarang, bagaimanapun dia sudah dewasa dan manusia yang merdeka dalam menentukan masa depannya, Pak.” Bu Suryo kembali bertutur lembut, menenangkan suaminya.
Lagi-lagi Pak Suryo hanya mengangguk pelan.
“Tidak, Pak, Bu. Saya tetap anak bapak sama ibu. Saya akan terima semua keputusan bapak sama ibu, apa pun itu.”
Jawaban Faisal yang tegas itu membuat Raden Suryo dan istrinya menatap Faisal penuh tanda tanya, lalu saling pandang.
“Bapak tak ingin memaksakan kehendak padamu, Sal. Kamu berhak memilih.” Raden Suryo meyakinkan anaknya.
“Tidak, Pak! Bapak dan ibu lebih penting buat saya.” Faisal kembali menjawab tegas.
“Ibu tidak butuh jawabanmu sekarang, Sal. Kamu bisa memberi jawaban jika memang kamu siap dengan segalanya, termasuk siap menikah dengan perempuan yang bapak dan ibu pilihkan untukmu.” Bu Suryo turut meyakinkan Faisal.
Faisal mengangguk meski hatinya bergolak oleh banyaknya hal yang dipikirkan: permintaan bapak dan ibunya yang tak mungkin ditolak, Dita yang ia pikir akan menyambut antusias proposal pernikahan yang ditawarkan bapak dan ibunya, juga tentang siapa gadis yang dipilihkan bapak dan ibu untuknya. Apakah gadis itu dewasa, cantik, dan modern? Atau malah sebaliknya? Polos, bahkan terkesan ndeso. Mungkin Faisal tak akan percaya diri membawa perempuan itu ke dalam berbagai acara yang biasa ia ikuti—baik acara di dalam maupun di luar kantor.
Di antara suasana ruang makan yang mendadak hening karena mereka larut dalam pikiran masing-masing, terdengar suara orang yang berbincang-bincang dari arah depan.
“Kulonuwun, Pak Puh, Bude.” Seorang gadis dengan suara riang, tetapi penuh kesopanan muncul dan menyapa keluarga Pak Suryo.
“Eh, Sekar? Dari mana, Nduk?” Bu Suryo menyambut uluran tangan Sekar, setelah gadis itu menyalami dan mencium tangan Raden Suryo dengan takzim.
“Dari rumah, Bude. Tadi ibu meminta saya mengantar jenang ketan.” Sekar menjawab gamblang sembari meletakkan bungkusan di atas meja kemudian duduk di lantai yang beralaskan karpet beludru yang halus dan tebal.
“Jenang? Memangnya ibumu membuat jenang?” tanya Bu Suryo.
“Ndak, Bude. Ibu juga dapat dari diantar sama tetangga. Katanya mau buat lamaran Mas Budi, Bude.”
“Oh, Budi yang rumahnya di ujung gang rumah kalian?” Raden Suryo menimpali.
Sekar mengangguk. “Inggih, Pak Puh.”
Bu Suryo tersenyum melihat Sekar yang selalu riang, tetapi penuh sopan santun. Bahkan kalau datang ke rumah mereka, Sekar tak pernah duduk di kursi. Gadis itu selalu duduk di bawah, di atas karpet.
“Sekar, itu Mas Faisal. Salim dulu sama masmu.” Bu Suryo menoleh pada Faisal yang sejak tadi melihat kedekatan Sekar dengan ibunya, layaknya seorang ibu dan anak.
Sekar menatap Faisal yang duduk di ujung sofa. Ia mencoba tersenyum, yang disambut dengan senyum kecil oleh lelaki itu. Lalu, Sekar bangkit sambil berjalan membungkuk, bersiap menyalami tangan Faisal.
“Sugeng rawuh, Mas,” sapa Sekar sopan sembari mengulurkan tangan dan mencium takzim tangan laki-laki di depannya.
Faisal tersenyum dan mengangguk, meski sedikit canggung dengan gaya salaman Sekar. Menurutnya, hanya anak kecil yang mau mencium tangan jika bersalaman. Dan itu juga sudah mulai jarang ditemui di tempat tinggalnya, di Jakarta. Akan tetapi, yang menyalaminya kali ini adalah Sekar, adik sepupunya yang seorang mahasiswi dan masih tetap pada anggah-ungguh untuk menghormati yang lebih tua.
“Ini... maaf, Bude dan Pak Puh. Saya ndak bisa lama-lama di sini. Panca sudah menunggu saya.” Sekar berpamitan penuh santun.
“Panca?” Raden Suryo mengerutkan keningnya saat mendengar nama asing itu.
Sekar tersenyum dengan wajah memerah. Pertanyaan Raden Suryo seakan mengandung makna lain.
“Inggih, Pak Puh. Teman sesama penari di sanggar.”
Raden Suryo tersenyum melihat Sekar yang bersemu merah karena malu.
“Berangkatlah, Sekar. Nanti terlambat.” Bu Suryo menengahi, agar Sekar tidak semakin malu.
Sekar tersenyum dan berpamitan, masih dengan kesopanan dan anggah-ungguh sebagaimana biasa. Sementara Faisal hanya memperhatikan tanpa berkomentar sama sekali.
“Adikmu itu sekarang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik, Sal. Apa kamu ingat, bagaimana dia dulu menangis hanya karena selendangnya tertinggal saat akan pentas di pagelaran keraton?” Raden Suryo menatap Faisal dengan kilat tertentu dari tatapannya.
Faisal tersenyum hambar. “Ya, saya masih ingat. Waktu itu saya yang akhirnya ngontel pulang ke rumah Bulik Rahmi untuk mengambil selendangnya. Padahal waktu itu saya sudah jadi mahasiswa.”
Raden Suryo tersenyum penuh makna. “Dan itu sudah beberapa tahun yang lalu. Sekarang, adikmu sudah jadi kembang kedaton. Memang bukan sebagai putri keraton, tapi parasnya yang ayu dan ceria itu, serta kelihaiannya menari, menjadi buah bibir para pemuda di lingkungan keraton.”
Faisal hanya mendengarkan penuturan bapaknya.
“Bahkan, beberapa waktu lalu, Bulik Rahmi datang menemui bapak, saat Raden Ayu Candraningsih datang menemuinya dan meminta Sekar untuk dijadikan mantu. Tapi bulikmu menolak, karena ada amanah dari eyang kakungmu mengenai Sekar.”
Faisal hanya terdiam, tak mau ikut campur dengan urusan Sekar yang dibicarakan oleh Raden Suryo. Karena jujur saja, ia sendiri sudah terbebani dengan amanah jodoh yang dikatakan ibunya tadi malam.
* * *
“Kok lama, Yu?” Panca yang sudah menunggu di halaman rumah Raden Suryo bertanya ketika Sekar berada di dekatnya. Panca memang selalu memanggil Sekar dengan sebutan Ayu.
“Iya, tadi ngobrol sebentar sama Pak Puh dan Bude. Ada Mas Faisal juga yang khusus datang untuk hadir di pawiwahan kemarin,” jawab Sekar sambil mengenakan helm.
“Mas Faisal?”
“Iya. Anaknya Pak Puh Suryo. Mas Faisal kerja di salah satu bank swasta yang di Jakarta.”
Panca hanya mengangguk.
“Ayo, berangkat sekarang. Nanti Mbak Arini marah-marah lagi kalau kita ndak tepat waktu,” ajak Sekar ketika dia sudah duduk di belakang Panca.
Panca kembali mengangguk dan menampilkan senyumnya, setelah berkata, "Siap!" Baginya, permintaan Sekar untuk segera berangkat ke sanggar atau permintaan apa pun itu, selalu menyenangkan. Jangankan ke sanggar kali ini, berangkat dan pulang latihan menari bersama Sekar setiap hari sudah merupakan hal yang sangat indah.
Sepeda motor yang Panca kendarai melaju lancar, membelah jalanan kota menuju arah Selatan, sementara panas yang menguap dari aspal terasa membakar kulit. Sekar dan Panca memang menuju ke sanggar tempat mereka biasa menari dalam keadaan panas-panasan di bawah terik matahari. Akan tetapi, di kediaman Raden Suryo, Faisal yang duduk dengan pikiran panasnya, menyimpulkan satu tekad bulat: dia akan lebih memilih bapak dan ibunya.
“Saya akan ikut dengan keinginan bapak.” Akhirnya Faisal mengatakan tekadnya.
Raden Suryo menatap Faisal penuh tanda tanya. “Meskipun kamu belum tahu dengan siapa bapak akan menikahkan kamu?”
Faisal mengangguk. “Saya yakin dia gadis baik-baik.”
“Lalu bagaimana dengan pacarmu?”
Faisal menghela napas berat. “Dia sudah memutuskan untuk mengejar karirnya daripada hubungan kami.”
“Baiklah, kalau kamu sudah memutuskan untuk menerima usulan bapak sama ibu, Nak. Nanti malam kita akan melamar gadis itu. Kamu bisa mengajukan cuti barang sehari lagi, ‘kan?”
Kalimat Raden Suryo, sukses membuat Faisal terkesiap. Secepat itukah? “Nanti malam, Pak?” tanyanya, memastikan.
“Ya. Bukannya lebih cepat, lebih baik?”
“Tapi... tapi saya bahkan belum tahu betul soal gadis itu, Pak. Apalagi kita belum punya persiapan apa-apa buat lamaran.” Faisal merasa linglung dan tak percaya dengan perkataan bapaknya beberapa detik yang lalu.
Raden Suryo tersenyum. “Kamu tidak perlu mengkhawatirkan hal itu, Nak. Ibumu sudah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk hantaran. Kamu hanya tinggal bilang setuju dan kita akan berangkat melamar gadis itu malam ini.”
Faisal semakin terkejut, berarti... “Ibu sudah merencanakan ini dari jauh-jauh hari sebelumnya?”
“Kamu putra satu-satunya keturunan bapakmu, Sal. Ibu ingin yang terbaik untukmu. Dengan siapa pun kamu hendak melamar, ibu sudah mempersiapkannya. Siapa pun yang hendak kamu lamar, ibu akan memberikan barang-barang lamaran itu untuknya. Sayangnya sekali, pacarmu lebih memilih karir daripada masa depan kalian.”
Faisal terdiam. Wajah Dita yang cantik kembali terbayang. Juga malam-malam yang mereka lewati dalam desah napas penuh nafsu. Dan sepertinya, Faisal harus mulai melupakan gadis modis foto model itu. Setidaknya mulai saat ini.
Sementara di kamar hotelnya, Dita baru saja bangun dari tidurnya karena semalam ia tak bisa tidur lelap. Permintaan Faisal untuk menemui orang tuanya, guna mengukuhkan hubungan mereka, demikian mengganggu pikirannya. Sementara jawaban spontan yang terlanjur diucapkan, justru diterima mentah oleh Faisal. Keinginannya untuk mengejar karir impiannya terlebih dahulu disimpulkan laki-laki itu jika ia tak ingin menikah. Padahal jujur saja, Dita tidak bermaksud seperti itu. Dia mencintai Faisal, hingga tak peduli bahwa mereka berbeda keyakinan.
Sejak Faisal mematikan sambungan telepon, beberapa panggilan yang dilakukan Dita mental oleh jawaban operator. Sementara pesan pendek yang dikirimnya berulang-kali, serta room chat yang hanya terkirim, tidak di-read sama sekali, membuatnya frustasi.
Hari ini Dita memutuskan untuk mencari rumah Faisal dan mengajaknya membicarakan ulang apa yang diminta laki-laki itu semalam. Kalau Faisal ngotot mengajak menikah, maka Dita memutuskan untuk menerimanya dengan satu syarat bahwa mereka harus menyembunyikan status pernikahannya dari kalangan publik demi karir yang sedang dirintis. Ya, Dita berharap mereka akan menemukan titik temu dari permasalahan itu sekarang. Dan langkah awal yang harus ditempuh Dita untuk mencari rumah Faisal adalah menghubungi Wawan, teman Faisal yang menjemputnya di bandara dan mengantar sampai ke hotel kemarin.
Sebelum mandi, Dita menghubungi Wawan. Namun, belum lagi dia men-dial nomor Wawan, tiba-tiba ada panggilan masuk. Wajah Dita berbinar. Ia berharap bahwa yang menghubunginya adalah Faisal, tetapi gadis itu harus kecewa karena nama kontak yang tertera dalam panggilan masuk, justru nama Nonik—manajer yang mengatur jadwal dan kontrak kerjanya sebagai seorang model.
“Halo, Nik? Ada apa?” Dita menjawab dengan lesu.
“Maaf ganggu, Ta. Tadi ada tabloid lokal yang nelpon aku. Mereka tahu kamu lagi di sana dan minta diluangkan jadwal hari ini untuk pemotretan dan sedikit wawancara. Bisa, ‘kan?”
Dita berdecak kesal. “Nonik, aku ke sini mau liburan! Kamu, kan, tahu aku gak mau diganggu kalau lagi liburan bareng Faisal.”
“Bukan aku yang ngasih informasi ke mereka, tapi mereka sendiri yang lihat kamu di sana. Mungkin mereka tadi nelpon cuman buat memastikan. Please ... hanya beberapa jam. Aku janji gak akan ganggu liburan kamu sama Faisal. Faisal juga pasti ngerti. Harga yang ditawar tabloid ini, juga lebih gede dari tabloid lokal biasanya, Ta.”
Dita kembali berdecak kesal. “Oke, oke! Tapi habis ini, aku benar-benar gak akan mau terima job apa pun waktu lagi masa liburan kayak gini, meskipun bayarannya gede. Ngerti?”
“Siap. Aku bakal ngabarin mereka di mana kamu nginap, biar mereka yang jemput kamu di hotel. Bye, and thanks, Dit.”
Klik.
Nonik menutup sambungan telepon. Dita kembali menghempaskan tubuhnya yang rasanya demikian penat, sambil mencari nomor Wawan kemudian menghubunginya.
“Halo?” Terdengar sahutan dari seberang.
“Halo, Wan.”
“Ya, ada apa, Dit?”
“Jadi begini... aku ada sedikit salah paham sama Faisal, dan aku mau jelasin ke dia. Kamu bisa bantu nganterin aku ke rumah dia?”
“Hari ini?”
“Gak. Hari ini aku ada pemotretan buat tabloid lokal. Kalau besok, kamu sibuk?”
“Oh, gak, Dit. Kerjaanku gak harus stand by di kantor. Aku bisa nganterin kamu ke sana.”
“Oke. Aku bakal nunggu di lobi, besok jam delapan pagi, ya, Wan.”
“Sip.”
“Makasih sebelumnya, Wan.”
“Santai, Dit. Sama-sama.”
Dan Dita tak pernah merasa lega seperti yang dirasakannya kini. Lalu, dengan sigap, Dita bangkit untuk mandi. Ia telah menemukan semangat untuk pemotretan. Hitung-hitung ia mengisi waktu sebelum bertemu dengan Faisal besok pagi.
* * *
Pukul empat sore, Sekar baru pulang dari sanggar dengan diantar Panca.
“Sepertinya di rumah kamu lagi pada sibuk ngurus acara, ya, Yu?” Panca bertanya ketika melihat mobil catering berhenti di depan rumah Sekar dan beberapa pegawai menurunkan makanan yang terbungkus kotak-kotak.
Sekar menautkan alis. “Paling buat yasinan. Biasanya kalau ibu malas memasak, selalu pesan catering,” jawabnya, sekadar menebak-nebak.
Panca mengangguk, kemudian pamit pulang. Setelah melambaikan tangan pada Panca, Sekar masuk ke dalam rumah. Dua orang pegawai catering tersenyum ketika berpapasan dengannya. Sekar menemukan ibunya sedang mengarahkan pegawai catering lain dalam menyusun makanan yang dipesan.
“Ada acara apa, Bu? Kok ibu ndak bilang kalau mau ada acara di rumah?” tanya Sekar sambil meletakkan tas berisi kain panjang dan selendang—peralatannya berlatih menari.
“Ini mendadak, Sekar.” Bu Rahmi menjawab.
“Acara apa, ya, Bu?”
“Nanti ibu bilang. Sekarang kamu mandi dulu sana.”
Sekar mengangguk patuh kemudian menuju kamarnya, meski dalam hati bertanya-tanya acara apa yang akan diselenggarakan di rumahnya.
Sementara Sekar mandi, Bu Rahmi duduk di kursi ruang makan, setelah pegawai catering tadi pulang. Bu Rahmi terlihat membuka telepon genggamnya dan menghubungi seseorang.
“Ning, acaranya malam ini. Kamu bisa bantu mbakyu mempersiapkan acara malam nanti?” Bu Rahmi berbicara dengan seseorang yang dipanggil dengan nama Ning. Wajah bu Rahmi tampak datar, khawatir bahwa Sekar tak akan menolak amanah yang dia pegang beberapa tahun itu.
“Bisa, Mbakyu. Saya dan Mas Adib akan datang sebelum maghrib.”
“Baiklah. Terima kasih, ya, Ning.”
Bu Rahmi menutup teleponnya, tepat pada saat Sekar tiba di hadapannya dengan rambut basah usai keramas.
“Sekar, duduk di sini, Nduk.”
Sekar duduk di salah satu kursi makan yang ditunjuk, sambil mengeringkan rambutnya yang panjang dengan handuk kecil.
“Ya, Bu?”
Bu Rahmi menghela napas berat, seolah tak tahu dari mana harus mulai mengatakan semua, termasuk lamaran yang akan diselenggarakan malam ini.
“Jadi begini, Sekar... makanan ini ibu pesan bukan untuk acara yasinan seperti biasa.”
“Jadi buat apa, Bu?”
“Ini untuk acara lamaran kamu.”
Deg!
Jantung Sekar berdetak lebih keras dengan intensitas lebih lambat. Ia menajamkan telinga, berharap baru saja salah dengar. “Lamaran Sekar, Bu?” Dia harap ibunya sedang salah bicara atau paling tidak, telinganyalah yang salah mendengar.
“Ya, Sekar.” Bu Rahmi menjawab dengan nada datar dan rendah, sementara matanya mengawasi perubahan raut wajah Sekar, menanti reaksi anak gadisnya itu.
“Tapi, Bu... Sekar belum pernah menjalin hubungan dengan siapa pun.” Suara Sekar seperti orang yang tercekik.
“Ibu minta maaf kalau ini terlalu mendadak buatmu, Nduk. Tapi sebenarnya ini sudah direncanakan dan diamanahkan oleh eyang kakung sama ibu, mendiang ayahmu, dan Pak Puh Suryo, sebelum beliau wafat.”
Sekar menggeleng, tak mengerti. “Kok Pak Puh Suryo, Bu? Pripun to ini, Bu? Mbok ibu menjelaskan lebih gamblang?” Suara Sekar bergetar. Matanya mulai kabur oleh air mata yang mendadak hadir.
Bu Rahmi menghela napas kembali. Menahankan hati agar tidak terlalu prihatin pada suasana hati Sekar. Dia yakin, perjodohan ini merupakan jalan yang terbaik. “Kamu mungkin tak terlalu mengenal eyang kakungmu. Tapi beliau orang yang sangat baik. Beliau adalah duda dengan anak satu, yang bersedia menikahi eyang putrimu yang notabennya merupakan penari keraton, berstatus janda dan juga beranak satu. Eyang kakung membawa anak lelakinya, yaitu Pak Puh Suryo, dan eyang putrimu dengan anak satu, yaitu ibumu ini, Nduk.”
Sekar terkejut demi mendengar kenyataan bahwa sebenarnya tak ada pertalian darah antara ibunya dan Pak Puh Suryo.
“Karena besarnya rasa sayang eyang kakung terhadap eyang putrimu, maka beliau tak ingin hubungan pertalian kami putus oleh apa pun. Dan demi menguatkan pertalian tersebut, beliau mengamanahkan pada ibu dan Pak Puh Suryo, untuk menikahkan kamu dengan putra Pak Puh Suryo jika kalian dewasa. Dan sekarang kalian sudah dewasa, maka ibu dan Pak Puh Suryo ingin mengemban amanah itu, Sekar.”
Kalimat panjang dan datar yang diucapkan Bu Rahmi dengan suara lirih itu berhasil membuat Sekar lemas dan gemetar dalam waktu bersamaan. Tangannya yang berkeringat dingin saling meremas .
Putra Pak Puh Suryo? Bukannya putra beliau cuman satu? Dan itu adalah Mas Faisal yang tadi pagi tanpa sengaja ketemu di rumah, ‘kan? Napas Sekar menderu, tersengal antara rasa tak percaya dan ingin menolak karena dia masih ingin kuliah, ingin menari, dan yang jelas dia masih terlalu muda untuk semua ini.
“Bu....” Sekar tak bisa mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Dia menahan gemuruh hatinya yang rasanya hendak meledak. Gadis itu kemudian berdiri dan bergegas meninggalkan Bu Rahmi.
“Sekar! Sekar!”
Bu Rahmi berusaha terus-menerus memanggil anak gadisnya. Namun, Sekar tak hirau dan terus berlari menuju kamarnya. Dia menghempaskan dirinya di atas kasur ranjang kanthil yang terbuat dari kayu berukir miliknya. Menyembunyikan wajah yang penuh tangis di atas bantal berwarna putih, isak Sekar tenggelam, redam dalam bantal.
Bu Rahmi menyusul dan hatinya menganga melihat Sekar yang terlihat begitu sedih dan rapuh atas kabar yang baru ia sampaikan. Beliau kemudian duduk di sisi ranjang dengan pelan. “Maafkan ibu kalau kamu tidak berkenan dengan hal ini, Sekar. Ibu hanya mengemban amanah orang yang sudah meninggal, yang telah mengangkat derajat kehidupan eyang putri dan juga ibu. Kalau kamu memang tidak ingin menjalani perjodohan ini, kamu boleh menolaknya. Biar ibu yang nanti berhadapan dengan Bude sama Pak Puh Suryo,” Bu Rahmi berkata lembut sambil mengusap pelan rambut Sekar yang setengah basah.
Sekar masih terseguk dan tak memberi komentar apa-apa. Bahunya bergetar, menahan histeris yang ingin tumpah ruah.
“Jangan menangis, Sekar. Kalau memang kamu menolak, ibu yang akan mengatakan keputusanmu nanti. Ibu tidak mau memaksa kamu, Nduk. Bagaimanapun, kamu yang bakal menjalani kehidupan berumah tangga. Bukan ibu,” bujuk Bu Rahmi.
Sekar bergerak kecil, kemudian terlihat bangun dan duduk di atas kasurnya. “Benar, Sekar boleh menolaknya, Bu? Sekar masih ingin menari, masih ingin tetap kuliah, masih ingin jadi guru... sesuai keinginan dan cita-cita Sekar.” Gadis itu berkata lirih dengan wajah sembabnya.
“Ibu yang akan bicara nanti pada Pak Puh Suryo.”
Sekar ragu, menatap ibunya. “Bagaimana kalau Pak Puh Suryo nanti marah?”
Bu Rahmi tersenyum sedih, menunduk untuk menyembunyikan kekhawatirannya akan ucapan Sekar yang bisa saja terjadi. “Kebahagiaanmu lebih penting buat ibu, daripada kemarahan Pak Puh Suryo, Nduk. Kita berdoa saja, semoga beliau tidak marah seperti yang kita bayangkan. Dan kalaupun marah, tetap akan ibu terima dengan lapang.”
Hati Sekar tersayat mendengar kalimat ibunya. Kalimat yang meski diucapkan dengan tegar penuh keyakinan, tetapi seianya terselip gentar dan takut bilamana nanti Pak Puh Suryo marah besar akan penolakan keluarganya.
“Ibu juga akan marah dengan Sekar?” Sekar bertanya hati-hati.
Bu Rahmi menatap Sekar dengan pandangan penuh dilema. “Kamu anak ibu satu-satunya, Sekar. Dan sebesar apa pun kesalahanmu, akan selalu ada maaf ibu untukmu. Ini bukan salahmu.”
Sekar menatap pundak sang ibu yang berlalu dari kamarnya dengan pandangan penuh beban. Pernikahan yang direncanakan oleh eyang kakung ini terlalu berat untuk dijalaninya. Meskipun tak ada pertalian darah di antara mereka, tetapi Sekar telanjur beranggapan Faisal adalah kakaknya.
Sekar kembali menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Hatinya menjadi kian resah dan rusuh.
Di ruang tamu terdengar perbincangan gayeng. Tawa renyah Pak Hadi, selaku ketua RT, memenuhi ruang diskusi. Ada juga beberapa tetangga yang sengaja diundang Bu Rahmi untuk ikut meramaikan acara lamaran. Mereka datang dalam gerombolan Pak Puh Suryo.
Sekar menelungkupkan wajahnya di atas bantal ketika tadi di luar terdengar suara mobil memasuki halaman rumahnya yang tak seberapa luas. Setelahnya, ada langkah kaki yang diseret hati-hati ke kamarnya. Sekar tahu, akan ada yang datang menemuinya untuk memberi kabar mengenai tamu yang baru saja datang.
Bulik Aning yang sehabis menyambut kedatangan rombongan Pak Puh Suryo di ruang tamu, segera menemui Sekar di kamarnya. Ia melihat sang gadis diliputi aura kesenduan.
“Sekar... bulik dengar kamu akan menolak lamaran mereka?” Bulik Aning bertanya lirih sembari duduk di sisi ranjang kanthil kuno itu.
Sekar hanya memberi jawaban diam.
“Sekar, Sekar mendengar apa kata bulik, ‘kan?”
Gadis itu mengangguk pelan.
“Kalau bulik boleh bicara, bulik akan mengatakan yang sebenarnya.”
Sekar mendengarkan dengan saksama. Demi sopan santun terhadap buliknya, ia bangun dan duduk bersila di atas ranjang.
“Bulik tahu sekarang bukan lagi zaman kuno, di mana jodoh ditentukan oleh orang tua. Tapi bulik harap Sekar tahu, bahwa ini bukan sekadar perjodohan biasa, Nak. Ini amanah dari eyang kakung. Beliau adalah kerabat keraton yang disegani pada eranya. Bukan tanpa pertimbangan jika beliau melakukannya.”
Sekar masih mendengarkan.
“Beliau ingin menjaga garis keturunannya tidak menyimpang dari ugem bibit, bebet, dan bobot. Eyang kakung ingin agar pertalian persaudaraan kita tidak putus oleh zaman, karena keluarga kalian pada dasarnya tidak ada hubungan trah maupun hubungan darah. Semua karena rasa sayang eyang kakung pada eyang putrimu. Kamu mungkin tak mengenal eyang kakungmu dengan baik karena kamu masih kecil ketika beliau mangkat. Tapi bulik tahu dan mengenal beliau dengan baik.”
Sekar menunduk, tak berani menatap Bulik Aning. “Tapi Sekar ndak mencintai Mas Faisal, Bulik. Sekar rasa Mas Faisal juga tak menyukai Sekar, seperti pria pada wanita. Kami tidak pernah menjalin hubungan. Komunikasi kami bahkan hanya sekadar sapaan demi sopan santun.” Sekar mengungkapkan isi hatinya.
Bulik Aning tersenyum. “Kamu percaya dengan kalimat witing tresno jalaran soko kulino? Kalian akan bisa saling mencintai hanya dengan terus bersama. Dan nanti kalian bakal saling membutuhkan satu sama lain.”
“Tapi... Sekar masih ingin menari, kuliah, dan jadi guru.” Sekar masih mencari-cari alasan.
“Siapa bilang, kalau sudah menikah tak bisa menari dan kuliah? Kamu masih bisa kuliah meski sudah menikah. Kamu masih bisa tetap menari meski sudah menikah, bahkan meskipun suatu saat kalian memiliki anak. Kamu pun bisa mengejar keinginanmu untuk menjadi guru, Sekar,” yakin Bulik Aning.
“Tapi, Bulik, Sekar masih muda. Baru dua puluh tahun, dan Sekar tak ingin menikah muda.” Raut wajah Sekar tak bisa menyembunyikan kesedihannya.
“Dua puluh tahun bukan usia muda, Sekar. Atau barangkali kamu sudah memiliki teman laki-laki?” Bulik Aning bertanya penuh selidik.
Sekar menatap Bulik Aning dan segera menggeleng dengan tegas. Bagaimanapun dia memang tak memiliki hubungan dengan siapa-siapa saat ini.
“Nah, jadi silakan Sekar berpikir. Mas Faisal mungkin juga sedang memiliki pacar. Tak mungkin laki-laki mapan dengan wajah bagusnya, juga trah ningrat yang dia sandang itu tak punya kekasih. Jadi, kalau Mas Faisal mau menekan egonya untuk amanah yang dibebankan eyang kakung sama bapak dan ibunya, mengapa tidak mencoba untuk sedikit merendahkan egomu? Penolakanmu akan membuat ibumu menanggung beban seumur hidup karena tidak bisa mengemban amanah, sekaligus akan menyandang gelar tak tahu terima kasih, Sekar.”
Sekar terdiam. Bulik Aning benar. Dan Mas Faisal memang mapan dan berparas bagus. Akan tetapi, bagaimana mungkin ia dan Mas Faisal akan melaksanakan acara lamaran yang berujung pada pernikahan itu, jika mereka saja tidak pernah dekat sebelumnya?
“Yang bulik tahu, Faisal adalah laki-laki yang baik dan berasal dari trah yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi.”
Sekar mulai memikirkan kata-kata buliknya.
“Pikirkan dan putuskan dengan pikiran yang baik, Sekar. Tapi kalau kamu masih pada keputusan untuk menolak, bulik dan ibumu tak mungkin memaksa kamu.” Setelah berkata demikian, Bulik Aning pamit pergi.
Sekar mulai menimbang keputusannya yang menyangkut ibu dan juga keluarga besar mereka. Namun, menikah dengan Mas Faisal? Ya, Tuhan....
Sekar mengacak rambutnya yang tergerai. Pikirannya terlalu kalut. Kalau dia menolak, tentu ibunya akan sangat tidak enak hati dengan Pak Puh maupun Bude Suryo. Padahal keluarga mereka sudah sangat baik selama ini. Meski tak ada pertalian darah di antara ibunya dengan mereka—dan hanya karena kakek dan nenek yang menikah—nyatanya, keluarga eyang kakung yang seorang kerabat keraton, tetap menjadikan eyang putri sebagai penari perempuan yang bermartabat tinggi, tanpa merendahkan, bahkan tetap ingin kekerabatan ibunya bersama Pak Puh Suryo semakin kental dengan pernikahan antara dirinya dan Mas Faisal. Akan tetapi, kalau Sekar menerima lamaran ini, bukankah tak semudah yang dibayangkannya? Bagaimana jika ia dan Mas Faisal benar-benar tak bisa saling cinta? Bagaimana jika nantinya Faisal benar-benar memiliki kekasih? Apakah Sekar tidak melukai perasaan perempuan itu?
“Sekar, Pak Puh dan Bude Suryo meminta kamu ke depan.” Bulik Aning tiba-tiba kembali muncul di depan pintu kamar Sekar.
Sekar terkesiap. Jantungnya berdetak kencang. “Bulik, bagaimana ini?” Dia mulai terlihat panik.
Bulik Aning tersenyum menenangkan. “Ungkapkan dan katakan apa yang Sekar mau. Jika Sekar tak menerima perjodohan ini, Sekar bisa mengatakan keberatan.”
Sekar bingung, tangannya meremas tangan yang lain. Sekujur tubuhnya kembali berkeringat gugup.
“Berhias yang pantas, Sekar. Dan segera ke depan.” Bulik Aning kemudian berlalu setelah mengingatkan Sekar agar tak membiarkan tamu mereka menunggu terlalu lama.
Sekar mengiyakan dengan anggukan ragu.
* * *
Sudah lima menit Sekar berdiri di dekat pintu, di balik tirai yang menjulang tinggi, membatasi kamarnya dengan ruang tamu. Hatinya berdebar, saat memikirkan agar segera masuk ke ruang tamu atau menunda lebih lama lagi. Sejujurnya dia ingin menolak lamaran Pak Puh Suryo, tetapi kelebat wajah ibu yang harus menahan malu setelah menolak lamaran tersebut, membayang jelas di pelupuk matanya. Apalagi selama ini Bude Suryo sangat baik dan sudah menganggapnya seperti anak sendiri.
Sekar lemas, ingin menangis dan berteriak dalam waktu bersamaan. Namun, itu jelas bukan sikap yang pantas dan bermartabat. Menarik napas dan mengumpulkan keberanian, Sekar memutuskan untuk keluar dan menemui para tamu di depan sana. Ia akan memberi mereka jawaban yang telah ia ambil.
Pandangan semua orang yang hadir di ruang tamu, terfokus pada kedatangan Sekar. Gadis itu keluar dengan wajah yang sembab. Meski sudah memoles wajahnya dengan sedikit bedak, tetapi kesan muram masih tak terelak.
Sekar menunduk dalam duduknya. Tubuhnya terasa gemetar, sementara tangannya saling meremas.
“Sekar... mungkin ibumu sudah bilang apa maksud kedatangan Pak Puh dan Bude Suryo ke sini, yaitu untuk memenuhi amanah eyang kakung dan eyang putri agar garis keluarga kita tidak terpecah, dengan mempersatukan kamu dan Mas-mu dalam ikatan pernikahan. Tapi kami tidak memaksa, Sekar. Kamu berhak memutuskan. Untuk Faisal, kami sudah membicarakannya dan dia menerima perjodohan ini. Jadi keputusan hanya tinggal di tanganmu, Nduk.” Pak Puh Suryo menjelaskan dengan sikap yang beribawa dan penuh tata krama.
Jleb. Jantung Sekar seakan berhenti berdetak mendengar pinangan tak langsung yang dikatakan Pak Puh Suryo. Sekar menunduk dan matanya sekilas melirik pada ibunya yang juga sedang duduk.
Suara-suara ibunya dan Bulik Aning terdengar kembali bagai lebah yang menghantui telinganya.
“Bagaimana, Sekar?” Kali ini suara lembut Bude Suryo terdengar bagai hipnotis yang menggiring logika Sekar pada ruang tanpa pola.
Dan Sekar memberi jawabannya....
“Ya, saya bersedia, Bude.” Suara gadis itu bergetar, tetapi rautnya tak menampilkan emosi apa pun.
Lalu yang terdengar adalah helaan napas lega dari para tamu yang hadir dalam acara lamaran tersebut.
“Alhamdulillah!” seru Pak Puh Suryo, diiringi senyum bahagia Bude Suryo.
Namun, di sisi lain, ada beban yang menghimpit hati Faisal ketika mendengar jawaban Sekar. Setelah tadi dibuat shock karena ternyata yang akan ia dan keluarganya pinang adalah Sekar, adik sepupu yang merupakan putri tunggal dari Bulik Rahmi dan tadi pagi datang mengantar jenang ketan ke rumahnya, kini Faisal dikejutkan oleh jawaban Sekar. Jika sebagian besar laki-laki akan bahagia saat lamarannya diterima, Faisal justru merasa ada amanah terbeban di bahunya.
Ini bukan hal mudah.
Akan tetapi, bukankah Faisal sudah bertekad untuk menerima dan menjalani semuanya? Dan ia jelas tak akan mencabut kembali keputusannya, karena ini menyangkut hidup dan harga diri orang tuanya.
Biarlah.
Mungkin ini saatnya bagi Faisal untuk membalas air s**u ibunya. Ya, hanya ini yang bisa ia lakukan.
Faisal menatap Sekar yang masih menunduk. Sejujurnya, Faisal akui Sekar bukanlah gadis yang buruk rupa. Gadis itu cantik dengan sikap santun dan penuh anggah-ungguhnya. Kalau dibandingkan dengan Dita, mereka memiliki nilai yang sama untuk kategori yang berbeda. Dan kalau boleh memilih, Faisal tentu akan memilih Dita. Namun, sayangnya ia tak punya pilihan. Dita sudah menolak permintaan nikahnya secara tidak langsung. Dan wajah cantik modis Dita kembali berkelebat ketika Faisal diminta untuk maju untuk menyematkan cincin pengikat itu ke jari manis Sekar.
Faisal maju dengan hati berdebar, begitupun Sekar.
Sembari menyematkan cincin belah rotan dengan inisial nama masing-masing itu Faisal masih berharap bahwa gadis yang kini dipegang tangannya bukanlah Sekar, tetapi Dita.
Malam ini, Faisal dan Sekar membuang ego masing-masing untuk sebuah amanah. Tidak mudah memang, tetapi mereka tak bisa menolak.
* * *