Prolog

1357 Words
Pernahkah kau membayangkan di dunia ini ada satu cinta untuk selamanya. Cinta yang tak ‘kan pernah berubah, meski perjalanan kalian tak terasa mudah. Hari itu, Kirania yang biasa dipanggil Kiran, pergi ke sebuah pasar malam bersama kelurganya, lalu di sana ia menemukan sebuah mesin peramal yang akan mengeluarkan kartu begitu dimasukkan koin. Kiran yang masih berumur sepuluh tahun berpamitan pada kedua orang tua dan kakaknya yang tengah bermain lempar gelang, tepat di sebelah mesin itu berada. Kiran menghentikan langkah saat menemukan seorang anak lelaki sudah lebih dulu berdiri di depan mesin itu. Anak lelaki yang menyadari kehadiran Kiran tersenyum pada gadis itu, Kiran membalas senyumannya. Si anak lelaki memasukkan koin, sedetik kemudian sebuah kartu keluar dari sana. Di kartu itu tertulis, “Kalian ditakdirkan untuk bersama selama-lamanya,” baca anak lelaki itu dengan perlahan, lalu ia mengadahkan wajah dan pandangannya bertemu pada Si gadis. Kiran tersenyum manis. “Jadi, kita akan terjebak bersama selamanya?” Senyum Kiran menular pada anak lelaki di hadapannya. Si anak mengangguk dan mengulurkan tangannya pada Kiran. “Namaku Alardo, panggil Ardo. Kita akan bersama untuk selama-lamanya,” pandangan keduanya saling terkunci. “Namaku Kirania, panggil aja Kiran,” tangan keduanya saling berjabatan. Kedua anak kecil itu berpikir, jika kata selamanya bisa mereka wujudkan bersama. Padahal mereka hanyalah sepasang asing yang tak sengaja dipertemukan takdir. Tentu saja, sebagai anak kecil mereka tak paham, jika kata selamanya bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dicapai. Bukan pula hal yang mampu diwujudkan di dunia nyata. Tak semudah membaca kata penutup dari dongeng pengantar tidur yang berbunyi; “Maka, pangeran dan putri akan hidup bahagia selama-lamanya”. Kedua insan itu terlalu naïf dan tak tahu, bila menjadi dewasa bukanlah hal yang menyenangkan. Menjaga perasaan pun tak semudah seperti yang mereka pikirkan. Hidup bisa berubah dan siapa yang tahu apa yang akan terjadi esok. Bertahun-tahun berlalu setelah kejadian di pasar malam. Kiran dan Ardo seakan memang ditakdirkan bersama. Dari kejadian itu, secara tiba-tiba Ardo kembali menemukan Kiran di sekolah yang sama, Ardo adalah kakak kelas Kiran, umur mereka berjarak tiga tahun. Semuanya mengalir seakan keduanya memang telah diciptakan untuk satu sama lainnya. Menjalin kasih hingga dewasa. Namun sayang, Kiran dan Ardo harus berpisah saat kuliah karena keduanya pergi ke Negara berbeda. Kiran ke Penang, Malaysia untuk melanjutkan studinya, sementara Ardo yang sudah tamat lebih dulu pergi ke Australia untuk menyambung studinya. Jarak tak pernah menjadi hal yang sulit bagi keduanya. Mereka tetap berhubungan baik, bahkan cinta mereka semakin tumbuh besar. Sesekali memang pertengkaran tak bisa dihindari, tetapi mereka selalu berakhir dengan damai dan memperbaiki keadaan. Siapa sangka, perjalanan cinta, pengorbanan, dan juga cinta dibalas dengan tuba. Hari ini, wanita itu baru saja kembali dari negeri jiran, tempatnya menuntut ilmu. Siapa sangka, di hari yang seharusnya ia disambut dengan bahagia dan kerinduan menjadi hari di mana jantungnya dipaksa ditarik keluar dari tempatnya, hingga dirinya mati seketika. “Kalian semua memang pengkhianat!” teriak Kiran dengan suara bergetar. Ditatapnya satu per satu orang yang duduk mengisi meja makan persegi panjang itu. Ibu, ayah, kakak, bahkan kekasih yang ia cintai sepenuh hati. Seharusnya mereka semua memberikan Kiran sebuah kejutan yang mampu membuatnya tersenyum dan merasa bahagia, bukan kejutan seperti ini yang Kiran harapkan. Kiran tak mampu lagi membendung air mata yang memberontak untuk segera dikeluarkan. Hatinya tersayat perih, sedang semua orang yang berada di sana hanya bisa menatapnya sendu seakan dirinya adalah manusia paling menyedihkan di muka bumi ini. Tidak, mereka semua memang benar. Dirinya memang adalah seorang yang menyedihkan. Dikhianati oleh kekasih dan keluarganya sendiri. “Kiran … Kak Kaila bisa jelaskan semuanya sama kamu, Dek,” wanita yang bersuara itu adalah kakak kandung Kiran, wanita yang dilahirkan dari rahim yang sama dengannya. Wanita yang dulu begitu mencintainya, bahkan kerap memberikan apa yang ia sukai hanya untuk Kiran. Wanita yang Kiran pikir, akan terus melimpahinya dengan cinta bukan pengkhianatan seperti ini. Wanita yang kini telah merenggut kebahagiaannya dengan begitu kejam. Kiran tersenyum sinis. “Menjelaskan? Apa lagi yang harus dijelaskan dengan perut nggak ratamu itu?” Kiran menatap wanita itu tajam, “Kau rela meniduri kekasih adikmu sendiri hanya untuk dinikahinya? Apa kau puas merampas apa yang telah menjadi milikku? Kau memang wanita murahaan yang mengenaskan!” teriak Kiran seperti kesetanan. Air matanya mengalir semakin deras, tubuhnya bergetar menahan amarah dan sakit yang mendera. Sedetik kemudian, Kiran dapat merasakan sakit di pipinya. Ia menatap nanar ke depannya. Pria yang selama ini selalu menatapnya penuh cinta, pria yang tak pernah menyakitinya sama sekali, kini pria itu pula yang menyakiti raga dan juga hatinya. Mengapa kini, pria itu malah menamparnya? Sungguh, semua ini sulit diterima Kiran. Apakah ini adalah mimpi buruk? Oh Tuhan … hati Kiran begitu hancur dan ingin mati saja rasanya. “Cukup, Kiran! Jangan menggila,” tangan pria itu gemetar, ia sendiri tak menyangka mampu menampar pipi Kiran karena sikap gilaa wanita itu, “Semua ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Kakakmu sangat menyayangimu dan jangan pernah berkata kasar seperti itu padanya.” Kiran mengigit kuat bibir bagian bawahnya yang bergetar, tangis tak lagi bisa ia hentikan. Mengapa dirinya tak mampu mengendus semua permasalahan ini? Harusnya, ia tahu jika ada yang mulai salah di antara mereka begitu pria itu jarang menghubunginya. Setahun pria itu seakan menjaga jarak, namun Kiran kerap berpikiran positif jika cinta mereka tak ‘kan berubah. Jika mereka memang akan bersama untuk selama-lamanya. “Sekarang, kamu bahkan berani menamparku hanya karena dia sudah menjadi istrimu?” Kiran menatap pria di hadapannya penuh luka, “Apa semuanya sudah berubah? Bukankah dulu, kamu bilang kalau kita akan bersama untuk selama-lamanya? Apa yang salah?” Jantung Kiran seakan diremas, begitu sakit bukan main. Dadanya mulai sesak dan ia kehilangan seluruh udara yang diperlukan paru-parunya untuk terus bernafas. Apa memang tak ada yang namanya selamanya di dunia ini? Apa semua telah berakhir dan tak mungkin diselamatkan? Kiran harap, semua ini adalah mimpi buruk. Bagaimana ia bisa melihat kengerian dengan mata yang terbuka. Pria yang dulu adalah kekasihnya, kini telah berubah status menjadi kakak iparnya. Kakak yang dulu mencintainya kini telah merampas cintanya. Kegilaan apakah ini? Mengapa harus dirinya yang berkorban, lalu dianggap jahat dan juga gilaa? Kaila menangis terisak melihat pemandangan yang menyayat hatinya. Kedua kakak beradik itu sama-sama menangis, membuat kedua orang tua mereka merasa begitu tersiksa dengan pemandangan yang ada. “Kenapa kalian semua tega melakukan ini padaku?” Kiran menangis tersedu-sedu. Rasanya tak ada yang peduli dengan rasa sakitnya. Mereka semua terlalu sibuk merakit kalimat penuh kepalsuan untuk menenangkannya. Bagaimana bisa kepulangannya disambut dengan kejutan yang menyakitkan seperti ini? Hubungan antara dirinya dan Ardo bahkan belum berakhir, mereka masihlah sepasang kekasih, namun mengapa kenyataan yang menyambutnya malah membuatnya merasa jika dirinya tengah berhalusinasi sendiri? Mengapa bisa secara tiba-tiba kekasihnya menjadi kakak iparnya? Kiran hanya ingin segera terbangun dari mimpi buruk ini. “Mama dan papa nggak adil. Sejak dulu, kalian selalu mendahulukan kakak. Kini, kalian merestui hubungan yang salah ini,” Kiran menghapus kasar air matanya, “Mungkin aku cuma anak yang diadopsi, hingga selalu dijadikan korban demi kebahagiaan Kak Kaila. Selalu seperti itu sejak kecil. Aku harus memberikan mainanku pada Kak Kaila, nggak membuatnya terlalu lelah, dan selalu tentang Kakak,” Kiran berusaha mengontrol perih yang menguasai hatinya. “Akulah korban di sini, tapi aku pula yang harus dituding gila,” Kiran tertawa miris, “Aku sudah nggak peduli lagi dengan apa pun yang terjadi di sini. Kalian bisa begitu jahat denganku, maka aku juga bisa melakukan hal yang sama,” lanjut Kiran menatap wajah yang ada di meja itu satu per satu, ibu Kiran terlihat hendak membuka mulut, namun Kiran menggerakkan tangan di udara, meminta wanita itu tak bersuara. “Kalian sudah cukup banyak mengatakan kebohongan padaku, jadi biarkan aku yang berbicara,” Kiran mengarahkan pandangan ke arah kakaknya, “Selamat atas pernikahan yang nggak kuketahui dan juga kehamilanmu,” lalu ia menoleh pada Ardo yang sedari tadi berdiri dan menatapnya nanar, “Dan kamu, sampai kapanpun, aku nggak akan menerimamu sebagai kakak iparku. Aku nggak akan pernah melupakan pengkhianatan ini. Aku akan membenci kalian berdua dengan sepenuh hatiku, jadi aku mohon, jaga jarak kalian dariku. Aku nggak mau bila suatu saat nanti aku benar-benar gilaa dan membunuh kalian,” lanjut Kiran sarkastis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD