Cinta yang Penuh Kepalsuan

1378 Words
Cinta adalah kepalsuan semata, keindahan yang ditunjukkannya hanya ilusi yang menenggelamkanmu dalam kepahitan yang menanti untuk segera membunuhmu. Cinta tak seindah seperti apa yang orang-orang katakan, cinta tak lain hanya sekadar kata-kata indah tanpa makna. Cinta hanyalah topeng yang menyembunyikan kengerian yang berada di baliknya. Tak perlu memasrahkan diri pada cinta, bila kau tak ingin mati karenanya. Kiran tak ingin lagi berada di sana dan menyiksa hatinya lebih dari ini. Wanita itu segera berdiri menjauhi meja makan. Ia tak lagi menunjukkan tangisnya, walau hatinya begitu pedih, dan air mata terus-terusan memberontak untuk segera dikeluarkan. Kiran tak ingin lagi terlihat lemah pada semua orang yang mengkhianatinya. Seharusnya, bukan dirinya yang bersedih, mereka semua harus membayar atas rasa sakit yang ia tanggung seorang diri. Kiran menarik koper yang belum sempat ia bawa ke kamar karena terlalu terkejut dengan pemandangan yang berada di depannya begitu tiba di rumah. Di ruang tamu mereka, ia menemukan Ardo tengah tersenyum dan memeluk tubuh Kaila, perut membuncit wanita itu pun membuat Kiran bagai tersambar petir di siang bolong. Kejadian beberapa menit lalu, sebelum keributan di meja makan itu, kembali terlintas di dalam benak Kiran. Kiran sengaja pulang sehari lebih awal dari tanggal yang ia beritahukan pada keluarganya untuk memberikan kejutan pada semua orang yang ada di sana. Namun sayang, bukan dirinya yang memberikan kejutan, malah ia yang terkejut dan hampir mati dibuatnya. Kaila membeku di sisi Ardo saat menyadari kehadiran Kiran. Kedua orang tua mereka yang berjalan mendekat ke arah pasangan yang terlihat bahagia itu pun tak mampu menyembunyikan keterkejutan mereka saat melihat Kiran berdiri di pintu rumah. Semua orang terpaku selama beberapa menit, sedang Kiran menahan diri agar tak kehilangan kesadarannya saat itu juga. Tanpa mendengarkan penjelasan, ia dapat menebak jika ada yang tidak benar di antara Kaila dan juga Ardo. Keterkejutan di wajah kedua orang tuanya membenarkan semua dugaan Kiran. Wanita itu merasa seperti seorang asing di rumahnya sendiri, merasa tak disambut, dan tak diinginkan untuk hadir di sana. “Kiran … kenapa kamu nggak bilang kalau pulang sehari lebih awal,” suara Leta, ibu Kiran mencairkan suasana canggung yang menjebak ruangan itu. Kiran menoleh ke arah ibunya dan menatap wanita itu tajam. Ia merasa sangat dikhinati dengan apa yang terjadi. Ia seperti seorang bodohh yang tak mengetahui apa pun. Wanita itu tersenyum canggung, lalu memberanikan diri berjalan ke arah Kiran dan memeluk tubuh putrinya dengan erat. Sedang Kiran seakan mati rasa, semua euphoria pulang ke rumah dan kerinduan yang tadinya menggebu-gebu mendadak sirna, menguap bersama dengan angin. “Mama sangat merindukanmu, Kiran,” ucap wanita itu seraya melepaskan pelukan. Dipandangnya wajah putrinya lekat-lekat, senyum lembut ia berikan untuk Kiran, putri yang sudah lama tak pulang ke rumah karena ingin fokus menyelesaikan studinya. Kiran tersenyum sinis. “Oh ya? Aku pikir, nggak ada seorangpun yang mengharapkan kepulanganku. Kalian semua terlihat begitu bahagia tanpaku.” Leta menggeleng dan menangkup wajah Kiran dengan kedua tangannya. “Jangan mengatakan semua itu. Kami sangat merindukanmu. Ran,” Leta mengelus-elus tangan Kiran, “Kita makan, yuk! Mama sudah memasak,” lanjut Leta seraya membantu Kiran menarik kopernya, lalu koper itu berpindah ke tangan Thomas, suaminya begitu keduanya sudah berjalan mendekat ke arah Thomas. Pria paruh baya itu memeluk Kiran erat. “Papa merindukanmu,” ucap pria itu. Kaila yang sejak tadi merasa khawatir dan juga ketakutan, berusaha mengontrol perasaannya dan ikut membaur. Ia berjalan ke arah Kiran dan hendak memeluk adiknya seperti kedua orang tuanya, namun dengan cepat Kiran melangkah mundur, tak sudi dipeluk oleh Kaila, membuat hati wanita itu terasa teriris perih dengan penolakan adiknya, namun ia tak mau berdebat karena ia tahu, jika Kiran pasti bisa membaca situasi yang tengah terjadi di rumah itu. Kaila harusnya sudah mempersiapkan dirinya. Bukankah sudah setahun lamanya, ia memikirkan apa yang akan dikatakannya pada Kiran bila mereka kembali bertemu nanti? Harusnya ia paham, jia Kiran tak ‘kan menerima apa yang telah terjadi, namun Kaila tak mampu menepiskan pedih yang menguasai hati karena tatapan penuh kebencian yang Kiran berikan padanya. “Kamu hamil, Kak?” Tanya Kiran sarkastis, lalu Kiran mengarahkan pandangannya ke Ardo yang sedari tadi berdiri di belakang punggung Kaila, “Anaknya? Anak kalian?” Leta yang melihat jika keadaan akan bertambah parah segera mencengkram pergelangan tangan Kiran. “Sebaiknya kita makan dulu ya, Sayang. Kamu pasti rinduk masakan rumah,” ucap Leta seraya menuntun tangan anaknya ke meja makan, “Kira bicara sambil makan ya,” bujuknya. Kiran bukanlah wanita yang bodoh. Sesungguhnya ia bisa menebak apa yang terjadi. Kakaknya kembali merebut apa yang ia miliki dan orang tuanya akan dengan gampangnya meminta Kiran untuk mengalah dan menyenangkan hati kakak kandungnya. Kiran sudah terbiasa dengan semua itu, namun mengapa mereka tega menyuruh Kiran menyerahkan jantungnya untuk Kaila? Tidakkah mereka tahu, betapa besar cinta yang Kiran miliki untuk Ardo? Tidakkah ada yang mau mengiba pada hatinya? Tidakkah mereka semua memikirkan perasaannya? Ia hanya manusia biasa yang tentu saja bisa terluka. Mengapa Kaila begitu tega padanya? Di meja makan itu suasana canggung kembali menjebak mereka semua. Tak ada cerita yang tadinya Kiran siapkan untuk ia bagikan pada seluruh keluarganya. Tak ada pula kebahagiaan yang sempat ia bayangkan sepanjang perjalanan pulang. Masakan ibunya pun tak terasa lezat seperti biasanya. Ardo dan Kaila duduk bersisian, terlihat begitu mesra meski tak saling bersentuhan, hal yang membuat hati Kiran terbakar api cemburu. “Bukankah tadi ada yang bilang mau bicara sambil makan? Apa kalian semua terlalu sibuk untuk merakit kebohongan yang mau dibagikan padaku?” Kiran memecahkan keheningan di antara mereka semua. Ia sudah tak tahan lagi menahan rasa perih yang menghimpit dadanya, menyesakkan dan begitu menyakitkan. Ia tak lagi bisa bertahan lebih lama di meja itu. “Kiran … sebenarnya, setahun lalu. Kakakmu dan Ardo sudah menikah,” Thomas memberanikan diri merespon pertanyaan Kiran. Ia tahu jika tak ada gunanya lagi mereka terus menutupi kenyataan itu dari Kiran. Walau bagaimanapun, Kiran harus mengetahui apa yang telah terjadi. Setahun sudah kejadian itu berlalu dan mereka lupa, jika suatu saat nanti Kiran akan kembali ke rumah. Mau tidak mau, ia akan mengetahui hubungan antara Kaila dan Ardo. Kebenaranya tak mungkin bisa disembunyikan untuk selamanya, bukan? Mungkin kepulangan Kiran yang tiba-tiba ini ada baiknya, mereka tak perlu lagi terus berbohong. “Setahun? Jadi aku dibodohi selama satu tahun penuh?” air mata Kiran mengalir, tubuhnya bergetar hebat, “Bukan oleh kekasihku, tapi keluargaku juga. Ah ya, harusnya Kak Ardo bukanlah pacarku. Haruskah aku menyebutmu kakak ipar sekarang?” wanita itu tertawa sinis dan air matanya mengalir semakin kencang. Ia tak mampu lagi menahan pedih yang menguasai sanubari. Bagaimana bisa ia ditipu selama itu oleh orang-orang yang dipercayai dan juga dicintainya? Mereka anggap apakah Kiran? Robot yang tak punya hati? “Biar Mbok bantu bawa koper Non Kiran ke kamar,” ucapan yang disertai dengan usapan di punggung tangannya itu membuyarkan Kiran tentang kenyataan pahit yang diketahuinya beberapa menit lalu. Wanita itu memandang Kiran penuh iba. Kiran menggeleng. Perih kembali hadir. Tak ada seorangpun di rumah itu yang mau mengulurkan tangannya untuk Kiran, bahkan menunjukan rasa iba mereka, selain asisten rumah tangga yang dulu menjaganya sejak kecil. Mbok Dewi, begitu wanita tua itu dipanggil. “Nggak perlu, Mbok,” Kiran tersenyum tipis, “Aku nggak akan menetap di rumah ini lagi, jadi Mbok nggak perlu bersusah payah membawakan koperku. Rumah ini bukan lagi tempatku pulang. Aku nggak pernah diterima di sini,” lanjut Kiran sengaja mengeraskan suaranya, agar mereka semua yang menyakitinya mampu mendengarkan perkataannya. Kaila mendadak panik dan segera berjalan ke arah Kiran. Ia mencengkram pergelangan tangan adik wanitanya itu. “Kiran … kamu nggak perlu pergi, Dek. Ini rumahmu. Kakak akan pergi dari rumah ini, jadi kamu jangan menganggap kalau kamu nggak diterima di sini.” Kiran tak sudi menatap wanita jahat yang merusak hidupnya itu. Ia tak mau bersusah payah menoleh ke arah wanita yang mencengkram tangannya erat seraya menangis. Kiran tersenyum sinis. “Sudah pasti kamu pergi dari rumah ini. Kamu sudah menikah dengannya dan nggak mungkin rasanya jika kamu masih tinggal di sini,” Kiran menepis kasar tangan Kaila. “Nikmati hidupmu dan juga lelaki yang kamu rebut dariku. Kalian nggak perlu lagi memikirkan hidupku karena aku bisa hidup tanpa kalian semua. Aku akan menunjukkan pada kalian, jika aku memang robot yang nggak bisa merasakan apa pun. Aku nggak perlu keluarga ataupun cinta. Hari ini, aku telah kehilangan itu semua.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD