Aku yang Kehilangan Segalanya

1471 Words
Kau tahu, hidup itu penuh dengan kejutan. Takdir yang penuh misteri itu pelit berbagi tentang rencana maupun kejutan yang dipersiapkannya. Tahu-tahu, kau harus menerima apa yang dipersiapkannya untukmu. Ia tak ‘kan mempedulikan kesiapanmu. Yang dilakukannya adalah memaksamu menerima kenyataan yang telah ditakdirkan untukmu. Kaila menggeleng-geleng. Hatinya hancur mendengarkan apa yang Kiran katakan barusan. Bodoh sekali saat Kaila berpikir, Kiran yang sudah dewasa akan mencoba mengerti akan apa yang terjadi dan memaafkannya. Kaila tak menyangka, jika dirinya harus kehilangan satu-satunya adik yang ia miliki. Tidak, ia tidak ingin semuanya menjadi seperti ini. Air mata wanita itu mengalir semakin deras. Wanita yang tengah hamil besar itu berlutut dan memeluk erat kaki Kiran, memohon ampun atas dosa-dosanya. “Maafin kakak, Dek. Tapi kakak nggak berbohong kalau semua ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Ada penjelasan atas semua yang terjadi. Kakak tahu kalau Kakak telah berdosa karena merebut pria yang kamu cintai,” wanita itu terisak pilu. Kiran tersenyum tipis. Bukan hanya merebut, namun menghancurkan dunianya. Mengapa mereka semua tega membohonginya? Bersikap seakan malaikat kala mereka berhubungan jarak jauh, seakan-akan tak ada yang berubah. Namun, kenyataan yang harus dihadapi Kiran membuatnya tak mau lagi melanjutkan hidupnya karena luka yang mendera hati. Thomas mencengkram lengan Kaila dan meminta wanita itu untuk berdiri, sedang Kiran menunjukkan wajah datar dan tak peduli pada apa pun lagi. “Berdirilah, Kaila. Kamu lagi hamil dan nggak seharusnya berlutut seperti ini,” Thomas hendak membantu Kaila berdiri, namun wanita itu menggeleng, menolak permintaan ayah mereka. Ardo yang hendak maju dan membujuk Kaila dicegah oleh Leta. Wanita itu tersenyum dan menggeleng, memberi kode agar tak ikut campur dan membuat kedua putrinya kembali bertengkar. Tak ada yang bisa Ardo lakukan. Pria itu hanya akan memperburuk hubungan keduanya jika ia membantu Kaila. Pada akhirnya, Ardo hanya bisa menarik rambutnya dengan gusar menatap pemandangan di hadapannya itu. Ia tahu, jika dirinya telah berdosa pada Kiran. “Kamu nggak perlu memohon ampun padaku, Kak. Gelas yang telah jatuh dan pecah, nggak akan pernah bisa kau perbaiki lagi. Semuanya sudah berakhir dan aku nggak bisa lagi melanjutkan hidupku sebagai salah satu bagian dari kalian semua,” Kiran mengigit bibirnya kuat-kuat, ia tak boleh terlihat lemah agar tak ada seorang pun yang berani mengkhinatinya separah ini. Ia tak boleh menangis, meski hatinya hancur lebur. “Kamu bukanlah kakak yang dulu selalu membela dan menyayangiku, meski mama dan papa selalu mendahulukanmu dalam segala hal. Mama dan papa pun nggak bisa lagi kusebut orang tua karena mereka yang berat ke satu pihak. Pacar yang kupercayai dan sangat kucintai turut ikut mengkhianatiku,” Kiran tersenyum miring, “Dengan semua yang terjadi. Haruskah aku tetap tinggal di dalam neraka ini?” Tangis Kaila semakin menjadi-jadi. Dirinya merasa sangat hancur mendengarkan perkataan Kiran. Bukan hanya Kaila, kedua orang tua Kiran pun merasakan kehancuran yang sama. Begitu juga dengan Ardo yang hanya bisa mengepalkan tangannya erat-erat. “Sudah setahun semua pengkhinatan ini kalian lakukan dan nggak ada sedikitpun niat memberitahuku sebelum aku pulang,” Kiran tertawa renyah, “Setidaknya, aku bisa mempersiapkan hati dan nggak begitu terkejut. Untuk apa aku tetap berada di sini, jika dalam hari penting pun, aku nggak diharapkan hadir,” hati Kiran begitu perih. Tubuhnya kembali bergetar hebat, dengan sisa tenaga ia menahan agar tubuhnya tak tumbang di sana. “Kakak sudah mau memberitahumu, Kiran. Namun karena satu dua hal, Kakak nggak bisa, Kiran,” Kaila terisak pilu. Ia mengeratkan pelukannya pada kaki Kiran. Kiran membungkuk dan berusaha melepaskan pelukan wanita itu pada kakinya, lalu ia berjongkok di hadapan Kaila. Menatap meneliti wajah wanita yang selama ini selalu mendukung dan menyayanginya. Mencari tahu, mengapa bisa wanita yang selalu menjadi sandarannya itu mampu membunuh hatinya sekeji ini? Apa dosa Kiran, hingga wanita itu menyiksanya separah ini? Bukankah Kiran selalu menjadi adik yang baik dengan mengikuti semua permintaan orang tua mereka. Kiran tahu jika tubuh kakaknya itu lemah, hingga Kiran mengalah dalam segala hal. Namun mengapa ia harus mengalah juga dalam soal percintaan? Tak pantaskah ia merasa bahagia, hingga wanita itu merenggut satu-satunya alasannya untuk merasa gembira? “Nggak perlu menangis lagi karena kamu yang menghancurkan apa yang ada di antara kita. Aku pikir, nggak akan ada hal yang mampu memutuskan hubungan darah, namun kini aku tahu, ada beberapa hal yang memang nggak akan bisa kembali seperti semula,” Kiran tersenyum lirih. Dirinya hancur berkeping-keping. Hatinya telah mati, keluarga dan orang yang dicintainya lah pembunuh hatinya. Miris, bagaimana kepercayaan dihancurkan dengan mudahnya. Kiran mendorong pelan pundak Kaila, menjauhkan tubuh wanita itu darinya, lalu kembali berdiri dan hendak menggeret kopernya lagi. Kali ini, Leta menghentikan langkah Kiran, membuat wanita itu kembali membalik tubuh ke belakang punggungnya. Wanita paruh baya itu menangis, akan tetapi tangisan yang dulu mampu membuat Kiran cemas, kini tak mampu membuatnya merasa demikian. Kiran tak lagi tahu mana yang nyata dan mana semu. Mungkin benar, dirinya hanyalah anak angkat, hingga tak ada yang mencintainya dengan tulus. “Kiran … dengerin Mama,” wanita itu mencengkram kedua lengan Kiran dan menatap Kiran penuh permohonan, “Mama dan Papa nggak pernah membeda-bedakan kalian. Mama menyayangimu, Kiran. Kamu akan selamanya menjadi anak kami. Hubungan darah nggak bisa diputuskan, Nak. Jangan seperti ini, Sayang,” wanita paruh baya itu menangis sesegukan. Namun sayang, hati Kiran tak bisa lagi tersentuh dengan semua yang palsu. Terlalu sakit bathinnya, hingga ia tak mampu merasakan hal lain, kecuali pedih yang mencekik lehernya. “Aku tahu, Ma,” Kiran tersenyum miring, “Mama pasti mau bilang kalau tubuh kakak itu lemah. Aku lebih kuat dari kakak dan aku harus lagi-lagi mengalah padanya. Mama nggak perlu menjelaskan apa pun. Nggak ada apa pun yang bisa kalian lakukan. Jika kalian nggak berniat melukaiku, maka sejak awal kalian nggak melakukan kegilaan ini,” Kiran melanggar janjinya, ia ikut menangis karena perih hatinya begitu menyiksa. “Jika memang nggak pilih kasih, maka mama akan menentang pernikahan mereka. Bukan menyembunyikannya dariku selama satu tahun, Ma. Sampai Kak Kaila hamil,” Kiran mengadahkan pandangan dan berusaha menghentikan tangisnya, “Mama tahu, aku nggak mau jadi kuat, jika kuat berarti harus membunuh hatiku sendiri. Aku nggak sekuat yang Mama pikir. Aku lebih lincah dan pintar berteman, bukan berarti aku lebih kuat dari Kak Kaila, hingga aku yang harus selalu mengalah dan dikorbankan. Aku juga anak mama, anak kalian!” “Nggak, Kiran …. Nggak sayang …” Leta meraung dan memeluk Kiran erat-erat. Ia tak ingin kehilangan putrinya. Cinta yang ia miliki sama rata, namun tak menyangka apa yang dilakukannya selama ini, membuat Kiran merasa jika cintanya berat sebelah. “Kiran … maafin Mama. Mama memang salah, tapi keadaan hari ini nggak lagi bisa dicegah, Kiran … kakakmu …” Kiran melepaskan pelukan mereka. “Seperti yang kubilang. Aku nggak mau mendengarkan penjelasan apa pun. Anggap aja, aku sudah mati dan kalian hanya mempunyai satu anak. Kalian pasti sangat bahagia dan aku harap, selamanya seperti itu,” ucap Kiran sarkastis, “Aku rasa, lebih baik aku hidup sendiri di dunia ini. Toh, semua yang kalian berikan hanyalah kepalsuan semata. Makasih karena telah membesarkanku. Suatu saat nanti, aku akan membalasnya agar nggak berhutang budi lagi.” Tangis Leta semakin menjadi-jadi. Thomas tak sanggup melihat istrinya yang harus menghadapi kebencian anaknya. Ia berjalan ke arah Leta dan memeluk wanita itu erat-erat. “Kiran … hentikan semua ini. Ada beberapa hal yang memang nggak bisa kita hindari dan peristiwa ini salah satunya, Kiran. Kami semua hanya memikirkan kebaikanmu. Kami nggak mau menyakitkimu dan karena itu kami membohongimu.” Kira tersenyum sinis. “Justru kebohongan kalian lah yang menyakitiku,” Kiran melirik pada Kaila yang sudah duduk lemas di lantai dan juga Ardo yang berdiri di belakang wanita  itu. Tak berani bergerak ataupun berucap, terlihat bagai seorang pengecut yang mengenaskan. Dipandangi satu per satu wajah orang-orang yang ada di ruangan itu. Dalam sekejap, semua wajah itu terasa asing. Kiran telah kehilangan segalanya, kini dengan apa dirinya harus melanjutkan hidupnya? Ia tak memiliki cinta maupun keluarga. Semuanya hampa. “Maaf, tapi hatiku nggak akan bisa kembali sembuh hanya dengan penjelasan, air mata, ataupun permohonan maaf kalian. Pada akhirnya, aku hanyalah manusia biasa.” “Kiraaaannn …” Leta meraung, melepaskan dirinya dari dekapan suaminya dan mencengkram pergelangan tangan Kiran, “Jangan seperti ini, Nak. Maafin kami, kamu nggak boleh pergi begitu saja,” lanjut Leta menangis. Ia tak mau Kiran pergi seperti ini. “Aku sakit, Ma. Rasanya sakit banget sampe mau mati,” ucap Kiran dengan suara bergetar, air matanya mengalir semakin deras, “Tampaknya penilaian kalian salah. Aku nggak kuat sama sekali,” Kiran terisak. Leta menggeleng-geleng. “Jangan begitu, Kiran. Jangan, Sayang,” tiba-tiba d**a wanita itu menjadi sesak dan pandangannya mengabur. Sedetik kemudian ia kehilangan seluruh kesadarannya. Yang terakhir Leta dengan adalah teriakan anak dan suaminya, namun tidak dengan suara Kiran. Tatapan mata dingin wanita itu lah yang terakhir kali ditangkap oleh netra Leta. Ibu mana yang hatinya tak ikut patah saat melihat anaknya menderita?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD