Orang Baik yang Tersakiti

1104 Words
Orang baik akan muak melakukan kebaikan begitu dilukai secara terus-menerus. Hati yang dulu dipenuhi cinta pun bisa dengan mudah dikuasai kebencian, bila disakiti dengan begitu dalam. Pada intinya, orang jahat diciptakan dari orang baik yang disakiti. Orang baik pada akhirnya akan menyerah melakukan kebaikan bila yang mereka terima hanya lah luka dan air mata. Jangan menyalahkan mereka yang memilih menjadi jahat karena hati memang terlalu lemah. Kau bisa gila bila terus memaksa untuk menjadi kuat. Semua orang sibuk membantu Leta yang terkulai lemah, berteriak cemas, dan memindahkan wanita itu ke mobil untuk dibawa ke rumah sakit. Sedang Kiran hanya mengamati semua itu dengan wajar datar. Dirinya menganggap seperti tengah menonton drama tak berujung. Kini, tak ada satupun yang bisa dipercayainya. Semua orang hanya menipu dan memanfaatkannya. Tak ada ketulusan di dalam dunianya dan Kiran sudah belajar banyak dari pengalaman. Kejutan yang diterimanya hari ini membuatnya sadar bila tak ada yang menginginkannya di rumah ini. Dirinya sebatang kara. Kini, ia harus mengandalkan dirinya sendiri. "Pa ... biarkan Kaila ikut mengantar mama," Ucap Kaila sembari mencengkram pergelangan tangan ayahnya. Menatap pria itu dengan tatapan penuh permohonan. Ia berharap, ayahnya membiarkannya pergi agar ia bisa kembali tenang. Ia tak mungkin bisa tetap di rumah dengan perasaan tidak tenang. "Lebih baik kamu di rumah saja. Papa nggak mau sesuatu terjadi pada bayimu. Tetaplah di sini dan biarkan papa yang mengurus mama. Kamu bisa menyusul nanti bersama Ardo." Kaila tak lagi mau memaksa dan membuat ibunya semakin bahaya bila tak langsung ditangani. Pada akhirnya, Kaila melepaskan cengkraman tangannya pada pergelangan tangan ayahnya dan mengangguk. Ia mengantarkan Ardo dan ayahnya hingga ke depan pintu, kemudian menunggu hingga keduanya menghilang dari pandangannya. Kaila hanya bisa berdoa agar ibunya baik-baik saja. Ia hanya ingin semuanya baik-baik sajam Semua ini memang salahnya. Andai saja ia tak membuat banyak kekacauan, maka tak ada orang yang harus tersakiti dan ibunya tak 'kan mungkin jatuh sakit. Kiran tertawa masam dan semakin muak melihat pemandangan yang menyakitkan matanya itu. Dirinya selalu menjadi bayangan yang tak terlihat. Tak dipedulikan dan tak oerlu dikhawatirkan. Mereka semua menganggapnya robot dan begitulah ia diperlakukan. Miris. Kiran memutar bola matanya dengan jengah, tanpa merasa iba atas kemalangan yang menimpah ibunya, wanita itu kembali menggeret kopernya. Kiran tak lagi memperdulikan semua yang terjadi di rumah itu. Dirinya telah dibuang dan harus mencari cara untuk bangkit kembali. Kaila yang melihat Kiran kembali menarik kopernya segera berjalan mendekat dan mencengkram pergelangan tangan adiknya. "Kiran ... kakak mohon jangan seperti ini. Kita akan membicarakan semuanya nanti. Jangan pergi begitu saja, Kiran. Kasih kakak kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahan kakak," Wanita itu menatap Kiran penuh permohonan. Berharap adiknya itu mau mengerti. Setidaknya, tunggu sampai ibu mereka sembuh agar kesalahpahaman di antara mereka tak bertumbuh makin besar. Kiran melepaskan cengkraman tangan wanita itu dari pergelangan tangannya, lalu menatap kakaknya dengan dingin. Ia merasa begitu jijik dengan sikap Kaila yang ingin dimengerti. Mengapa semua orang selalu ingin dimengert saat tak ada satupun yang mengerti dirinya? Mengapa selalu dirinya yang berkorban? Jika ia harus mengiba pada semua orang, tak bisakah orang-orang itu melakukan hal yang sama untuknya? Bukankah dia sama-sama manusia yang punya hati dan perlu untuk dijaga perasaannya? Mengapa semua orang boleh bersikap egois, sedang dirinya tak boleh melakukan hal itu? Sungguh tak masuk akal. "Nggak ada yang perlu diperbaiki ataupun dijelaskan lagi. Semuanya sudah berakhir, begitu pun dengan hubungan di antara kita. Jangan harap kamu bisa memperbaiki gelas yang telah pecah dan hancur berkeping-keping." Kaila semakin takut mendengarkan perkataan Kiran. Ia menggeleng-geleng dan segera memeluk Kiran dengan erat. Ia tak ingin melepaskan wanita itu dan membiarkannya pergi begitu saja. Ia tak boleh membiarkan Kiran pergi dengan kondisi hati yang begitu kacau. Kaila tahu jika kesalahannya teramat sulit dimaafkan, namun yang ia inginkan hanya sebuah kesempatan. Setidaknya Kiran mengerti apa yang terjadi. Memang dirinya tak mungkin bisa mengulang waktu dan memperbaiki semua yang ada di antara mereka, namun dirinya hanya ingin mencoba. ? "Jangan lakukan ini untuk kakak, melainkan untuk mama. Jangan membiarkannya semakin khawatir saat ga menemukan mu di rumah. Kakak mohon janga biarkan mama menanggung semua kesalahan yang kakak buat," Air mata wanita itu berderai deras. Hatinya begitu perih. Ia akan mengemis dan memohon ampun ribuan kali bila hal itu bisa membuat Kiran memaafkannya. Ia akan melakukan apa pun untuk menghibur hati yang telah ia sakiti. "Dia ibumu, bukan ibuku dan harusnya kamu yang sibuk mengkhawatirkannya. Kenapa malah mengajakku untuk ikut-ikutan menanggung kesusahanmu," Kiran tersenyum miring, menatap Si wanita dengan tatapan merendahkan. Wanita itu harus tahu, bila tak semua orang baik yang disakiti bisa tetap menjaga kebaikan mereka. Bukan hanya mereka yang bisa bersikap kejam padanya, ia pun bisa melakukan hal yang sama. "Jangan bicara seperti itu, Kiran. Mama menyayangimu dan kamu nggak boleh beranggapan kalau dia nggak terluka melihatmu seperti ini. Jangan membuatnya semakin tersiksa. Kakak mohon tinggallah sampai mama sembuh dan kakak yang akan keluar dari rumah ini. Kakak nggak akan lagi muncuk di hadapanmu jika itu yang kamu inginkan." Kiran tersenyum miring, lalu tawa dinginnya pecah. "Kenapa kamu nggak pergi mati saja sekalian biar aku senang?" Tatapan mata datar Kiran membuat Kaila terpaku sesaat. Perkataan wanita itu menghancurkan sanubarinya, namun Kaila tak mungkin bisa membelas diri. Semua ini memang salahnya dan dirinya pantas dibenci seperti ini. Mungkin memang kematian adalah hal yang cocok untuk dirinya. "Jangan katakan itu, Dek. Kakak mohon lakukan untuk mama," Wanita itu tak mengenal kata menyerah, meski kata-kata Kiran begiru menusuk sanubarinya, membuat hatinya disiksa oleh rasa perih yang tak mau pergi. Wanita itu menguatkan dirinya untuk membuat Kiran tetap tinggal. Tak mengapa bila harus membunuh kalbunya sendiri agar Kiran bisa merasa tenang. Tak mengapa terluka karena luka yang disebabkannya pada hati Kiran jauh lebih mengerikan. Kiran tak lagi ingin berdebat. Hal yang paling ingin dilakukannya adalah pergi dari hadapan wanita itu dan berlari dari semua kenyataan pahit yang menghancurkannya. Ia ingin segera pergi dari mimpi buruk itu. Berharap saat esok membuka mata, ia melupakan semua kejadian mengerikan ini. Berharap apa yang terjadi sekarang hanya sekadar ilusi semata. Kiran menarik kopernya, lalu menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh ke arah Kaila, wanita itu berkata. "Aku melakukan semua ini bukan untukmu ataupun untuk mama, melainkan untuk diriku sendiri, jadi jangan salah paham. Aku nggak akan pernah memaafkan kalian." Wanita itu melanjutkan langkahnya tanpa menunggu respon dari Kaila. Sedang Kaila tersenyum dengan air mata yang mengalir semakin deras. Berulang kali ia mengucapkan kata syukur di dalam hatinya. Setidaknya, wanita itu mau menunggu sampai ibu mereka sehat kembali. Tak mengapa bila dirinya harus menerima sikap dingin Kiran dan diperlakukan dengan kejam selama Kiran masih mau tinggal di rumah itu. Ia harap, akan ada saat di mana hati wanita itu sembuh dan mau memaafkan dosa besarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD