"Lia sama Langit aja yang jadi pengantin!" tunjuk Dina.
"Ih, kenapa setiap aku jadi pengantin pasangannya teh harus sama si Langit? Enggak Doni, Fariz, atau Andi," protesku.
"Doni pasangannya Dina, Faris sama Widya, Andi sama aku," terang Lulu. "Nah, tinggal kamu sama Langit."
"Ih, atuh da si Langit mah jelek! Hitam, kurus, kayak tiang listrik," ejekku.
Sedang anak lelaki yang memakai celana coklat dan kemeja putih kumal itu hanya terdiam dengan kepala tertunduk. Saat itu umurku masih delapan tahun. Betapa bencinya aku pada sosok Langit. Anak lelaki yang memiliki nama indah, tapi tak sebanding dengan wajah dan penampilannya.
***
"Sil. Silia ... eh, Priscillia!"
Aku terhenyak. "Apa?"
"Ngelamun terus. Udah mau jam lima sore. Pulang aja, yuk! Pak Bowo juga pasti udah pulang," ucap Amel.
"Pak Amin?"
"Tuh, dia juga lagi beres-beres," tunjuknya.
Aku ikut menoleh ke arah telunjuknya, di mana ada seorang lelaki paruh baya sedang membereskan peralatan kebun. "Gita?" ujarku lagi.
"Ngapain ngurusin si Gita. Dia tuh lagi beraksi buat deketin senior." Amel mengambil gunting tanaman di kedua tanganku. Punyaku dan punya Gita. "Gue simpen ini dulu. Cuci tangan sana," perintahnya kemudian.
Aku memalingkan wajah dari tontonan. Pertunjukan Gita yang tampaknya masih gigih untuk meminta maaf pada Langit. Sayangnya, laki-laki itu seakan mengabaikan keberadaan Gita. Bahkan dia tetap berjalan menuju arah parkiran motor. "Pasti cuma kebetulan sama aja namanya. Si Langit 'kan enggak gitu," gumamku.
Ah, sudahlah. Untuk apa terlarut dalam hal yang tidak pasti. Aku segera mencuci tangan di sebuah keran air yang letaknya tak jauh dari tempatku berdiri. Amel pun datang dan ikut mencuci tangannya. Setelah merasa bersih, kami memutuskan untuk pulang.
Sesampainya di parkiran, aku membuka resleting tas. Mencari kunci motor.
"Lo bisa berhenti ngikutin gue enggak, sih?!"
Seketika pandanganku teralihkan karena teriakan itu.
"Tapi Kakak belum maafin aku." Gita merapatkan kedua tangannya di depan d**a. Dia masih berkata dengan nada rendah meski Langit sudah membentaknya.
"Trus mau lo apa?" tanya lelaki di samping langit.
"Itu siapa?" Aku bertanya pada Amel.
"Itu Braga."
"Oh, yang sebelahnya?"
"Tadi 'kan udah dibilangin namanya Jimmy," sahut Amel kesal.
"Oh, iya, iya. Sorry, lupa." Aku menganggukkan kepala beberapa kali.
"Aku bakal lakuin apa aja asal Kak Langit maafin aku." Amel menurunkan tubuhnya. Menekuk kedua lutut di atas paving blok parkiran.
Langit tak mengacuhkan permohonan Gita. Tanpa mempedulikan gadis itu, dia naik ke atas motor besarnya. Begitu juga kedua temannya. Sempat Gita berteriak memanggil nama Langit dua kali. Membuatku merasa iba.
"Kenapa, Sil?" Amel menepuk pundakku.
"Kasian banget sih, si Gita," lirihku.
"Buat apa kasihan sama dia? Jelas-jelas kita yang jadi korban. Gara-gara dia kita jadi pulang telat. Dia yang bikin onar, kita yang kena hukuman. Udah, ayok pulang. Pengen cepet mandi gue."
Aku pun naik ke atas skuter matik warna putihku. Melajukannya setelah Amel duduk di belakang. Sempat aku melihat Gita yang berdiri kembali, menepuk-nepuk rok kain hitamnya. Namun, peringatan Amel lagi-lagi membuatku harus fokus ke arah jalanan di depan.
.
Malam merangkak kian pekat. Aku masih asyik dengan laptop di atas pangkuan. Melanjutkan menonton drama Korea kemarin malam. Ketukan pintu tiga kali membuatku berhasil mengalihkan perhatian.
"Ya masuk," sahutku.
Pintu pun terbuka. Ternyata itu Bunda. Dia hanya berdiri di ambang pintu. "Belum tidur?"
"Sebentar lagi, Bun. Tanggung," sahutku. Kemudian kembali mengarahkan bola mata pada layar laptop.
"Besok masih ospek?"
"Mm, terakhir."
Terdengar decakan dari perempuan berusia empat puluh tiga tahun itu. Sudah tidak aneh. Abaikan. Mari kita lanjutkan acara menonton. Namun, entah kenapa ketika melihat kembali drama di depanku, yang menampilkan aktor Korea tampan Cha Eun Woo, aku teringat seseorang.
"Eh, Bunda. Sebentar," cegahku ketika dia akan menutup pintu.
"Kenapa?" Kepalanya menoleh.
Kusimpan laptop segera di samping paha, kemudian beranjak menghampirinya. Menarik tangan Bunda agar duduk di tepian ranjang bersamaku.
"Kalau udah gini, pasti lagi ada maunya, deh," sindir Bunda.
Aku meringis. "Sisil cuma mau tanya sesuatu, kok. Bukan minta apa-apa." Kugerakkan tangan kanan sebagai isyarat.
"Tanya apa?" Bunda pun memasang wajah seriusnya.
"Bunda inget enggak, sama ... Langit?"
Kedua mata perempuan itu menyipit. "Langit?"
"Iya, si Langit cucunya Nek Ratmi." Aku berusaha mengingatkan. "Dulu, waktu kita masih di kampung, tetangga depan rumah kita namanya Nek Ratmi, 'kan? Terus dia punya cucu, anak cowok yang umurnya cuma beda dua tahun sama aku. Namanya Langit, tapi ... sayang Sisil enggak pernah tau nama panjangnya. Siapa, ya?" Kupegang dagu, menunjukkan ekspresi berpikir.
"Buat apa nanyain dia?" tanya Bunda dengan nada tak suka.
Aku tertegun. "Mm, enggak apa-apa, sih. Cuma ... tiba-tiba aja Sisil inget sama dia."
Bunda menunjukkan wajah curiganya.
"Di kampus ada senior, namanya Langit. Tapi orangnya ganteng, Bunda. Enggak kayak Langit cucunya Nek Ratmi. Item, dekil, kurus, rambut merah kepanasan. Ih, pokoknya jauh beda, deh!" Aku bergidik membayangkan bocah itu.
Bunda mengembuskan napas. "Jadi kamu pikir senior kamu itu Langit cucunya Nek Ratmi?"
Kali ini aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali. "Tapi, sikapnya juga beda, Bunda. Si Langit Kelam--"
"Langit Kelam?"
"Iya, dulu saking jeleknya Sisil suka panggil Langit cucu Nek Ratmi dengan sebutan Langit Kelam. Dia mah pendiem, culun, norak pokoknya. Nah, kalo Langit senior Sisil, orangnya judes, sombong, angkuh, besar kepala, apalagi, ya. Oh, adigung, Bunda. Pokona mah belagu wae lah."
"Terus kalau kamu enggak yakin itu Langit yang sama, kenapa harus tanya Bunda?"
Aku terdiam sesaat. "Enggak kenapa-napa. Sisil cuma inget sama Langit di kampung. Dulu, Sisil 'kan suka jahatin dia. Bunda tau enggak, dia pindah ke mana?"
"Bunda enggak tau. Lagian semenjak kematian Nek Farida, kita udah enggak pernah ke kampung lagi. Mana Bunda tau kabar dia," sahut Bunda.
"Tapi kalau enggak salah, waktu ada Mang Dikdik ke sini, dia pernah cerita kalau semenjak Nek Ratmi meninggal, Langit ikut sama Mamanya. Bunda sama Mamanya Langit temenan, 'kan? Masa enggak tau Mamanya Langit tinggal di mana?"
"Kamu panggil Bunda cuma mau tau di mana rumah Mamanya Langit?" tukas Bunda.
Aku tersenyum, memperlihatkan deretan gigi. Kemudian memberi anggukan kepala.
"Bunda enggak tau, dan enggak pernah mau tau. Sekali lagi kamu tanyain soal Langit sama Bunda, Bunda bakal marah sama kamu. Inget itu." Bunda pun berdiri, keluar dari kamarku dengan wajah masam.
Heh, Bunda kenapa? Padahal pertanyaanku 'kan sederhana.
"Kenapa, Bun?" Terdengar suara Ayah.
Aku segera berdiri, keluar dari kamar. "Yah! Ayah!" panggilku di anak tangga.
"Bunda." Ayah yang hendak menyusul Bunda ke kamar memilih berputar ke arahku. "Kamu belum tidur, Sil? Itu Bunda kenapa keluar dari kamar kamu jadi cemberut gitu? Minta apalagi kamu sama Bunda?" cerocosnya tanpa jeda.
Auh, apa selama ini aku dikenal sebagai anak yang banyak maunya?
"Sisil," tegur Ayah.
"Sisil cuma tanya, anaknya Nek Ratmi tinggal di mana?" jelasku to the point.
"Maksud kamu ... Kamila?"
"Kamila?" Aku menautkan alis. "Jadi ibunya si Langit namanya Kamila. Kenapa Sisil sampe lupa?"
"Langit?" Kali ini Ayah yang menautkan kedua alisnya.
"Iya, Langit cucunya Nek Ratmi. Tetangga depan rumah waktu kita masih di kampung."
Raut wajah Ayah berubah drastis. Tegang, seperti baru saja mendengar berita perampokan atau pembunuhan. "Kamu ... tanya itu sama Bunda?" tanya Ayah dengan intonasi berat.
Aku menganggukkan kepala.
"Ya Allah, Sisil." Ayah mengusap wajahnya. Kemudian berbalik, melangkah lebar menuju kamar. "Bunda!"
Aku meluruhkan bahu. Ada apa dengan orang tuaku?
***
"Sisil!" Amel berlari menghampiri, ketika aku menghentikan motor.
"Annyeonghaseyo, Amel!" sapaku setelah kami saling berhadapan.
"Annyeong," sahut Amel. Kami pun bercipika-cipiki seperti biasa. "Ayo, ke aula!" ajaknya, menggandeng tangan kananku.
Ah, ya. Amel ini juga teman SMA-ku. Kami bahkan satu kelas selama tiga tahun berturut-turut. Beruntungnya sekarang pun kami memilih jurusan dan prodi yang sama, hingga persahabatan ini bisa tetap berlanjut.
"Pengen cepet besok, biar bebas dari masa jajahan," ucapku.
"Jangan, dong. Masih pengen ospek, kalo bisa seminggu lagi. Biar bisa lihat Kak Arfan terus," ucap Amel.
"Dih, cowok galak gitu," gerutuku.
"Doi tuh sebenernya baik. Lo-nya aja yang cari masalah terus. Enggak pernah fokus dengerin dosen atau Mr. Presiden lagi ngomong."
"Mr. Presiden? Si Arfan itu?" ejekku.
"Iya. Cowok ter-cool di kampus ini," puji Amel dengan wajah berseri-seri.
"Terus, kenapa si Gita enggak deketin Kak Arfan, malah deketin cowok itu?" tunjukku ke satu arah.
Amel ikut memutar kepala. Di bawah pohon beringin, Gita lagi-lagi sedang meminta maaf pada Langit. Memang suaranya tidak terdengar, tapi bisa terlihat dari ekspresi Gita yang sepertinya sedang memohon.
"Udah, ah. Enggak usah kepoin urusan dia. Eneuk gue lihatin tingkah dia. Belum cukup apa tiga tahun kita satu sekolah sama dia, eh ... sekarang masih harus satu kampus. Ayo, ke aula. Awas, jangan tidur lagi." Amel menarik lenganku.
.
Pukul dua belas para maba dipersilakan untuk isoma, alias istirahat, solat dan makan. Selepas dari mushola, aku dan Amel pun pergi ke kantin.
"Makan apa?" tanya Amel.
"Mie ayam aja, gimana?"
"Oke," sahut Amel.
Setelah berhasil mendapatkan dua mangkuk mie ayam, aku dan Amel mencari meja kosong. Sayangnya, semua bangku sudah penuh.
"Nah, tuh mereka pergi," tunjuk Amel.
"Oh, iya. Ayo," ajakku.
Dua langkah lagi menuju kursi, tiba-tiba dari arah lain Gita datang membawa mangkuk dan gelas di tangannya. "Siapa cepat, dia dapat," ucapnya santai. Lalu duduk sambil menyimpan makanan dan minumannya, melepas tas dan meletakkan di kursi sampingnya yang juga memang kosong.
"Eh, apaan ini. Kita duluan yang lihat!" seru Amel.
"Oya? Tapi 'kan gue duluan yang duduk," sanggah Gita.
Aku memutar bola mata kesal. "Emang dasar cewek rese," rutukku.
"Biarin, yang penting bisa duduk." Kemudian Gita menjulurkan lidah.
"Sil, meja itu kosong. Percuma kita ladenin si Gigi Taring," ucap Amel. "Ayo," ajaknya.
Aku pun mengangguk. Mengikuti langkahnya ke meja lain yang baru saja ditinggalkan dua orang mahasiswi. Karena sudah tidak kuat menahan gejolak lapar, membuatku malas beradu debat dengan Gita. Aku dan Amel pun menyantap makan siang kami.
"Minggir."
Aku menoleh. Rupanya Braja sedang mengusir Gita dari kursinya. Kuraih gelas berisi teh manis dingin. "Mel," panggilku pelan. Menggerakkan kepala sebagai isyarat setelah Amel mengangkat wajahnya.
Amel pun memalingkan wajah. "Rasain. Kualat dia," bisik Amel.
Kuteguk isi gelas. Melanjutkan memakan mie ayam kembali.
"Silakan, Kak. Kursinya kosong, kok," ujar Gita.
Kursi di depan Gita memang kosong, di sampingnya juga. Penghuni sebelumnya sudah pergi beberapa menit lalu.
"Jadi, lo mau kita duduk di sini, sama elo. Gitu?" Jimmy duduk di atas meja. Membuat Amel memundurkan kepalanya.
"Kak Langit masih marah sama aku?" tanya Gita.
Lelaki yang dimaksud hanya memalingkan wajah ke arah lain seraya melipat tangan di d**a.
"Aku bakalan lakuin apa aja asal Kakak maafin aku." Gita bangkit dari duduknya, lalu melangkah, berdiri tepat di depan Langit.
Aku menelan makanan dalam mulut, memperhatikan tingkah dua makhluk itu. Tentunya dengan cara mencuri pandang.
"Apa pun?" Langit berkata datar.
"Iya. Apa pun. Asal Kak Langit maafin aku," jawab Gita.
Sumpah demi Alexis, kucing Persia yang sudah aku pelihara selama dua tahun. Ini pertama kalinya aku melihat Gita begitu pasrah di hadapan seorang laki-laki. Selama tiga tahun mengenalnya, yang selalu aku lihat adalah Gita perempuan yang pandai menjaga harga diri di depan makhluk berjenis kelamin lelaki. Termasuk ketika dia menyatakan cinta pada Anggara, lelaki incarannya yang ternyata lebih memilihku dibanding dia. Eheum. Gita selalu bisa menunjukkan sikap 'sok berharga'nya. Namun, imbasnya dia menjadikanku musuh setelah itu.
"Mel," panggilku pada perempuan yang tetap fokus pada makanannya.
"Hm?" sahutnya tanpa menatapku.
"Kira-kira, Langit bakal apain si Gita?"
"Palingan disiram lagi sama sirup jeruk," jawabnya.
Aku menatap seksama minuman milik Gita. Sirup jeruk?
Kedua mataku melebar, kala melihat Langit yang meraih gelas itu. Benar tebakan Amel. "Hebat lo, Mel," bisikku.
Amel menoleh ke arah Gita. "Padahal gue cuma ngasal," ucapnya pelan.
Langit mengangkat gelas itu, membuat kedua mata Gita terpejam. Gelas itu sudah miring, isinya bahkan sudah menetes-netes mengenai rambut Gita. Akan tetapi, Langit menurunkannya lagi. "Siram sendiri," ucapnya. Menyodorkan gelas itu ke depan wajah Gita.
What?
*****
--bersambung--