Putusin Dia!

1868 Words
“Nggak harus lo dobrak pintu rumah orang, kamar orang!” “Nggak harus lo mengganggu gue terus! Gue risih!” Kedua tangan Natta mengepal erat, seraya berjalan di belakang seorang pria yang melengos begitu saja setelah membuat keributan di apartemen sahabatnya. “Lo juga nggak seharusnya mencekik pacar gue! Kalau dua mati gimana?” seru Natta. Natta sudah penuh emosi karena pria itu selalu membuat ulah dan ini sudah kesembilan kalinya pria tanpa dosa itu berjalan menuju lift. Wajahnya masih saja tetap tenang, santai dan sama sekali tak terusik dengan teriakannya yang melengking. Jujur, Natta bingung sendiri. Kenapa pria itu selalu tau di mana ia berada, sedang apa. Bersama siapa, pria itu selalu tau. Tidak di club, tidak di apartemen sang kekasih, di rumah sahabat-sahabatnya, di hotel berduaan dengan sang kekasih bahkan tadi ia berada di apartemen Jose pun pria itu tau. Benar-benar, keberadaan pria itu sudah seperti hantu bergentayangan di mana-mana. Tapi kenapa harus Natta, itu pertanyaan yang selama tak pernah terjawab. Natta kini membencinya, bahkan murka pada si hantu tampan itu karena pertemuan yang tak di sengaja mereka selalu berujung keributan seperti tadi. Beneran tidak di sengaja? Atau di sengaja? “Apa lo itu nggak ada kerjaan sampai tau kemana gue pergi?” tanya Natta kembali. Sumpah sembilan kali mereka bertemu yang berakhir keributan, pria itu selalu seperti ini. Irit bicara dan juga singkat. Natta masih menatap si lawan bicara, tapi lagi lagi hanya angin yang berhembus sebagai jawaban. Si lawan masih sama seperti sembilan kali pertemuannya. Diam dan membisu. Pria itu terlihat tak terusik dengan semua perkataanya yang keras bahkan marah-marah di depannya. “Sial! Gue seperti bicara sama orang yang nggak waras,” batinnya. Pria itu langsung menoleh menatap Natta tajam. Natta hanya mendengus pelan, dan seperti ini yang ingin Natta dapatkan, pria itu dengan santainya masuk ke dalam lift tanpa menjawab satu pertanyaan saja. “Apa semiskin ini lo terus selalu ada menjadi parasite di keluarga gue!” terik Natta keras di dalam lift. Lama-lama Natta kesal, marah, benci bahkan Natta juga malu sendiri. Si lawan yang selalu membisu selalu memergoki dirinya yang hampir bercinta dengan sang kekaskih. Natta malau karena sembilan kalinya, pria itu melihat tubuhnya. “Astaga. Bisa-bisa gue gila sendiri ngomong sama orang kaya dia. Sumpah yah, gue harus gimana buat bisa bicara sama pria gila itu. Dia bisu atau bagiamana sih?” gerutu Natta dalam hati semakin kesal, tanpa memutuskan kontak mata mereka yang masih bersitatap. Natta mengumpat di dalam hati. Hidupnya kali ini sungguh sial, sangat sial harus menghadapi pria model dia di sampingnya yang kini langsung memalingkan wajahnya. “Sumpah gue pengen mencekik dia.” Kedua tangan Natta maju dengan berarah ke atas untuk mencekik leher si lawan, namun terhenti ketika si lawan kembali menoleh dan menatapnya. Natta membuang napas kasar dan mengumpat di dalam hati kembali. “Sungguh sial gue ketemu sama hantu setampan dia! Apa dia bukan pria normal?” tanya Natta dalam hati masih menilai pria di sampingnya. “Pria normal bila di marahi, di maki, di caci dan di hina akan marah bukan? Melawan karena tidak terima?” Natta menjeda kalimatnya yang hanya bisa tertahan di dalam hati. “Tapi kenapa dia sama sekali tak terusik? Apa lentingan suara keras gue nggak membuat dia sedikit pun emosi? "Kenapa selalu diam saja? Apa dia punya gangguan pendengaran? Apa dia mengalami gangguan kejiwaaan?” Natta kembali mendengus jengah dengan mata yang masih mengamati pria di depannya itu. “Kenapa pembawaanya selalu santai dan tenang sekalipun wajahnya menyeramkan dan juga dingin?” batin Natta geram sendiri. “Tolong Natta, Tuhan. Bagiamana cara bicara dengan dia,” batin Natta kembali. “Sudah puas?” katanya lirih. Natta mengernyit bingung. ‘Sebentar, sudah puas apa maksudnya? Apa dia tau kalau gue lagi ngomongin dia?’ batin Natta. “Katakan sama gue, sebenarnya apa maksud dan tujuan lo terus bergentayangan di mana pun gue berada?” tanya Natta. Si lawan kembali diam, kembali. Kesabaran Natta sudah habis melayani pria bisu di depannya. “Sayang banget sih, pria tampan kaya kamu itu bisu dan tuli hah? Dari tadi gue ngomong nggak lo sahut, sekali sahut lo Cuma panjangan kata lo yang keluar Cuma tiga kalimat!” decak Natta murka. Yang di maki-maki sedari tadi hanya diam menunduk pandangi layar ponselnya. Natta semakin bersungut-sunggut, tak bisa ia sesabar ini menghadapi pria menjengkelkan di depannya ini. “ADAAAAAAAMMM…” “GUE ITU NGOMONG SAMA LO!” teriak Natta tak sanggup lagi semua unek-uneknya di pendam terlalu lama. Amarah Natta sudah meledak, tapi si lawan masih tetap sama santai bahkan tak terusik sekalipun Natta sudah berteriak keras. “Sial! Sial! Sial! Kenapa gue harus bertemu dengan sebangsa Iblis yang berwujud seperti malaikat di depan gue!” batin Natta bergerutu jengah. “Putusin dia!” kata Adam santai. Sontak Natta terkejut, bola matanya membulat menatap Adam penuh tanya. “Ap ague nggak salah denger hah?” teriak Natta lagi dan lagi. Adam menoleh ke samping lalu menatap Natta untuk beberapa detik. Tatapanya masih sama, dingin dan wajahnya selalu terlihat datar. “Apa kamu tuli?” “Haah?” Adam menarik napas pelan dan keluar begitu saja setelah pintu lift berbunyi dan terbuka lebar. Natta masih syok dengan dua kata singkat Adam ‘Putusin Dia’ maksud Adam apa. Natta benar-benar bingung dengan keberadaan Adam yang selalu ada di mana Natta berada. Isi kepalanya pun bergitu banyak pertanyaan demi pertanyaan pada pria aneh sahabat kaka nya itu. Natta menyusul langkah Adam yang sudah lebih dulu keluar dan meninggalkannya sendiri. “Maksud lo apa Dam? Kenapa gue harus putusin Irwin?” Natta menarik lengan Adam agar pria itu berhenti. Natta berhasil, pria itu berhenti. “Katakan sama gue Dam. Apa maksud lo suruh gue putus sama Irwin? Say it Adam?!” teriak Natta. Adam kembali bungkam, mata abu-abu keemasannya hanya menatap Natta. Tapi Natta sendiri tak tau apa arti dari tatapan Adam yang sulit di artikan? Di sini nggak ada Arkana, keponakan yang sama anehnya? Apa Natta harus mencari Arkana hanya untuk tau pria itu bicara apa? “Adam katakan sama gue. Kenapa gue harus putus sama Irwin?” ulang Natta kembali bertanya. Dan lagi lagi hanya angin yang berhembus sebagai jawaban, pria itu tak menjawab dan kembali melanjutkan langkahnya. “Terus lo, tau gue di sini dari mana Dam? Jawab gue. Tolong jangan kaya ginih!” “Gue sungguh bingung, sebenarnya lo itu siapa? Kenapa lo selalu ada di mana-mana. "Kenapa lo selalu tau password apartemen semua sahabat-sahabat gue, kekaskih gue. Bahkan hotel yang gue menginap pun lo selalu tau.” Natta kembali menarik tangan Adam untuk berhenti, pria itu berhenti tapi tak ada balasan apapun. Pria itu kembali membisu membuat Natta semakin geram sendiri pada sikap Adam. Lagi lagi Adam diam, sama sekali tidak tertarik menjawabnya. Sumpah demi apapun, Natta kesal sendiri dan juga bingung sendiri kenapa sahabat kaka nya itu kini sering sekali mendatanginya di tempat yang tidak pas buat Natta yang ingin merasakan surga dunia dan kenikmatan sesaat. Adam dengan santai, membuka pintu mobil tanpa pusing menjawab pertanyaan Natta yang begitu banyak. “Adam…” panggil Natta seraya masuk ke dalam mobil Adam. Sumpah demi apa, amarah Natta sudah membeledak yang sejak tadi di tahan. Tapi ia pun jengah kalau amarahnya tidak tinggapi salam sekali dan malah Natta di abaikan dan di cuekin seperti ini. Adam banyak diam dan sama sekali tak terusik apa lagi tak merasa tuli sejak tadi mendengarkan teriakannya, seolah kedua telinganya itu sudah kebal. Mau di amuk bagaimanapun, di marahi, di caci bagaimana pun. Adam masih tetap sama santai, irit bicara dan dingin. Seperti suaranya itu begitu mahal untuk menjawab pertanyaan. “Apa lo di suruh sama Ka Revano untuk mengawasiku?” Adam bukan menjawab, ia malah menghidupkan mesin mobil dan pergi dari parkiran apartemen Jose sahabat Natta. “Adam please bicarlah jangan diam membisu seperti ini.” “Adam…” teriak Natta keras di sebelah telinganya. Pria itu hanya memberikan pelototan, namun membuat Natta langsung bungkam. Di helaanya napas panjang lalu menghembuskan perlahan. “Gue akan membayar lo tiga kali lipat dari uang yang Ka Revano berikan pada lo. Tapi tolong jangan mengusik kehidupan gue lagi! Enyalah dari hidup gue. Gue bisa jaga diri!” decak Natta tak ingin berdebat lagi. Adam masih tetap sama. Pria itu masih diam dengan mata terfokus pada jalanan. Natta mengambil ponsel Adam yang di letakan di samping laci penyimpanan. Di bukannya ponsel tanpa kata sandi itu. Natta langsung membuat sesuatu aplikasi di sana dan tujuan Natta adalah salah satu akun M-banking Adam untuk mengetahui no Rekeningnya. Di tunjukan pada Adam bukti transaksi pembayarannya ke rekening Adam dengan nilai yang besar. Natta menoleh pada Adam yang masih tetap sama, tak terusik. Pria itu sama sekali tidak terusik sekalipun ponsel pribadinya di pegang. Uang 3 Milyar Natta transfer agar Amda tidak terus mengganggunya lagi. Di tatapnya ponsel Adam yang semua hitam bahkan layar depannya pun tidak ada gambar apapun. Natta semakin penasaran akan siapa yang sering berkomunikasi dengan Adam. Ia pun ingin tau apa Revano yang meminta Adam untuk mengawasinya. Di bukannya What’up nya, tapi di sana hanya dua nama pria. Natta semakin penasaran akan apa yang dibicarakan pria yang irit bicara tersebut. Sayangnya, semua itu berbahsa Italia, Natta tidak mengerti. Tidak cukup dengan akun What’s up. Natta yang tak punya sopan santu pun membuka pesan masuk dan hasilnya kosong. Ia berpindah pada list terakhir yang Adam hubungi. Tapi tidak ada panggilan sama sekali dan hanya ada panggilan keluar. Ada nama ‘LAURA’ itu pun tercatat lima jam yang lalu Adam menghubungi Laura. Natta pikir Adam akan marah karena tanpa izin mengambil ponselnya dan juga melihat privasi di dalamnya. Tapi lagi, lagi NIHIL. Adam masih sama, itu yang membuat Natta aneh, bingung dan juga geram sendiri. Adam sama sekali tidak marah dan itu membuat Natta semakin penasaran pada pria model Adam. Natta menekan gallery foto, namun kedua mata Natta tersentak kaget dan pandangi Adam yang masih tetap dingin dan datar padanya. Benar-benar, Natta tak habis pikir ada pria model Adam di zaman sekarang yang bersikap lebih dingin pada wanita. Gallery di ponsel Adam kosong, sama sekali pria itu tidak menyimpan satu foto siapapun bahkan satu fotonya pun tidak. Merasa usahanya sia-sia membuat Adam marah, Natta pun kini diam pandangi keluar jalanan. Entah Adam akan membawa ia kemana, tapi Natta yakin kalau Adam membawanya ke Mansion Stone di mana Natta tinggal bersama dengan Kake Stone dan juga kaka gantengnya, Alverno. “Kemana Gue harus belikin jaket lo?” tanya Natta, setelah mereka sampai. Adam menatap Natta sejenak. “Nggak usah kamu balikin!” Natta keluar dari dalam mobil dan membukuk di depan kaca jendela mobil butut Adam. “Gue nggak mau menyimpan barang orang lain! Apa lagi barang yang jelas bukan siapa-siapa gue!” Adam menatap jaket kulit kesayangannya yang menutupi tubuh Natta. Di dalam sana, Natta tak mengenaikan pakaian lagi. Tidak ada kemeja yang adik sahabatnya itu pakai tadi, apa lagi bra di dalamnya. Tubuh yang terbalut jaket kulit itu, polos bila Adam tak meminjamkan jaket kulit kesayangannya. Adam menatap Natta sejenak. “Buang saja!” kata Adam seraya melajukan kembali mobilnya untuk pergi dari hadapan Natta. “Adam…” teriak Natta jengkel. Ia pandangi mobil butut hitam milik Adam yang keluar dari perkarangan rumahnya. “SUMPAH ITU ORANG BUAT GUE EMOSI JIWA!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD