Berjuang Atau Menyerah!

1771 Words
Di kamar, Aliana menangis sejadi-jadinya. "Tuhan, bolehkah hamba egois untuk kali ini saja? Bolehkah hamba memilih untuk kebahagiaan hamba? Tuhan, mengapa semuanya begitu menyakitkan? Tuhan, beri hamba kekuatan, beri hamba kelapangan," adunya pada Sang Pemilik Nyawa. Tak henti-henti air matanya menetes. Mata yg tadinya terlihat cantik, kini begitu mengenaskan. Sudah berjam-jam Aliana menghabiskan waktunya untuk menangis. Terlalu lelah menangis, tanpa sadar Aliana sudah terlelap. Ia tidur dengan pipi yang basah. Bahkan, dalam tidurnya, Aliana tak bisa tenang. Ia masih dihantui dengan permintaan terakhir Dira yang begitu menyiksanya. "Al mohon, Mbak. Jangan paksa Aliana menikah sama Mas Reyhan." ujarnya mengigau. Tidurnya terganggu saat suara Alarm yang nyaring berbunyi dari HP-nya. Aliana terbangun saat jarum jam menunjukkan pukul 3 pagi. Ia lalu bangkit dan bersiap untuk melaksanakan salat tahajud. "Assalamualaikum warahmatullah," ucapnya mengakhiri salatnya. Ia lalu menengadahkan tangan. Mengetuk pintu langit yang terbuka lebar-lebar dalam setiap munajat doanya. Doa yang begitu dahsyat saat dilakukan di sepertiga malam. "Ya Allah, Ya Rabb. Yang menguasai alam semesta beserta isinya, yang mengetahui takdir setiap hambanya, jika memang takdir hamba harus seperti ini, maka kuatkan hati ini ya Rabb. Hamba tidak meminta pasangan yang sempurna.Hanya satu yang hamba pinta ya Rabb, beri hamba suami yang mampu membimbing hamba menuju surga-Mu. Hamba tidak tahu siapa yang harus hamba pilih. Ini pilihan yang sangat sulit bagi hamba. Yakinkan hati ini ya Rabb. Teguhkan hati ini pada satu pilihan yang terbaik bagi-Mu." Hanya ini yang bisa Aliana lakukan. Mencurahkan seluruh isi hatinya pada Sang Penentu Takdir. Ia menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala sesak yang menjadi sumber penderitaan yang menyakitkan. Ia menyeka air matanya yang entah ke berapa kalinya menetes. Diusapnya pipi kemerahan itu dengan kasar. Ia mengambil Al-Quran dan segera membacanya dengan perasaan yang lebih tenang. Setelah beberapa lama bermurottal, azan subuh berkumandang. Aliana bersiap melaksanakan salat subuh di kamar. Ia belum siap bertemu Reyhan dan Dira, apalagi dengan kondisi mata yang begitu sembab. Terlihat semakin mengenaskan. Setelah melakukan salat subuh, Aliana bersiap. Ia langsung berangkat ke kampus pagi-pagi sekali, karena ada kuis di waktu pagi. Saat melewati ruang makan, Aliana berpapasan dengan Dira yang sedang mengolesi selai di atas roti. Reyhan yang baru keluar dari kamar dengan seragam dinasnya, menyapa mereka berdua. "Pagi Sayang," sapanya pada Dira. "Pagi, Al," sapanya lagi pada Aliana, dan ia langsung mendudukkan dirinya di meja makan. Tak ingin berlama-lama bersama mereka, akhirnya Aliana memutuskan untuk pamit. "Al pamit ke kampus dulu ya?" "Eh, sarapan dulu, Dek," ajak Dira. "Gak usah, Mbak. Aliana buru-buru." Alibinya. Sebenarnya, Aliana santai. Kelasnya juga mulainya masih jam 7 pagi, sedangkan jarum jam saat ini masih menunjukkan pukul 05.30. "Lho, baru sadar Mbak kalau kamu pakai kacamata hitam. Kenapa Al?" tanya Dira penuh selidik. "Gak papa, Mbak. Lagi sakit aja matanya. Takut nular." Mau tidak mau, Aliana berkata dusta. Ia terpaksa berbohong agar Dira tidak khawatir. "Jaga kesehatan dong, Dek," nasihat Dira. "Iya ... Aliana pamit dulu. Assalamualaikum." "Al, bareng Mas Reyhan aja," cegah Reyhan. Reyhan mengalah. Ia tidak jadi sarapan di rumah. "Gak usah, Mas. Aliana naik taksi online aja," tolak Aliana dengan halus. "Lho, itu rotinya belom dimakan loh, Sayang. Ayo sarapan dulu. Aliana juga," ajak Dira. "Nanti Aliana sarapan di kantin aja, Mbak. Al buru-buru soalnya." "Aku juga sarapan di luar ya Sayang, ini rotinya aku makan di mobil." Reyhan mencomot dua buah roti yang sudah Dira olesi selai. "Ayo, Al. Berangkat," ajak Reyhan. "Hemmm ... iya." Aliana pasrah. Aliana mencium tangan Dira. "Assalamualaikum, Mbak. Aliana berangkat dulu." Dira tersenyum tulus. "Waalaikumussalam, Al. Hati-Hati ya, Dek." Aliana langsung berlalu meninggalkan Reyhan. "Sayang, aku berangkat dulu. Assalamualaikum." Dira mencium punggung tangan Reyhan. "Wa'alaikumussala. Titip Aliana Mas." "Pasti." Reyhan berlalu meninggalkan Dira. Aliana masih menunggu Reyhan. Ia tidak bisa masuk ke dalam mobil karena mobil masih dikunci. "Kok gak langsung masuk?" tanya Reyhan saat melihat Aliana yang masih berdiri di samping mobil. "Ya gimana mau masuk, orang masih dikunci," dumel Aliana. Reyhan nyengir. "Oh, iya lupa." Reyhan kemudian memencet tombol yang ada di kunci mobil agar pintu mobil dapat terbuka. "Aliana masuk ke mobil diikuti Reyhan. Reyhan terlihat sedikit kesusahan membuka pintu mobil karena tangan kanannya membawa roti selai dan tangan kirinya membawa kunci mobil. Di dalam mobil. "Mau gak?" ujar Reyhan menawarkan roti selai bikinan Dira. Aliana diam. Roti selai coklat yang nampak begitu menggoda untuk perut Aliana yang keroncongan. Tapi ia juga sadar, jika dirinya saat ini sedang kesal dengan Reyhan dan Dira. "Gak usah kelamaan mikir. Rotinya habis baru nyesel." Reyhan menyodorkan satu roti selai untuk Aliana, dan satunya lagi, tentu saja untuk dirinya. Aliana menerima roti itu dengan ekspresi wajah yang dibuat sedatar mungkin. Tanpa menunggu lama, Aliana dan Reyhan langsung memakan roti itu sampai habis. Setelahnya, Reyhan melajukan mobilnya menuju kampus Aliana. Di perjalanan Reyhan membuka percakapan. kesempatan saat berdua dengan Aliana ia gunakan untuk membuat Aliana kembali hangat pada Dira. Agar Dira tidak merasa bersalah dan membuat adik kakak itu menjadi akur kembali. "Al, copot gih kacamatanya. Gausah dipakai di depan Mas," suruh Reyhan. Aliana melirik sekilas. "Ngapain? Mas Reyhan mau ketularan sakit matanya Aliana?" Reyhan tersenyum kecut. "Al, kamu gak bisa bohong sama Mas. Buka saja kacamatanya. Kamu sebenarnya gak lagi sakit mata, kan? Mas tahu Mata kamu lagi sembab karena kebanyakan nangis. Dan kamu gak mau orang-orang melihat kamu mengenaskan seperti itu." Reyhan memang tidak bisa dibohongi. Kebohongan lama seperti ini, tidak begitu susah bagi Reyhan untuk bisa mengetahuinya. "Sok tahu!" ketus Aliana. Raihan yang begitu hafal dengan sifat Aliana, ia sudah tidak heran lagi dengan sikapnya yang ketus dan dingin seperti ini jika sedang ngambek atau kesal. "Al, gak usah bohong sama Mas. Mas tahu kamu tidak suka dengan rencana Dira yang menyuruh kita untuk menikah. Kamu tenang saja, Mas akan bantu buat ngasih pemahaman pada Dira kalau kamu tidak bisa menjadi penggantinya. Kalau kamu gak mau, jangan dipaksa. kamu harus bahagia bersama dia yang menjadi pilihanmu. Soal Dira, jangan dipikirkan. Biar Dira menjadi urusan Mas." ujar Reyhan serius. Reyhan juga tidak tega melihat Aliana yang terus-terusan menahan bebannya sendirian. Ia bisa memahami posisi Aliana saat ini. Di satu sisi, Aliana ingin menjemput kebahagiaannya. Tapi di sisi lain, ia juga ingin berbakti pada kakaknya. Aliana melepas kacamata hitamnya. Ia kembali menangis. "Mas Reyhan, Aliana gak tahu Mas, mesti gimana? Aliana bingung. Aliana ingin bahagia bersama seseorang yang menjadi pilihan Aliana. Seseorang yang Aliana kagumi sejak dulu, tapi Aliana juga ingin berbakti sama Mbak Dira. Mbak Dira mohon-mohon sama Aliana. Aliana ingin menolak, Namun, ia bilang, itu permintaan terakhirnya sebelum meninggalkan dunia ini. Aliana cuman ingin melihat Mbak Dira bahagia di sisa hidupnya. Aliana gak tahu mau berjuang untuk kebahagiaan Aliana atau menyerah dan mengalah untuk menuruti permintaannya Mbak Dira," ucap Aliana dengan suara yang parau. Ia keluarkan semua unek-uneknya pada Reyhan. Memang tidak sepenuhnya hilang, tapi setidaknya rasa sesak itu sedikit berkurang. "Jika bertahan bersamaku dirasa begitu menyakitkan, maka aku minta kamu berjalan dengan orang yang kamu sebut kebahagiaan. Kejar cintamu. Perjuangkan dia. Kamu berhak bahagia. Jangan pikirin ucapan Dira. Dira itu hanya takut aku mendapatkan perempuan yang salah, andai kata aku menikah lagi suatu saat nanti. Dia hanya ingin aku ada yang mengurus, menggantikan posisi dia sebagai istriku. Itu hanya ketakutan Dira saja. Kamu gak perlu cemas. Mau bagaimana lagi, soal perasaan itu gak bisa dipaksa. Aku tidak mau memaksamu menuruti permintaan Dira. Ikuti kata hatimu. Mintalah petujuk pada Sang Penguasa. Jangan sombong, memutuskan sesuatu tanpa berdiskusi pada-Nya. Dia yang menciptakan kamu. Dia yang lebih berhak atas kamu dibanding dirimu sendiri ataupun orang lain." Aliana mengusap air matanya. Dipakainya kembali kacamata hitam itu. ”Mulai sekarang, Mas gak mau ada tangis kamu sepanjang malam. Kasihan matamu yang sembab seperti itu. Terlihat mengenaskan! Kayak mayat hidup gitu," ejek Reyhan. "Enak aja dibilang mayat hidup," protes Aliana. "Ya emang gitu nyatanya. Coba ngaca." suruh Reyhan. "Gak mau! Maluuuu." Tidak ada percakapan lagi sampai mobil Reyhan berada di depan kampus Aliana. Aliana langsung turun dan berpamitan. "Mas, Aliana masuk dulu ya?" "Iya, belajar yang bener." "Assalamualaikum." "Wa'alaikumussalam." Aliana berjalan masuk ke dalam setelah mobil Reyhan melaju meninggalkan kampus. Aliana tidak langsung masuk kelas. Ia duduk di gazebo. Seperti biasa, ia akan menunggu kedatangan Rida. 10 menit sudah berlalu, tapi Rida tak kunjung datang. Seseorang mendatangi Aliana. "Assalamualaikum, Aliana," sapanya dan langsung duduk di samping gadis itu. Aliana melirik sebentar. "Waalaikumussalam, Mas Ferdhy." jawabnya. "Rajin baget sih, sepagi ini udah ada di kampus. Itu kenapa, tumben pake kacamata hitam? Kayak kuda tauk," celetuk Ferdhy membuat Aliana cemberut. "Enak aja disamain sama kuda! Mata aku lagi sakit, jadi pake kacamata biar gak nular ke yang lain," jelas Aliana. "Bohong! Pasti habis disengat lebah. Kalau gak gitu habis nangis sampai sembab. Kalau cuman sakit mata, kenapa gak pake yang bening aja?" tanya Ferdhy penuh selidik. Kalau soal tebak menebak, dirinya memang ahlinya. "Bawel banget sih! Ya sensitif sama cahaya, jadi ya pakai yang gelap," elak Aliana. Untung ia jago ngeles. "Iya deh, iya. Serah kamu aja. Pertanyaan saya belom dijawab loh?" peringat Ferdhy. "Yang mana?" tanya Aliana bingung. "Contoh anak muda yang kebanyakan micin. Belom tua udah pikun. Padahal dulu katanya gak suka gadoin micin," sindir Ferdhy. Aliana tersipu malu. "Sindir terosss!" "Ya emang gitu nyatanya." "Hemmm ... serah deh." "Terserah sih terserah, tapi jawab dulu." Ferdhy menahan gemasnya. "Iya, nanti jam 7 ada kuis. Jadi berangkat pagi." "Oh, kenapa gak langsung masuk? Malah duduk-duduk di sini?" Ferdhy kepo ya! "Masih nunggu Rida. Belum datang anaknya. Pak Ferdhy sendiri ngapain nemenin saya disini? Gak ada jam ngajar? Ngajar sana." "Kamu ngusir saya?" "Eh, enggak gitu maksudnya." Aliana kebingungan menjelaskan. "Terus gimana maksudnya?" Aliana terlihat berpikir. Takut-takut salah jawab. "Assalamualaikum," ucap Rida langsung nyelonong di antara mereka berdua. Dalam hati, Aliana berkata, "Terima kasih Tuhan, sudah mengirimkan penyelamat." "Wa'alaikumussalam." jawab Aliana dan Ferdhy "Eh, Pak Ferdhy. Selamat Pagi, Bapak." Rida cengar-cengir. "Pagi, ngapain kamu cengar-cengir?" tanya Ferdhy. . Rida gelagapan. "Emmm ... anu, saya pinjam Aliananya dulu ya, Pak. Kuis sudah mau dimulai. Permisi Bapak. Assalamualaikum." Rida langsung menarik tangan Aliana dan membawa Aliana pergi dari sana. "Wa'alaikumussalam." jawab Ferdhy sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah absurd gadis itu. Ferdhy heran. Kok Aliana bisa betah ya sahabatan sama gadis langka itu? Di dalam kelas masih sepi. Rida yang baru sadar jika Aliana memakai kacamata hitam langsung bertanya. "Al, ngapain pakek kacamata?" Aliana duduk di bangku kosong dekat Rida. "Habis nangis aku semalam. Mataku sembab ini. Mana gede banget lagi," jawab Aliana. "Astaghfirullah, Al. Nangis kenapa lagi? "Biasa Rid. Ya yang aku cerita kemaren. Tadi malem tuh Mbak Dira ke kamar aku, terus dia mohon-mohon sama aku buat nikah dengan Mas Reyhan. Bahkan, dia sampai bersimpuh di kakiku. Pusing aku, Rid." Aliana menaruh kepalanya di atas meja. "Sabar, ya Al. Semangat!" Rida mendekat dan mengelus puncak kepala Aliana. "Pasti."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD