Jarum jam menunjukkan pukul 5 sore. Setelah puas mengagumi keindahan senja, Aliana dan Rida memutuskan untuk pulang.
"Al, pulang dijemput siapa?" tanya Rida sembari ngemil Snack yang dibawanya tadi.
"Aku naik taksi Rid." jawab Aliana.
"Gak dijemput?"
"Gak ada yang jemput. Aku gak mau ketemu Mas Reyhan dulu. Mending naik taksi daripada pulang sama Mas Reyhan." Aliana masih malas dengan orang rumah.
"Pak Sarip ke mana?" tanya Rida kepo. Kan Aliana punya sopir keluarga.
"Pak Sarip izin pulang. Istrinya sakit."
"Inalillahi, semoga cepat sembuh ya buat istrinya Pak Sarip." Rida turut mendoakan dan diaminkan Aliana.
"Aamiin Allahumma Aamiin."
Aliana mengambil tasnya. Ia sudah bersiap untuk bangkit. "Al, aku anter aja pulangnya," pinta Rida.
"Gak usah, Rid. Kan rumah kita gak searah. Entar kamu kejauhan bolak balik. Malah ngerepotin kamu." Aliana menolak halus tawaran Rida.
"Ngomong apa sih, kamu. Namanya sahabat itu gak ada yang merepotkan. Adanya saling bantu, saling menguatkan, saling merangkul dan saling menopang. Udah, aku gak terima penolakan!" Rida memaksa Aliana untuk pulang bersama. Ia tidak mau terjadi sesuatu pada sahabatnya. Apalagi, Aliana sedang tidak baik-baik saja.
"Ya sudah, terserah kamu." Aliana pasrah. Toh, percuma berdebat dengan orang yang keras kepala dan pemaksa seperti Rida.
Mereka sudah berada di parkiran. Aliana yang tak fokus berjalan, ia langsung terjatuh bersamaan dengan pintu mobil yang terbuka. Ya, Aliana melamun saat seseorang sedang membuka pintu mobilnya. Ia menabrak knop mobil mewah itu.
Rida yang sudah bersiap membuka mobilnya, langsung berlari menghampiri Aliana. "Al, kamu gak papa?" Rida membantu Aliana untuk berdiri.
Seseorang keluar dari mobil. "Maaf, saya sudah membuat anda terjatuh"
"Pak Ferdhy?" Aliana terkejut. Ferdhy pun tak kalah terkejutnya.
"Aliana?"
"Maaf, saya kurang hati-hati sampai menabrak Bapak yang mau keluar dari mobil," ujar Aliana meminta maaf. Mau bagaimanapun juga, Aliana memang salah.
"Tidak, saya yang harusnya minta maaf sudah membuat kamu terjatuh. Ada yang luka gak? Mau diobatin dulu?" tanya Ferdhy sedikit khawatir.
"Tidak, saya tidak papa. Pak ferdhy tenang saja." Aliana terus-terusan memanggilnya Bapak. Kali ini Ferdhy bisa memaklumi, mungkin karena Aliana sedang bersama temannya.
Rida hanya diam saja. Ia tidak tahu mesti gimana.
"Kalian mau ke mana?" tanya Ferdhy.
"Mau pulang, Pak. Nggak ada kelas malam, jadi langsung balik," jawab Rida sopan.
"Emang rumah kalian di mana? Kalo searah 'kan bisa bareng. Saya kawal dari belakang."
"Wih, selain jadi dosen, dokter, Pak Ferdhy juga alih profesi jadi polisi nih, sekarang?" celetuk Rida.
Aliana mencubit pinggang Rida. "Ridaaaa!" tegornya pelan.
"Awww, sakit Al!" Rida merajuk. Sementara Ferdhy hanya bisa menahan tawanya.
"Ya lagian," sewot Aliana.
"Kan aku bener ngomongnya. Bener gak Pak?" tanya Rida mencari pembelaan pada Ferdhy.
Ferdhy hanya mengiyakan salah satu mahasiswinya ini. "Iya deh, iya."
Aliana hanya memegangi dahinya.
"Pertanyaan saya belom dijawab loh. Di mana rumah kalian?" Ferdhy bertanya sekali lagi.
"Oh iya. Kalau rumah saya dekat Pakuwon, Pak. Tapi saya mau antar Aliana pulang," terang Rida.
"Rumah Aliana di mana?" tanya Ferdhy penasaran. Kali aja searah. Kan dia bisa antar Aliana pulang.
"Rumah saya deket kampus B Universitas Airlangga." jawab Aliana.
"Berarti deket RS Soetomo dong? Deket tuh sama tempat saya. Kalau mau, biar Aliana bareng sama saya, biar Rida juga gak puter arah dulu. Kan jauh dari sini ke Pakuwon. Ntar kemalaman baliknya. Gak baik cewek nyetir sendiri malam-malam." Yang Ferdhy bilang memang ada benarnya. Kalau antar Aliana pulang dulu, masti bakal lebih malam pulangnya.
"Bener juga Al yang dibilang Pak Ferdhy. Gimana Al? Aku sih terserah kamu," tanya Rida.
Aliana tampak menimang apa yang Ferdhy bilang. "Ya sudah Rid, aku nebeng sama Pak Ferdhy aja. Kasihan kamu kalo pulang kelamaan," putus Aliana.
"Gak ngerepotin Pak Ferdhy kan?" tanya Aliana.
"Nggak lah, Al. Kan masih searah," jawab Ferdhy santai.
"Ya sudah, kamu pulang Rid. Aku nebeng sama Pak Dosen. Kamu hati-hati pulangnya." Aliana memeluk Rida sebentar. Setelahnya mereka berpisah dengan mobil yang berbeda.
Rida langsung melajukan mobilnya menuju rumah. Sementara Ferdhy melajukan mobilnya menuju rumah Aliana.
Jalanan begitu macet. Maklum, karena memang ini waktu jam-jam pulang.
"Al, nanti mampir ke masjid dulu ya? Macet banget, ini. Kalau salat di rumah, pasti waktunya gak keburu," Ferdhy begitu pusing mendengar berkali-kali bunyi klakson mobil, yang menandakan sedang terjadi kemacetan panjang. Mobil sama sekali tak bisa bergerak sedikit pun.
"Iya, Pak. Macetnya parah gini. Salat di rumah gak bakal kebutu." jawab Aliana menyetujui apa yang Ferdhy ucapkan.
"Jangan panggil Bapak!" sewot Ferdhy.
Aliana menutup mulutnya. "Oh iya, lupa."
"Udah di bilang, kalo gak lagi di kampus, gak usah panggil Bapak. Awas aja ya!" ancam Ferdhy.
"Iya, iya, Ba–"
"Jangan Bapak!" potong Ferdhy cepat.
Aliana memutar bola matanya. "GR banget, sih? Orang aku mau bilang 'iya, iya, bawel!" ejek Aliana membuat Ferdhy malu sekaligus kesal. Ia malu karena ia mengira kalau Aliana mau memanggilnya Bapak, tapi ternyata salah. Namun, Ferdhy juga kesal karena dibilang bawel. Memang, dia sebawel itu apa?
"Rese ya kamu lama-lama."
"Kok jadi aku? Ya Mas Ferdhy lah yang rese!" Aliana tak terima.
Ferdhy tidak mau melanjutkan perdebatannya. Bagaimanapun juga, wanita selalu benar dan hanya ingin di mengerti.
"Al, mau lewat jalan pintas gak? Agak jauh sih, tapi lumayan buat ngirit waktu. Ini macetnya puanjang. Pasti bakal lama," tanya Ferdhy setelah ia melihat jalan pintas di sampingnya. Meskipun sedikit lebih jauh, tapi setidaknya mobilnya bisa berjalan lancar.
"Ya sudah, lewat saja. Daripada kena macet lama-lama. Ini aja gak jalan-jalan dari tadi."
"Ya sudah, kita lewat sana ya?"
"Siap." Setelah mendapatkan persetujuan Aliana, Ferdhy langsung membelokkan mobilnya. Mau tidak mau ia harus melewati jalan itu.
Lumayan lama mereka melewati jalan kecil yang sepi. Hari juga sudah mulai gelap.
"Mas, masih lama ya?" tanya Aliana yang tampak gelisah. Sedari tadi, hanya mereka yang melewati jalan ini. Takut-takut ada begal atau penjahat yang mengikuti mereka, membuat Aliana menjadi cemas.
"Itu, depan udah jalan raya," tunjuk Ferdhy pada jalan besar yang mulai terlihat.
"Ah ... syukurlah." Aliana menarik napasnya lega.
"Langsung nyari masjid, ya?"
"Okeee .... "
*****
Setelah selesai melaksanakan salat maghrib, Ferdhy dan Aliana kembali melakukan perjalanan.
Perut Ferdhy sedikit keroncongan. "Al, laper gak?" tanya Ferdhy malu-malu. Takut jika Aliana mendengar suara cacing-cacing di perutnya yang sedang berdisko.
"Lumayan sih, kenapa? Mas Ferdhy laper?" Aliana memperhatikan Ferdhy.
"Hehe ... iya, Al." Ferdhy berkata jujur.
"Ya sudah, cari makan dulu aja. Biar lambungnya gak luka. Kalau udah kena mag, 'kan bahaya." Aliana menyuruh Ferdhy cari makan dahulu.
"Mau makan apa?" tanya Ferdhy.
Aliana tampak berpikir. "Nasi pecel enak kayaknya."
Ferdhy tampak semangat. "Suka pecel juga? Kirain gak suka makanan warteg."
Aliana memutar bola matanya. "Makanan warteg gak ada duanya."
"Hahaha ... bener." Ferdhy semakin terkagum-kagum dengan gadis itu. Selain cantik, saleha, sederhana, ia juga tidak neko-neko. Aliana mampu menyesuaikan dirinya dengan berbagai kondisi. Salut!
Tak lama, mereka sampai di tempat warteg. Tanpa berlama-lama, Ferdhy langsung memesan dua porsi nasi pecel untuk dirinya dan Aliana. "Buk, nasi pecel dua porsi."
"Lauknya pakai ayam apa dadar, Mas?" tanya Ibu warteg.
"Al, mau dadar apa ayam?" Aliana bingung. Dua-duanya tampak menggoda.
"Dua-duanya, boleh?" jawabnya sambil nyengir.
"Mau lima juga gak papa, Al." Aliana langsung malu seketika.
"Ehehe ... Ya gak gitu juga. Mana muat perutku, Mas."
"Ya kali aja perut karet, bisa melar sampai maksimal," canda Ferdhy.
Aliana cemberut.
"Dah, gak usah ngambek. Ini makan" Ferdhy menyodorkan sepiring pecel pada Aliana. Tanpa banyak bicara, Aliana langsung menyambar dengan senang hati.
"Terima kasih," ucapnya tulus dan ia langsung memakan nasi pecelnya setelah membaca doa. Disusul ferdhy yang melakukan hal serupa.
Tak membutuhkan waktu lama, Nasi pecel sudah tandas tak bersisa. Maklum, mereka sama-sama kelaparan.
.
"Habisin dulu Al minumnya, habis itu langsung balik." perintah Ferdhy setelah melihat minum Aliana yang masih tersisa lumayan banyak.
"Iya," Aliana menyeruput minumannya pelan-pelan. "udah," ucapnya lagi setelah meminum es teh manisnya sampai tandas.
"Yuk, balik," ajak Ferdhy.
"Bayar dulu!" tukas Aliana.
Ferdhy menggaruk tengkuknya. "Hehe, lupa."
Ferdhy mengambil uang di dompetnya. "Berapa, Buk?" tanyanya pada ibu penjual warteg.
"Tigang ndoso, Mas." Ferdhy tampak planga-plongo.
Aliana yang melihat ekspresi bengong Ferdhy, ingin sekali rasanya ia tertawa keras. Namun, ia tahan mati-matian.
"Al, timbang dosol itu berapa?" tanya Ferdhy polos. Bukan polos, tapi ia memang tidak tahu artinya. Maklum, kan bukan orang jawa.
"Bukan timbang dosol Mas Ferdhy, tapi tigang ndoso." Seketika, tawa Aliana pecah. Ia tak mampu menahan tawanya. Ibu warteg pun ikutan tertawa.
"Gak usah ketawa! Ya makanya aku nanya kamu, soalnya aku gak tahu!" tukas Ferdhy. Ia terlibat kesal.
"Tigang ndoso itu tiga puluh, Mas. Dah, bayar sana! Kasihan ibunya."
"Ngomong kek dari tadi." Ferdhy mengambil uang lima puluh ribuan dari dompetnya.
"Buk, ini uangnya. Kembaliannya, buat Ibu saja." Ia serahkan uang itu pada ibu penjual.
"Terima kasih banyak, Mas, Mbak. Semoga Rezekinya makin lancar dan barokah." Ibu itu mendoakan dengan tulus.
"Aamiin." Aliana dan Reyhan mengaminkan bersama-sama.
"Semoga kalian semakin langgeng, semakin romantis, menjadi pasangan suami istri yang harmonis sampai Kakek Nenek," tambah Ibu warteg.
"Aamiin." ucap Ferdhy. Amin paling serius. Sementara Aliana hanya terbengong.
"Al, aminin dong. Doa baik itu." goda Ferdhy. Ya, Aliana terjebak!
"Aamiin." Akhirnya Aliana ikut mengaminkan.
Ferdhy terlihat sumringah. Semoga doa yang terucap dari orang yang tulus bisa segera diijabah.
"Yuk, Al. Pulang," ajak Ferdhy.
"Yuk,"
"Buk, monggo. Kulo Pamit riyen." (Buk permisi, saya pamit dulu.)
"Monggo," (silahkan)
Aliana dan Ferdhy langsung ke mobil dan melanjutkan perjalanan pulang.
"Al, tadi kamu bicara apa sama ibu warteg tadi?" tanya Ferdhy penasaran.
"Tadi itu aku bilang 'Bu teman saya naksir Ibu' gitu," jahil Aliana.
"Hah? Ngawur kamu! Ya kali aku naksir ibu-ibu." Ferdhy tak terima.
Seketika, tawa Aliana pecah. "Udah, ah. Perutku sakit." Enggak, aku tadi bilang 'Buk, permisi, saya pamit dulu' itu artinya."
"Oh,"
"Iyaaa."
"Eh, Al?" panggil Ferdhy.
"Apa?!"
"Kamu gak pengen nikah muda? Gak ada niatan nikah muda gitu? Kalo iya, aku siap jadi imamnya."
Aliana langsung terdiam. Ia tidak tahu harus bicara apa.
"Emmm, aku kok ngantuk ya Mas." Alibinya. ia pura-pura menguap..
Ferdhy diam. Mungkin Aliana belum tahu jawabannya.
Ferdhy akhirnya memutuskan untuk fokus nyetir, sementara Aliana memalingkan wajahnya ke arah luar.
Tak lama, mobil sudah berada di depan rumah Aliana. Aliana turun langsung tanpa menyuruh Ferdhy mampir karena ia takut timbul fitnah.
"Mas, maaf ya, Aliana gak bisa nawarin Mas Ferdhy mampir, soalnya sudah malam dan di rumah cuman ada aku sama Mbak Dira. Nanti takut timbul fitnah." Aliana merasa bersalah.
"Santai saja, Al. Ya sudah, aku langsung balik," ucap Ferdhy.
"Terima kasih banyak untuk tebengan dan traktirannya. Mas Ferdhy hati-hati."
"Iya, kamu langsung Masuk, gih. Aku balik. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Ferdhy melajukan mobilnya bersamaan dengan datangnya Reyhan. Reyhan sempat melihat mobil Ferdhy. Reyhan mengklakson mobilnya. Aliana langsung membuka gerbang. Ia menutup gerbang kembali setelah mobil Reyhan masuk ke dalam.
Tanpa basa-basi, Aliana langsung segera masuk.
"Aliana," panggil Reyhan saat ia keluar dari mobil.
Aliana menoleh. "Iya?" jawab Aliana sekenanya.
"Tadi pulang sama siapa? Kok pulangnya malem gini?" tanya Reyhan penuh selidik.
"Sama dosennya Aliana. Tadi kena macet di jalan. Terus mampir ke mesjid, setelahnya cari makan."
"Kenapa gak minta jemput Mas? Kalau ada apa-apa di jalan, gimana?"
"Ya buktinya Al selamat!" ketus Aliana. Reyhan bisa memaklumi perubahan sikap Aliana.
"Ya sudah, kamu masuk. Tenangin pikiran kamu," perintah Reyhan.
"Iyaaa ... Aliana permisi dulu," pamit Aliana dan berlalu dari hadapan Reyhan.
Di depan ruang tamu, Dira sudah menyambut Aliana.
"Dek, kok pulang malem?" tanya Dira.
"Iya, tadi macet Kak. Aliana permisi mau bersih-bersih dulu." Ia langsung berlalu meninggalkan Dira.
Dira yang melihat perubahan sikap Aliana, ia langsung mengikuti Aliana ke kamarnya.
Aliana sudah di dalam. Ia merebahkan tubuh lelahnya sebentar.
Tok ... Tok ... Tok ...
Terdengar suara pintu diketuk.
"Al, Mbak boleh masuk?" tanya Dira.
Aliana menarik napas berat. Meskipun ia tidak ingin menemui Dira, tapi Aliana tidak ada pilihan lain selain membuka pintunya.
Pintu terbuka. "Silahkan masuk." Aliana mempersilakan Dira masuk ke kamarnya.
"Mbak mau bicara, Al."
"Silahkan." jawab Aliana malas, karena ia sudah tahu kemanakah arah pembicaraannya.
"Dek, Mbak mohon sama kamu, tolong sudilah menikah sama Mas Reyhan," ucap Dira menahan sesak.
"Mbak Dira jangan gila! Mas Reyhan itu suamimu, Mbak. Aku gak mungkin rebut kebahagiaanmu." Gadis itu terisak dalam diam. Ia tidak mampu membendung tangis dan emosinya yang bercampur jadi satu.
"Kamu tahu sendiri, umur Mbak gak akan lama!" balas Dira tak kalah emosi.
"Mbak!" Bentak Aliana.
"Aliana, Mbak mohon sama kamu. Umur Mbak gak akan lama, Al." Tangis Dira mulai pecah.
Alian bertepuk tangan. "Wowww, apa Mbak Dira Tuhan? Hebat sekali, seolah-olah Mbak bisa menentukan umur seseorang?"
"Al," panggil Dira pelan. Ia bersimpuh di kaki Aliana.
"Berdiri, Mbak," lirih Aliana.
Dira menggeleng. "Enggak, Dek."
Aliana memejamkan mata. "Tolong ngertiin Aliana, Mbak. Al gak mungkin nikah sama Mas Reyhan. Aliana tahu, kalau Mbak Dira sangat mencintai Mas Reyhan."
Dira menarik napas panjang. "Mbak akan ceraikan Mas Reyhan."
"Hah? Jangan gila!"
"Mbak sudah bicara ini sama Mas Reyhan. Sekarang, Mbak tunggu keputusan kamu."
Aliana menggeleng tegas. "Enggak!"
"Mbak mohon," lirih Dira.
"Aliana gak mau Mbak Dira sama Mas Reyhan pisah."
"Mbak mohon! Anggap ini sebagai permintaan terakhir Mbak," final Dira.
"Kasih aku waktu, Mbak. aku gak bisa jawab sekarang." Aliana langsung pergi meninggalkan Dira sendirian. Ia berlari dan masuk ke dalam kamar mandi.
Dira sendiri, masih terisak dalam tangisnya. Ia tidak pernah menyangka, jika nasibnya harus semalang ini. Ia harus ikhlas, jika harus bercerai dengan Reyhan.