Pindah Sekolah

1398 Words
Surabaya Delapan Belas tahun kemudian … Seorang pemuda tampan tengah mengayunkan pukulannya ke arah samsak yang dari tadi menjadi sasaran amarahnya. Sudah bertahun-tahun dia memendam amarah itu, amarah yang membuatnya menjadi seorang pemuda kuat. Kini sudah waktunya dia membalas atas semua yang telah menimpa keluarganya. Lelah dengan aksinya, si pemuda berhenti sebentar. Menatap tajam kearah sebuah foto seorang gadis remaja seusianya, demi apapun … dia bersumpah akan membuat gadis itu hancur. Dia akan memulainya dari gadis itu, bukankah akan lebih menyakitkan, jika melihat orang yang begitu kita sayangi hancur. Dia akan membuat gadis itu hancur, sama seperti perbuatan orang tua si gadis kepada almarhum Mamanya dulu. Karena kebiadapan mereka semua, si pemuda harus kehilangan sosok seorang ibu, sejak usianya masih balita. Coba saja, jika sampai detik ini Mamanya masih hidup, dia tidak akan di didik begitu keras oleh Papanya. Dia hanya seorang pemuda yang usianya masih belasan tahun, dia juga ingin menjalani kehidupan normal layaknya remaja seusianya. Tapi hanya karena ambisinya untuk membalas dendam, dia rela membuang semua mimpinya. Karena menurut teman-teman papanya, musuh yang dia hadapi sangat kuat. Dia bukan orang sembarangan, dia harus menghadapi seorang Alvino Pramudita Atmajaya dan keempat temannya yang sama-sama bukan orang sembarangan. Si Pemuda berjalan menghampiri foto gadis itu, foto berukuran raksasa, yang sengaja dia pasang di tempat latihan saat dia mengasah ilmu beladirinya. Si pemuda menyunggingkan senyumnya, menatap foto gadis itu dengan tatapan penuh dendam. “Talita Wicaksono … lo harus merasakan apa yang Mama gue rasakan. Karena kebejatan orang tua lo dan teman-temannya, Mama gue harus meninggal dengan cara yang tragis …” Air mata si pemuda menetes begitu saja, rasanya nyeri … membayangkan nasib tragis yang menimpa Mamanya. Sebuah tepukan ringan di punggung si pemuda, menyadarkan dirinya, buru-buru dia menghapus air mata yang mengalir di wajah tampannya. Si pemuda menoleh, “Papa …” “Aska, ini sudah waktunya mereka membayar kesalahan mereka di masa lalu,” ucap seorang pria tampan, yang tak lain adalah Andre, atau lebih tepatnya Andrean Prayogo Perkenalkan, namanya Aska Fernanda Prayogo. Seorang pemuda tampan berusia delapan belas tahun, ini hari terakhirnya dia di Surabaya, karena besok dia harus pindah ke sekolahnya yang baru di kota Jakarta. Sejak usianya masih balita, dia terpaksa harus tinggal dengan pengasuhnya di kota Surabaya, sedangkan Papanya … tetap tinggal di Jakarta untuk mengurus bisnisnya. Setelah delapan belas tahun lamanya, Aska yang sudah di persiapkan untuk membalas dendam, atas kematian Bella, harus pindah ke sekolah yang sama dengan anak-anak dari musuh keluarganya. “Apa Papa sudah menemukan semuanya?” tanya Aska dengan amarah yang begitu meluap. Andre memasang wajah kecewanya. “Belum … hanya Anak Alvin yang belum Papa tau, sepertinya … mereka sengaja menyembunyikan identitas Anaknya dari publik.” Aska menghela nafas. “Papa tenang aja, aku akan menemukan Anak itu secepatnya, aku yakin … dia ada di sekolah yang sama dengan gadis itu.” Aska menunjuk foto gadis cantik yang dari tadi dia pandangi. “Papa percaya dengan kemampuan kamu, bersiaplah … sebentar lagi kita berangkat,” ucap Andre. Berlalu begitu saja dari hadapan Aska. Setelah kepergian Papanya, Aska masih diam mematung di sana, kembali menatap foto si gadis dengan tatapan penuh kebencian. “Bersiaplah Talita …” *** Jakarta Pukul 06.45 WIB, seorang gadis cantik remaja berjalan tergesa menuju ruang kelasnya. Dia sengaja berangkat lima menit lebih awal untuk menghindari bocah rese yang membuatnya kesal bukan main. Bagaimana tidak kesal, ini bocah selalu saja ngerecokin hidupnya, ngaku sebagai pacarnya, tiap dia di deketin seorang cowok. Alhasil, di usianya yang menginjak delapan belas tahun, yang sebentar lagi bakalan lulus sekolah, dia masih menyandang status Jones alias jomblo ngenes. “Talita!” Demi apa coba, baru saja dia merasakan hidupnya aman sejahtera, tiba-tiba saja … tuh suara mahluk rese kembali terdengar. Si gadis cantik yang tak lain adalah Talita Wicaksona, terpaksa menghentikan langkah kakinya. Kalaupun dia tidak berhenti, tuh anak rese bakalan nguber dia sampai kelasnya. Talita menghela nafas, nenangin diri supaya tetap sabar. Talita menoleh ke arah sumber suara itu. Makin gedeg ngelihat muka si bocah yang nyengir dan terlihat sangat ngeselin. “Apa lagi!” Karena saking jengkelnya, Talita sudah tidak bisa lagi bersikap lembut kepadanya, selalu kasar dan ketus. “Idihh … makin marah, makin cakep aja Mbaknya,” ucap si bocah. Kalaupun kelihatan, tuh kepala Talita pasti sudah mengeluarkan tanduk, dengan muka yang berasap kek di film-film. Talita menunjuk kearah si Bocah, yang kalau diperhatikan meskipun hanya sekilas, tuh anak remaja yang sering dipanggil Bocah sama Talita, cakepnya bukan main, meskipun cowok, dia kelihatan glowing, tapi maaf … ini glowingnya alami, wajah imut kek muka bayi, hidung mancung, bibir tipis, perwakannya yang tinggi. Bener-bener tuh cowok kelihatan sempurna. Tapi kalau di mata cewek normal lain, bukan di mata seorang Talita. Bagi Talita, si cowok yang menurutnya sedikit oon, hanya dia anggap sebagai adik dan tidak lebih, karena kebetulan banget, tuh cowok yang merupakan anak dari temen Papanya dan Mamanya, usianya dua tahun lebih muda darinya, bahkan si cowok merupakan sahabat dekat adiknya. Itulah sebabnya, Talita memanggilnya Bocil alias bocah kecil. “Hei, Aron si Laron! Lo bisa nggak, lima menit aja … jauh dari hidup gue, minggir jauh-jauh dari hadapan gue.” Meskipun cara mengucapkannya sedikit pelan, itu kata-kata maknanya tajam banget, mungkin kalau cowok lain sudah sakit hati pakai banget. Nah, ini … nggak berlaku buat si bocah yang ternyata bernama Aron, atau lebih tepatnya Aron Pranaja Atmajaya. Aron nyengir, mengusap tengkuk lehernya, nggak kesinggung sama sekali dengan kata-kata Talita. “Gimana, ya … gue nggak bisa meskipun hanya sedetik jauh dari calon Bini gue, apalagi musti lima menit … hidup gue hampa—“ Sebuah tonyoran di kepala Aron, terpaksa menghentikan gombalannya. “Heleh! lambe lo! kalau udah main game jangankan Kakak gue, Mak lo aja … lo lupain!” celetuk seseorang dari belakang Aron, yang tak lain adalah Candra Kurniawan Wicaksono, adik dari Talita. Sama resenya kek Aron. Aron menoleh, mengusap kepalanya yang lumayan puyeng akibat tonyoran Candra. “Bangke lo, Ndra! Dateng main tonyor pala orang aja, bisa nggak! hormat dikit sama calon kakak Ipar lo!” kesal Aron. Candra pasang ekspresi mau muntah. Dan dengan tingkahnya yang konyol, Candra langsung memberi hormat kepada Aron, seperti seorang prajurit yang hormat ke komandannya. “Siap Komandan!” seru Candra. “Bangke!” kesal Aron. Talita memutar bola matanya jengah, satu si rese datang. Datang lagi rese yang lainnya, coba aja kalau dia lama-lama berdiri di situ, pasti bakalan datang lagi dua rese lainnya. Mario dan Nicolas, bestienya dua bocah rese yang tengah berdebat di depannya. Nggak mau itu sampai kejadian, Talita mending milih kabur dari tempat itu. Berlari menuju kelasnya. Aron dan Candra belum menyadari Talita yang sudah pergi dari tempat itu. mereka masih asyik berdebat, bahkan main dorong satu sama lainnya. Hingga tanpa mereka sadari … Candra mendorong Aron, sampai tuh anak tanpa sengaja nabrak seseorang yang tengah berjalan. “Lo punya mata, nggak!” Ini anak suaranya ketus banget. Aron tentu saja kesal di katain seperti itu, Aron mendongak, menatap tuh cowok yang sedikit lebih tinggi darinya. Terkejut juga dengan tuh anak bermuka jutek tapi cukup ganteng pakai banget. Hanya beda tipis dengan kegantengannya. “Lo anak baru? Nggak usah berlagak lo!” ucap Aron tak kalah ketusnya. Si cowok yang tak lain adalah Aska, menyungingkan senyumnya. “Kenapa! jangan sampai muka glowing lo jadi bonyok!” Ini anak baru bener-bener ngeselin, baru kali ini ada seseorang yang berani ngatain dia glowing. “Lo belum tau siapa gue? belum pernah ngerasain bogem dari gue, jangan sok lo!” seru Aron. Aska tersenyum mengejek kearah Aron. “Minggir Bocil! gue nggak ada urusan sama lo!” ketus Aska. Demi apa coba, baru saja dikatain glowing, sekarang dikatain lagi ‘Bocil’, padahal mereka sama-sama Bocil karena masih menggunakan seragam yang sama. Aron menatap tajam Aska, sekilas dia berpikir … itu mata kenapa mengingatkan dia pada sosok papanya. Buru-buru Aron membuang jauh pikiran itu. “Jaga ucapan lo, gue bisa bikin lo tepar hanya sekali pukul!” ucap Aron, dia emang jago bela diri juga, tapi belum tau aja, siapa yang dia lawan. Aska menyunggingkan senyumnya, melirik Candra yang ikut-ikutan menatap tajam kearahnya. Nasib dia memang beruntung, baru saja datang ke sekolah barunya, dia langsung di pertemukan dengan orang yang dia cari. Aska mengenali siapa Candra, Mario, Talita dan juga Nicolas. Sedangkan untuk bocah di hadapannya, dia yakin sekali, kalau bocah di hadapannya adalah putra Alvin yang sengaja di sembunyikan identitasnya …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD