Hamili Saja, Mas!

1033 Words
BSM 1 "Hamili aku aja, Mas! Biar mama terpaksa kasih restu hubungan kita dan perjodohan kamu pasti akan batal." Naraya berucap sambil menggenggam erat tangan Narendra, kekasihnya. "Hamil diluar nikah maksudnya?" balas Naren cepat. Matanya menatap wajah kekasihnya dengan serius. Nara mengangguk lemah. "Dua tahun kita pacaran diam-diam, tapi mama kamu enggak juga ngasih restu buat kita." "Maafin mama ya, Sayang. Tapi, untuk membuatmu hamil di luar nikah, menurutku itu bukan solusi yang tepat." "Enggak ada banyak waktu, Mas. Pertunangan kamu sama Fara itu awal bulan depan. Menurutku, cuma ini cara satu-satunya agar mama merestui kita." Nara menatap lekat manik hitam di depannya. Bulu mata yang tebal dan alis yang lebat membuat wajah itu terlihat tegas. "Tapi, tidak dengan menghamili kamu juga! Kita masih ada waktu buat bicara sama mama. Jadi, kamu tenang aja ya? Aku pasti usahain terus agar mama merestui hubungan kita," balas Naren lembut. Ibu jarinya mengusap punggung tangan Nara dengan perlahan. "Sekarang kamu makan dulu. Nanti jam makan siang keburu habis," sambung Naren setelah mengurai genggaman tangannya. Semangkuk mie pangsit baru saja disajikan oleh pemilik resto yang berada di dekat gedung dealer tempat Nara dan Naren bekerja. Dengan cepat, lelaki yang menjabat sebagai kepala cabang itu mengangsurkan mangkuk yang asapnya masih mengepul di hadapan Nara. "Aroma makanan ini enak. Tapi, rasanya tenggorokanku susah buat menelannya." Mata Nara memandangi mangkuk yang atasnya penuh dengan ayam suwir bumbu kecap dengan pandangan nanar. Makanan kesukaannya itu tiba-tiba saja terasa hambar karena hatinya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Perlahan mata Nara pun mulai menghangat. Lalu, rasa itu menjalar ke sekujur tubuh melalui aliran darah hingga menciptakan kabut di matanya. "Kok malah nangis?" Naren mulai terlihat khawatir. "Aku enggak bisa bayangin hidup tanpa kamu, Mas. Cinta ini sudah jadi milik kamu seutuhnya. Bagaimana mungkin aku harus merelakanmu bertunangan dengan orang lainnya?" Pandangan Nara nanar menatap ujung kuku yang dimainkannya. Naren menghela napas dalam. Ujian di dalam hubungan percintaannya sungguh berat. Restu yang menjadi pondasi sebuah hubungan rasanya susah sekali untuk didapatkan. Namun, melihat sikap Nara yang begitu terluka atas perjodohannya membuat beban Naren kian terasa berat. "Sabar dulu ya! Kasih aku waktu buat usaha sekali lagi." Nara menatap wajah kekasihnya dengan cepat. "Apa, Mas? Kamu mau coba bicara sama mama sekali lagi?" Tatapan penuh harap terpasang sempurna di wajah Nara. "Enggak ada salahnya aku coba lagi, apa pun hasilnya yang penting Mas udah berjuang," ucap Naren seraya memasang senyum kecil di wajahnya. "Sekarang kamu makan dulu. Jam makan siang hampir habis," sambung Naren setelah melirik jam di pergelangan tangannya. Nara akhirnya memaksa mulutnya untuk menelan mie yang sudah hampir dingin itu. Meskipun tenggorokannya terasa begitu tercekat, senyum dan semangat Naren membuat Nara kembali memiliki keyakinan bahwa masih ada jalan untuk mendapatkan restu dari orang tua Naren. "Aku masuk dulu ya?" ucap Nara setelah keduanya kembali ke showroom. Nara melepas pegangan tangannya dan berjalan menuju sebuah ruangan berdinding kaca yang menjadi tempatnya melayani pembayaran customer. Naren berdiri di depan meja kecil yang berada di area showroom. Matanya sesekali melirik Nara yang sudah mulai kembali melayani customer yang sudah menunggu. "Gitu amat lihatnya?" tanya Fatih, sales marketing yang menjadi sahabat Naren. Ia menghampiri Naren yang sedang berdiri di dekat mejanya. Mata Fatih melihat pemandangan yang sedang diamati oleh Naren. Kedua alisnya hampir menyatu lalu ia kembali menoleh ke wajah sahabatnya itu. "Kenapa sama kalian?" tanya pria itu kembali karena Naren tak kunjung menjawab ucapannya. "Nara tahu kalau mama mau jodohin aku dengan anak temannya." Naren menunduk. Menatap ujung sepatunya yang klimis. "Lalu?" Mata Fatih memicing. "Ya dia sedih. Malah minta aku buat hamili dia biar mama kepaksa kasih restu." "Wah, ide bagus!" seloroh Fatih. "Asal aja kalau ngomong," gerutu Naren sambil memukul pelan lengan Fatih. "Lah mau gimana emang? Kalian pacaran sudah lama. Udah tahu enggak dikasih restu, tapi masih aja jalan berdua. Lalu, cara apalagi yang bisa buat orang tuamu ngasih restu kalian kalau bukan dengan kehamilan Nara?" Naren menatap tajam mata Fatih. Sekilas usulan itu terdengar masuk akal. Tetapi, akal sehat Naren masih berfungsi dengan baik. Embusan napas kasar keluar dari bibir Naren. Sorot matanya menatap wajah Nara dari balik kaca yang menutupi ruang kerjanya. "Aku enggak mungkin ngerusak dia! Jangan kasih saran yang konyol!" ucap Naren sebelum ia meninggalkan Fatih di tempatnya. "Kalau cuma itu cara yang bisa ditempuh, ya udah gas aja!" balas Fatih, seketika membuat langkah Naren terhenti. "Gila kamu!" hardik Naren cepat sebelum kembali melangkah. Di ruangan kerjanya, Naren termangu menatap layar laptop yang penuh dengan gambar Nara. Senyum manis gadis pujaannya itu membuatnya kian bimbang. Cinta dan orang tua, dua hal yang berat yang tidak bisa ia lepas, apalagi jika harus memilih salah satunya, tentu saja itu adalah hal yang sulit. Dengan cepat Naren menutup layar laptop tersebut. Lalu ia meraih map yang semula harus terpaksa ia abaikan demi menemani Nara makan siang. "Sore, Pak. Ini kopinya," ujar Nara sambil membawa secangkir kopi di tangannya. Senyum manis menjadi pemandangan pertama yang dilihat oleh Naren. Pening yang muncul akibat urusan kerjaan lenyap seketika saat melihat wajah ayu di depannya itu. Bibirnya tersenyum renyah menyambut wanita pujaannya kembali datang untuk membawakan secangkir kopi kental kesukaannya. "Makasih ya, Sayang? Kamu tahu sekali kalau kepalaku lagi pusing," ucap Naren seraya menghidu aroma kopi tersebut. "Sama-sama. Diminum ya? Mumpung masih hangat." Nara membalas. Ia juga membalas senyuman yang diberikan oleh kekasihnya. "Pasti dong. Kopi buatan kamu pasti enak. Kalau sudah jadi istriku, aku pasti ngga mau ketinggalan kopi buatanmu tiap hari," ujar Naren sambil mulai menyesap kopi yang asapnya masih mengepul itu. Beberapa saat tak ada sahutan dari Nara. Lelaki yang memakai kemeja biru muda itu mendongak, melihat wajah kekasihnya yang tengah termangu. "Kenapa, Sayang?" tanya Naren. Ia terpaksa meletakkan kopinya demi bisa berbicara serius dengan Nara. Naren pun berdiri. Ia menyejajarkan pandangannya dengan mata Nara. Jari telunjukknya tertekuk mengangkat dagu Nara untuk membalas tatapannya. "Kenapa hmm?" tanya Naren tak bosan. "Mikir apa sih? Tiba-tiba mendung gitu wajahnya." Naren menarik badan Nara untuk duduk di kursi kerjanya. Ia mau membuat kekasihnya itu terasa rileks sebelum menjelaskan perihal yang membuat wajahnya diliputi mendung. "Ucapan Mas kembali bikin aku teringat tentang perjodohan Mas. Aku belum siap jauh dari Mas." Nara berucap sambil menatap lekat mata Naren. Tanpa permisi bulir bening itu meluncur bebas di pipinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD