Chapter 009

1320 Words
Rombongan Hwa Seung dan Ketua Park berpisah di penginapan karena Hwa Seung memutuskan untuk berangkat lebih dulu, sedangkan Ketua Park masih harus menunggu kelompoknya untuk berkemas. "Apa sudah tidak ada lagi yang tertinggal?" "Tidak ada, Ketua," seseorang menjawab, mewakili rekan-rekannya. "Baiklah, kita lanjutkan perjalanan sekarang." "Baik, Ketua." Ketua Park berjalan lebih dulu, disusul oleh Hwa Goon dan setelahnya para anggota Kelompok Pedagang. Mereka kembali menempuh perjalanan panjang untuk bisa sampai di Hanyang. "Ayah," Hwa Goon mempercepat langkahnya dan berjalan beriringan dengan Ketua Park. "Ada apa?" "Sebenarnya, kenapa kita tiba-tiba kembali ke Hanyang? Bukankah sebelumnya Ayah mengatakan bahwa kita masih akan kembali satu bulan lagi?" Ketua Park menarik sudut bibirnya lalu berucap, "ada seseorang yang ingin bertemu dengan ayah." "Seseorang? Siapa?" "Teman lama." Ketua Park sekilas melihat ke arah Hwa Goon dan mengusap kepala sang putri. "Nanti kau juga akan tahu, siapa teman lama yang ayah maksud." Setelah berjalan hampir setengah hari, para Kelompok Pedagang beristirahat di tengah hutan dan merapatkan diri ke pohon untuk berteduh. "Aigoo... ini masih pertengahan musim semi, tapi kenapa udaranya panas sekali?" ujar salah seorang sembari mengibaskan tangannya di depan wajahnya. "Jika seperti ini, kemungkinan akan terjadi kemarau panjang. Dan jika itu sampai terjadi, akan ada banyak rakyat yang kelaparan dan wabah akan berdatangan seperti sebelumnya," sahut yang lainnya. "Eih ... itu adalah hal yang paling mengerikan. Jangan sampai istana menaikkan pajak." "Ayah, aku akan pergi ke sana sebentar," Hwa Goon menujuk ke arah selatan dari tempat mereka duduk sekarang. "Baiklah, tapi berhati-hatilah dan jangan pergi terlalu jauh." "Ye." Hwa Goon beranjak dan kemudian berjalan ke selatan meninggalkan rombongan. Dia berjalan sedikit jauh hingga posisinya saat ini tidak terlihat dari tempat para rombongan beristirahat. Senyum gadis muda itu melebar ketika ia mendapati hamparan bunga yang cukup luas dengan bunga yang bermekaran dan terlihat sangat cantik. Tanpa ragu lagi, Hwa Goon langsung melangkahkan kakinya di antara bunga-bunga tersebut sembari menyentuh beberapa yang ia lewati. Meski Hwa Goon tidak bisa meninggalkan pedang, tapi bukan berarti gadis itu bisa meninggalkan bunga. Karena sama hal nya dengan gadis-gadis seusianya, Hwa Goon juga menyukai hal-hal yang disukai banyak wanita. Hanya saja dia harus meninggalkan sifat tersebut ketika sedang mengembara. Hwa Goon mengambil setangkai bunga dan menciumnya, dia kemudian mengarahkan pandangannya ke depan dan melihat satu bunga dengan warna yang berbeda. Tanpa berpikir panjang lagi dia melangkahkan kakinya untuk mengambil bunga tersebut. Tapi karena rumput di sana juga cukup tinggi Hwa Goon yang kurang berhati-hati tidak sengaja tersandung sesuatu dan langsung jatuh. Matanya membulat ketika tubuhnya mulai jatuh karena dia melihat seseorang yang berbaring tepat di tempat dia akan mendarat. "Aduh!" rintih Hwa Goon. Meski dia jatuh menimpa seseorang, tapi rasanya tetap saja sakit. Hwa Goon pun dengan segera bangkit dan meminta maaf. "Maafkan aku, Tuan. Aku tidak sengaja, aku benar- benar minta maaf. Aku tidak tahu jika ada Tuan—" ucapan Hwa Goon terhenti ketika ia melihat siapa orang malang yang sudah dijatuhi olehnya. Dan pria tersebut juga menatap Hwa Goon dengan mata yang sedikit melebar. "Ahjussi?" ujar Hwa Goon tak percaya. Ahjussi : Panggilan untuk pria berumur (Paman) Kim Nam Gil, seorang pengembara yang baru saja di panggil dengan sebutan 'Ahjussi' oleh Hwa Goon itu bangun dan duduk bersila berhadapan dengan Hwa Goon. "Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?" Nam Gil menyingkirkan rumput yang masih berada di rambut Hwa Goon, dan memang sebenarnya keduanya sudah saling mengenal sejak lama. "Kami sedang dalam perjalanan menuju Hanyang?" Nam Gil memiringkan kepalanya dan tampak mempertimbangkan sesuatu. "Kenapa kembali secepat ini? Apa terjadi sesuatu di desa?" Hwa Goon menggeleng. "Ayah mengatakan bahwa dia ingin menemui teman lamanya." Ucapan Hwa Goon membuat Nam Gil menatap gadis itu tidak percaya. Dari apa yang dikatakan Hwa Goon, ada satu orang yang tiba-tiba memenuhi pikiran Nam Gil yang mungkin adalah orang yang dimaksud dengan teman lama oleh Ketua Park. "Di mana ayahmu?" Nam Gil tiba-tiba beranjak. "Tidak jauh di sekitar sini." Hwa Goon berusaha untuk bangun dan Nam Gil yang melihat gadis itu sedikit kesulitan, lantas mengulurkan tangannya dan langsung dijabat oleh Hwa Goon. "Di mana?" "Di sana," Hwa Goon menunjuk ke arah sebelumnya ia datang, dan Namgil menuntun tangan Hwa Goon. Menyibakkan rerumputan agar Hwa Goon bisa berjalan dengan mudah. LE PETIT PRINCE Paviliun Putra Mahkota. Chang Kyun baru saja kembali ke paviliun Putra Mahkota, namun kedatangannya langsung disambut oleh Kasim Seo. "Tuan Muda ... Tuan Muda pergi ke mana saja?" "Apa terjadi sesuatu?" Kasim Seo mengangguk. "Putra Mahkota sejak tadi mencari Tuan Muda." Mendengar hal itu, Chang Kyun segera bergegas menuju ke tempat Tae Hyung berada. Memasuki kamar sang Putra Mahkota, langkah Chang Kyun yang tenang namun terlihat buru-buru itu membimbingnya untuk menghadap pada sang tuan yang saat itu terduduk di tempat tidur. "Dari mana?" pertanyaan penuh selidik keluar dengan tatapan penuh selidik pula. Chang Kyun segera menjatuhkan kedua lututnya di samping Tae Hyung dan berbicara, "hamba sudah melalaikan tugas hamba, hamba pantas menerima hukuman, Putra Mahkota." "Baiklah, aku akan menghukummu." Chang Kyun sedikit kaget dan langsung menghindari kontak mata dengan Tae Hyung. Sementara Tae Hyung justru memicingkan matanya dan mencoba untuk mengintimidasi Chang Kyun. "Kim Chang Kyun, kenapa kau sering menelantarkan aku? Apa yang sebenarnya kau lakukan di luar sana?" "Hamba tidak pernah menelantarkan Putra Mahkota. Hamba mohon maaf jika Putra Mahkota merasa seperti itu?" "Jika minta maaf saja sudah cukup, tidak akan ada hukum di negara ini." Chang Kyun mencuri pandang beberapa kali, menolak untuk bertatap muka dengan Tae Hyung jika sudah seperti ini. "Katakan padaku." "Tidak ada yang ingin hamba katakan pada Putra Mahkota." Tae Hyung bergumam, "Rubah kecilku sudah pandai berbohong." Chang Kyun segera memalingkan wajahnya, berpura-pura tidak mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Tae Hyung. "Kim Chang Kyun, kau benar-benar ingin aku memberikan hukuman padamu?" Chang Kyun kembali menunduk dan berbicara, "hamba mengharapkan belas kasih dari Putra Mahkota." Seulas senyum hangat itu lantas kembali terlihat di wajah Tae Hyung. Sang Putra Mahkota mengulurkan tangan kirinya, bermaksud untuk menggapai bahu Chang Kyun. Namun apa daya punggungnya tidak bisa diajak untuk bekerja sama sehingga tangannya terhenti di udara. "Bisakah kau yang mendekat?" ujar Tae Hyung dengan wajah yang mengernyit. Chang Kyun kemudian mencondongkan tubuhnya, membiarkan Tae Hyung memegang bahunya. Tae Hyung lantas berbisik, "aku mendapatkan sebuah informasi." Garis wajah Chang Kyun menegang. "Informasi apa yang Putra Mahkota maksud?" "Sepertinya Pangeran Jung Hwan akan menyusup ke luar istana." Chang Kyun kembali menegakkan tubuhnya dan membuat tangan Tae Hyung menjauh dari bahunya. Garis wajah yang sebelumnya menunjukkan minat itu lantas tak lagi berminat. Terlebih lagi terlihat sedikit kekesalan di sana. Perasaan setelah seseorang telah melakukan sebuah kebohongan di hadapannya. "Hamba sudah sering melihat hal itu." "Kau mengikuti Pangeran Jung Hwan?" "Tidak, hamba hanya secara kebetulan melihat Pangeran di jalan." "Kau tahu apa saja yang dilakukan oleh Pangeran Jung Hwan di luar istana?" "Tidak, Putra Mahkota. Hamba tidak memiliki alasan untuk menjadi penguntit Pangeran Jung Hwan." "Siapa yang menyuruhmu menguntit," gumam Tae Hyung. Ia kemudian berbicara lebih keras, "kau mau melakukan sesuatu untukku?" "Sesuatu apa yang Putra Mahkota maksud?" "susullah Pangeran Jung Hwan." Chang Kyun menggeleng. "Kenapa?" Chang Kyun tetap menggeleng. "Kenapa ..." "Chang Kyun masih menggeleng. "Kim Chang Kyun." Chang Kyun lagi-lagi menggeleng. "Demi rasa sakit di punggungku yang terus menerus menyiksaku, pergilah ..." Helaan panjang itu keluar dari mulut Chang Kyun. Tak perlu merasa berdosa, dialah satu-satunya orang dari kasta bawah yang bisa dengan bebas menghela napas tepat di depan wajah sang Putra Mahkota Lee Tae Hyung. Antara kurang ajar dan mendapatkan hak istimewa, tergantung bagaimana cara orang memandangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD