Chapter 008

1551 Words
"Chang Kyun ... Kim Chang Kyun ..." panggil Tae Hyung yang terbaring di dalam paviliun tidurnya pada Chang Kyun yang duduk tidak jauh darinya. Chang Kyun yang mendengar panggilan Tae Hyung pun mendekat dan duduk tepat di samping kaki Tae Hyung. "Ye, Putra Mahkota?" Chang Kyun melihat ke arah Tae Hyung dengan sedikit iba meski dengan raut wajah datarnya, pasalnya sejak insiden jatuh tadi siang Tae Hyung tidak bisa bergerak dengan bebas karena punggungnya mengalami cidera. "Sebenarnya kau tadi dari mana?" tanya Tae Hyung yang menatap lurus ke langit-langit paviliunnya. "Hamba ada sedikit keperluan, Putra Mahkota." "Keperluan apa?" Chang Kyun tak menjawab dan membuat Tae Hyung memandangnya. "Kau tidak menjawab?" "Bolehkah hamba menjadikan hal itu sebagai rahasia?" "Tidak boleh, katakan apapun yang kau lakukan padaku," terdengar cukup egois, namun begitulah hubungan keduanya. Chang Kyun sejenak terdiam tanpa melepas kontak mata dengan Tae Hyung. Hingga akhirnya satu helaan pelan membimbing mulutnya untuk memberikan jawaban yang diminta oleh Tae Hyung. "Hamba pergi mengunjungi makam ibu hamba." Kali ini giliran Tae Hyung yang terdiam, dan itu berlaku untuk beberapa waktu ke depan. Beruntung tidak ada siapapun di sana selain mereka berdua, karena yang mereka lakukan saat ini tentunya akan membuat mereka yang melihatnya salah paham. Tae Hyung kemudian sedikit mengangkat tangannya dan menggerakkannya sebagai isyarat agar Chang Kyun mendekat. Meski terlihat ragu, Chang Kyun perlahan mendekat. Dan saat itu tangan Tae Hyung menepuk tempat di sampingnya agar Chang Kyun duduk di sana. Tanpa perlawanan, Chang Kyun lantas duduk di samping tangan Tae Hyung. Tae Hyung kemudian berucap, "jangan jauh-jauh. Suaraku tidak bisa lebih keras dari ini." "Sudah larut malam, Putra Mahkota sebaiknya beristirahat sekarang." "Aku sedang melakukannya." "Putra Mahkota harusnya menutup kedua mata Putra Mahkota." "Jika aku menutupnya, aku tidak bisa melihatmu." Chang Kyun kembali terdiam hingga helaan pelan kembali keluar sebagai perwakilan dari rasa frustasinya. Sedangkan saat itu seulas senyum yang begitu hangat terlihat di wajah Tae Hyung. Tae Hyung kemudian berucap, "kau tahu apa yang paling aku suka?" Chang Kyun menggeleng. "Saat kau berbicara. Aku menyukai suaramu, maka dari itu sering-seringlah berbicara." Chang Kyun tak memberikan respon, karena apa yang diminta oleh Tae Hyung merupakan hal yang sulit untuk dilakukan pemuda itu. Kim Chang Kyun, pemilik tatapan dingin sedingin rembulan itu tidak akan berbicara pada sembarang orang. Bahkan dia cenderung hanya berbicara pada Tae Hyung. Sosoknya yang misterius itu sering kali membuat orang-orang di sekitarnya salah paham, namun orang-orang yang mengenalnya dengan baik pasti tahu kenapa pemuda itu tidak banyak berbicara. Tae Hyung tiba-tiba bangkit dengan memegangi bagian belakang tubuhnya dan wajah yang sedikit mengernyit, membuat Chang Kyun melebarkan matanya. Chang Kyun hendak membantu Tae Hyung, namun sang Putra Mahkota segera mengangkat satu tangannya untuk menghentikan niatan Chang Kyun. Menahan rasa sakit di punggungnya, Tae Hyung memaksakan diri untuk duduk. "Sebaiknya Putra Mahkota kembali berbaring." "Tidak apa-apa. Aku masih muda, punggungku masih kuat." Chang Kyun tak lagi ingin merespon hingga ia memutuskan untuk menjatuhkan pandangannya. Namun saat itu perhatiannya tertuju pada tangan Tae Hyung yang meraih jemarinya dan kemudian menggenggamnya. Pandangan itu lantas kembali terangkat, menemukan suasana yang lebih serius namun tetap tenang seperti sebelumnya. "Berapa lama aku tidak melihatmu tersenyum, Kim Chang Kyun?" seulas senyum mengembang dengan sempurna di wajah sang Putra Mahkota. Namun sayangnya hal itu belum cukup untuk menyentuh hati dingin milik pemuda di hadapannya. "Tersenyumlah, tidak akan ada yang melihatmu." Waktu terus berjalan, namun keduanya justru berdiam diri. Hingga pada akhirnya Chang Kyun mengaku kalah. Wajah itu berpaling, menolak untuk mengabulkan keinginan tuannya. "Hamba tidak memiliki alasan untuk melakukan hal itu." Tae Hyung tersenyum lebar, hampir tertawa tanpa suara. Menunggu Chang Kyun tersenyum sama saja dengan mengharapkan hujan di kemarau panjang. "Tadi aku melihat utusan dari paviliun Baginda Raja. Apa yang dia sampaikan?" Chang Kyun kembali memandang, namun tak berani menarik tangannya yang masih digenggam oleh Tae Hyung. Pemuda itu kemudian menjawab, "Baginda Raja menginginkan pertemuan dengan Putra Mahkota." "Besok?" Chang Kyun menggeleng. "Putra Mahkota tidak bisa pergi ke manapun sampai Putra Mahkota sembuh. Jadi, Putra Mahkota tidak bisa menghadiri pertemuan itu." Tae Hyung tertawa pelan. Terlihat tak percaya namun seperti itulah Chang Kyun. Terkadang pemuda itu memutuskan sesuatu tanpa meminta izin darinya. Namun itu bukanlah masalah besar. "Kau sudah melakukan hal yang benar. Sekarang tidurlah dan pastikan aku melihatmu saat aku bangun besok pagi." Tae Hyung melepaskan tangan Chang Kyun dan kembali berbaring. Namun sesuatu tak terduga terjadi dan memancing keributan di paviliun sang Putra Mahkota malam itu. "Arghhh ..." Chang Kyun terkejut ketika Tae Hyung tiba-tiba berteriak saat punggung sang Putra Mahkota menyentuh tempat tidur. Bahkan suara sang Putra Mahkota sampai terdengar keluar dan membuat Kasim Seo berlari ke kamar dengan panik. "Putra Mahkota, kau tidak apa-apa?" Chang Kyun yang tidak pernah khawatir pun sekarang menunjukkan wajah khawatirnya. "Putra Mahkota ..." Keduanya melihat ke arah pintu keluar di mana samar-samar terdengar suara Kasim Seo yang terdengar panik. Tae Hyung dengan posisi yang sedikit miring sembari mengernyit kesakitan dan memegangi bagian belakang tubuhnya, melihat ke arah Chang Kyun yang juga tengah melihatnya dengan khawatir. "Changkyun," terucap dengan nada bicara dan wajah memelas. "Ye, Putra Mahkota?" "Sebenarnya ... punggungku sakit, Changkyun." "Untuk hal itu, hamba sudah tahu." Seulas senyum tipis tertangkap oleh penglihatan Tae Hyung. "Kau tersenyum?" "Tidak, Putra Mahkota." "Awas kau." "Putra Mahkota ..." pintu terbuka dengan lebar, menampakkan Kasim Seo yang langsung masuk dengan langkah terburu-buru. "Aku ingin menangis ... sekarang." °°°° Kelompok Pedagang, Hwa Seung dan juga Hwa Jung telah sampai di sebuah desa dan memutuskan untuk bersinggah di sana sebelum melakukan perjalanan kembali pada esok hari. Setelah semua orang beristirahat, Hwa Seung dan Ketua Park masih berbincang-bincang santai di luar. Sedangkan Hwa Jung yang berada di dalam kamar yang sama dengan Hwa Goon, terlihat sedang membersihkan pedangnya. Hwa Goon yang sedari tadi duduk di sudut ruangan dan memperhatikan Hwa Jung dari belakang sekilas melihat ke arah Yeo Wol yang sudah tidur. Dia pun perlahan bangkit dan berjalan menghampiri Hwa Jung, lalu duduk di samping gadis yang lebih tua darinya itu. "Agassi, boleh aku bertanya sesuatu?" Hwa Jung sekilas mendongak dan melihat Hwa Goon yang berdiri di sampingnya dan kemudian duduk berdampingan dengannya. "Jika itu membuat Agassi penasaran, silahkan tanyakan," jawab Hwa Jung yang melanjutkan pekerjaannya sebelumnya. "Dari mana Agassi belajar menggunakan pedang?" tatapan Hwa Goon tidak bisa lepas dari pedang yang saat ini di pegang oleh Hwa Jung. "Hwa Seung Orabeoni yang mengajariku." Orabeoni : Kakak (Panggilan untuk kakak laki-laki yang digunakan oleh wanita yang lebih muda.) "Tuan Bangsawan itu?" Hwa Goon melebarkan matanya yang berarti dia terkejut. Lantas Hwa Jung tersenyum sebagai tanggapan awal. "Jika boleh tahu, apa hubungan Agassi dengan Tuan Bangsawan?" "Dia adalah tunanganku." "Ye?" pekik Hwa Goon, tapi tidak terlalu keras karena menyadari bahwa Yeo Wol sedang tidur. Hwa Jung memasukkan kembali pedangnya dan menaruhnya di sampingnya, lalu menghadap ke arah Hwa Goon. "Agassi benar-benar beruntung bisa mendapatkan pria seperti Tuan Bangsawan," ujar Hwa Goon, dan terdapat sedikit rasa iri dalam sorot matanya. "Tidak juga, siapa bilang aku beruntung?" "Apa maksud Agassi? Bukankah Tuan Bangsawan orang yang baik? Dia juga terlihat bertanggungjawab." "Itulah yang terlihat di luar." Hwajung tiba-tiba mendekatkan kepalanya ke arah Hwa Goon dan menaruh tangannya di samping mulut seakan ingin menutupi pembicaraan mereka. "Sebenarnya dia orang yang sangat menyebalkan dan juga cerewet," bisik Hwa Jung, membuat Hwa Goon membulatkan matanya. "Benarkah?" Hwa Jung mengangguk dan secara kebetulan saat itu Hwa Seung yang tengah bercengkrama dengan Ketua Park tiba-tiba saja bersin. "Kau tidak apa-apa?" tanya ketua Park memastikan. "Tidak, aku tidak apa-apa. Sepertinya ada yang sedang membicarakanku." Ketua Park tertawa karena ucapan Hwa Seung yang dianggap mengada-ngada. "Aku tidak bercanda, aku serius. Pasti dua wanita di ruangan itu sedang membicarakanku," ujar Hwa Seung seolah-olah tengah menerawang ke ruangan yang ia tunjuk. Dan perbincangan kedua pihak itupun tetap berlanjut. "Tapi kalian terlihat sangat cocok, aku sedikit iri melihatnya," Hwa Goon menundukkan kepalanya ketika mengatakannya. "Suatu hari nanti Agassi juga akan mendapatkan pria yang cocok dengan Agassi." Hwa Goon mengangkat wajahnya dan menatapnya tidak percaya. "Benarkah? Tapi sepertinya tidak akan mudah menemukannya." "Dia sendiri yang akan datang pada Agassi." "Bagaimana Agassi bisa seyakin itu?" "Karena Agassi memiliki sesuatu yang bisa menariknya datang ke tempat Agassi." Keduanya tertawa pelan setelah saling bertukar pandang dan terdiam selama beberapa detik. "Aku lihat Agassi lebih tua dariku, bolehkah jika mulai sekarang aku memanggil Agassi dengan sebutan 'Eonni' agar lebih dekat?" Eonni : Kakak (Panggilan untuk kakak perempuan oleh adik perempuan.) "Kalau begitu, bagaimana aku harus memanggil agassi?" "Hwa Goon, cukup dengan Hwa Goon. Itu akan terdengar lebih nyaman." "Jadi apa mulai sekarang kita berteman?" "Teman?" "Ye." Malam itu, sebuah ikatan pertemanan terhubung antara kedua gadis muda yang dipersatukan oleh takdir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD