Setelah pulang dari apartemen Ricky, aku mengunci diri di kamar. Aku benar-benar harus mengembalikan kewarasanku. Selama di perjalanan, baik aku maupun Mas Gavin tidak ada yang memulai percakapan.
“Kenapa sih ada saja lagu yang berhasil mewakilkan perasaan. Kan bikin mau nangis.” Ucapku dengan volume suara yang cukup kecil, seakan sedang bermonolog dengan diri sendiri. Saat ini aku sedang menulis cerita yang menurutku cukup menyedihkan. Agar bisa membangun mood, aku pun menyetel lagu-lagu mellow.
Ketika suasana hatiku sedang tidak dalam keadaan baik, suara ketukan pintu terdengar sebelum akhirnya memunculkan wajah pria yang sedang memenuhi pikiranku.
“Mau ngapain?”
“Bawain kamu minum.”
“Enggak minta tuh.”
Memang biasanya Mas Gavin rutin membuatkan aku secangkir cokelat hangat ketika aku sedang diburu deadline menulis sehingga mengharuskan aku untuk begadang.
“Minum aja. Kamu laper enggak?”
“Sudah kenyang makan masakan yang kemarin aku masak sama masakan Mas Ricky.” Jawabku yang kembali menyinggung perihal kemarin.
“Maaf Zel.”
Sebenarnya aku cukup terkejut mendengar penuturan Mas Gavin. Mas Gavin itu tipe orang yang sulit sekali mengucap kata maaf.
“Untuk apa?”
“Tidak menghubungi dan membuat kamu menunggu.”
Aku tertegun sejenak, “Hm, ya sudah. Lagi pula aku memang enggak sepenting itu kan.”
Mas Gavin diam setelah mendengar jawabanku. Aku tuh memang bodoh. Entah bagaimana aku tidak bisa mendiamkan Mas Gavin, apalagi kalau sudah melihat wajah memelas Mas Gavin.
“Jangan tidur malam-malam. Istirahat ya, Zel.”
Sebenarnya dibalik sikap menyebalkannya Mas Gavin, dia itu orangnya sangat perhatian. Mungkin perhatian Mas Gavin menjadi salah satu alasan yang melatarbelakangi perasaanku ini.
“Iya.”
“Beneran sudah makan kan?”
“Sudah, tapi cemilan tengah malem belum.”
“Saya masakin ya?”
“Tumben?”
“Sebagai permintaan maaf.”
Aku paham sebagai seseorang yang memiliki profesi dalam bidang kuliner, terutama chef, Mas Gavin itu paling anti kalau disuruh masak di rumah.
“Request boleh dong Mas?”
“Mau makan apa kamu?”
“Mie instan yang iklannya ada Siwon, kayaknya enak.”
“Jangan makan mie instan, Zel. Enggak baik. Saya perhatiin kamu sudah beberapa kali makan mie instan dalam kurun waktu seminggu.”
“Mas perhatiin aku ya? So sweet.”
“Terserah. Saya masak spaghetti carbonara ya? Kamu suka makan itu kan?”
Aku menganggukkan kepalaku dengan antusias.
“Kamu tumben baik banget.”
“Lain kali kamu harus masak untuk saya.”
“Enggak mau, nanti enggak dimakan, bikin sakit hati doang.”
“Maaf.”
“Iya, apa sih yang enggak buat kamu Mas.”
Pada akhirnya aku selalu memaafkan Mas Gavin.
**
Pada awalnya aku tidak terlalu menyukai waktu senja, entahlah hanya saja perasaan tidak suka itu muncul tiba-tiba. Tetapi hari ini aku malah duduk di teras menatap senja yang sedari tadi menghiasi langit sore. Sepertinya pikiranku hari ini sedang tidak waras.
“Kamu ngapain di teras? Sudah mau malam, nanti kedinginan.”
“Tumben pulang cepat, Mas.”
“Mau pergi.”
“Kemana?”
“Jalan, suntuk di rumah. Mau ikut?”
“Mau banget!”
Mas Gavin itu jarang sekali mau mengajak aku pergi jalan kecuali kalau lagi belanja bulanan. Ketika mendengar ajakan Mas Gavin, aku pun langsung bergegas mengganti pakaian.
“Mas, aku nyalain radio ya?”
Suasana di mobil Mas Gavin cukup sunyi, makanya aku memutuskan untuk meminta izin agar dapat menyalakan radio.
Mas Gavin tidak menjawab ucapanku, ia hanya menganggukkan kepala tanda mengizinkan.
“Nanti kita ke tempatnya Rena ya. Saya mau jemput dia.”
Aku pikir ini adalah quality time aku dan Mas Gavin. Ternyata hanya aku seorang diri yang berpikir demikian. Sempat-sempatnya Mas Gavin mengajak orang lain untuk bergabung atau sebenarnya malah aku yang sebagai orang ketiga di sini?
“Untuk apa jemput Rena?”
“Kebetulan tadi Rena ajak jalan, katanya dia mau traktir saya karena dia berhasil menjadi model Mbak Yuni, tahu kan?”
“Desainer yang setiap kali mengeluarkan produk terbaru pasti ludes?”
“Iya.”
“Terus hubungannya sama kamu apa?”
“Ikut merayakan pencapaian dia.”
Aku tersenyum miris, hari ulang tahun aku saja Mas Gavin tidak pernah ingat sehingga kami tidak pernah merayakan bersama. Ketika pertama kali aku berhasil menerbitkan buku atau buku yang kutulis menjadi best seller, Mas Gavin pun tidak pernah memberikan aku ucapan selamat apalagi sebuah perayaan.
“Mas, nanti turunkan aku di apartemennya Ricky aja. Nanti kita lewat sana kan?”
“Kenapa?”
“Enggak apa-apa, aku takut ganggu aja.”
“Ganggu kenapa? Saya sudah bilang dengan Rena juga kok kalau saya ajak kamu.”
“Mas mau antar aku ke tempat Ricky atau aku turun di sini sekarang juga?” Suaraku terdengar serak saat mengatakan ini. Hati mana sih yang tidak patah mendengar pria yang disukai mengucap nama wanita lain ketika sedang berdua?
“Kamu ngapain ke sana?”
“Mas Ricky kayaknya lagi enggak sehat, jadi aku mau jenguk. Mungkin juga aku enggak pulang malam ini." Jawabku sembari menahan tangis yang sebentar lagi mungkin akan tumpah, sebenarnya aku hanya mengarang perihal Ricky yang sedang sakit dan aku memang sengaja menambah embel-embel ‘mas’ di depan nama Ricky.
“Memang kamu siapanya Ricky sampai sebegitu peduli dengan dia?” Tanya Mas Gavin dengan nada tidak senang.
“Calon istri mungkin? Makanya aku terus perhatikan Mas Ricky biar dia mau nikah sama aku.” Jawabku yang sebenarnya asal saja, sepertinya aku sedang tersulut emosi.
“Kita pulang.”
“Kita? Aku kan mau ke apartemennya Mas Ricky.”
“Saya bilang kita pulang.”
“Kamu kenapa sih Mas? Kalau enggak mau anter, aku bisa naik ojek.”
“Saya tidak akan mengulangi ucapan saya, Zelia.”
"Katanya kamu sudah ada janji dengan Rena, mau merayakan kan? Ya sudah, aku enggak ganggu. Bukannya malah bagus?”
“Saya sudah batalkan janji dengan Rena. Kita pulang sekarang.” Ucap Mas Gavin dengan nada tegas seakan menyiratkan bahwa dia sedang tidak ingin dibantah.