Siang ini aku akan pergi ke acara ulang tahun anaknya salah satu temanku dan Mas Gavin. Sebenarnya aku tidak berniat pergi karena aku tidak terlalu menyukai suasana ramai, tetapi karena Dion sudah memberikan ultimatum untuk datang makanya aku pun memutuskan untuk hadir.
“Zel, kita pergi sekarang?” Tanya Mas Gavin yang juga sengaja meluangkan waktu untuk pergi ke acara ulang tahun anaknya Dion. Mas Gavin yang hanya memakai kemeja pun sudah berhasil membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Kayaknya apapun yang berhubungan dengan Mas Gavin itu berhasil membuat jantungku lemah.
Aku menganggukkan kepalaku, “Kado sudah di mobil kan Mas?”
“Iya.”
Setelah itu tidak ada pembicaraan yang begitu berarti di antara kami. Terus terang, aku masih kesal dengan kejadian waktu itu.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk aku dan Mas Gavin sampai ke lokasi tujuan karena waktu tempuh hanya berlangsung sekitar dua puluh menit.
“Datang berdua? Pakaian kalian match. Pacaran ya? Kayaknya sudah cocok nimang anak.” Cecar Dion menyambut kedatangan kami.
“Enggak pacaran.” Jawaban tegas dari Mas Gavin berhasil membuat perasaanku campur aduk. Aku menganggap ucapan Dion hanya gurauan semata karena dia tahu betul kalau hubungan aku dan Mas Gavin hanyalah cinta bertepuk sebelah tangan, tetapi yang membuat aku kecewa adalah tanggapan serius dari Mas Gavin yang seakan-akan menegaskan bahwa kami tidak pacaran.
“Selamat ya, anak lu sudah setahun aja bro.” Iya, aku memanggil Dion dengan sebutan bro. Rasanya lebih nyaman saja, tidak ada alasan spesifik.
“Makanya nikah biar tahu serunya jadi orang tua tuh bagaimana.”
“Doain aja semoga tahun ini ya.”
“Seriusan Zel? Lu sudah punya calon?”
Aku melirik Mas Gavin yang nampak tak tertarik dengan pembicaraanku dan Dion, “Ada.”
“Siapa? Gavin?” Tanya Dion.
Aku tersenyum, “Mungkin?”
Dion menyentil pelan dahiku, “Sudah jelas-jelas ditolak. Masih berharap aja.”
“Menyerah itu lebih sulit dari pada bertahan.”
“Kenapa enggak sama Ricky?”
Mas Gavin walaupun tampak tak peduli, sebenarnya diam-diam mendengarkan pembicaraan aku dan Dion.
“Boleh deh. Ya sudah doain aja sama Ricky.” Ucapku yang sengaja memancing reaksi Mas Gavin.
“Ricky baik gitu, jangan lu sia-siakan Zel.” Ujar Dion yang ikut serta mengompori Mas Gavin.
“Siap bro!”
Aku menoleh ke samping, melirik apakah ada perubahan pada raut wajah Mas Gavin yang lempeng itu. Namun, yang kudapati ternyata hanyalah raut wajah datar seperti biasa. Dasar kanebo kering!
“Dion, saya sepertinya tidak bisa lama-lama. Selamat ya. Ini kado dari kami.”
“Iya thanks sudah datang dan kadonya. Pulang bareng Zelia kan?”
Mas Gavin melirikku, “Iya.”
“Bro, gue pulang dulu ya. nanti contact ke gue aja cowok yang kata lu manis itu.”
“Tenang. Bisa diatur. Hati-hati Zel.”
Saat berjalan menuju tempat Mas Gavin memarkirkan mobil, aku dengan tidak sabaran bertanya, "Aku gak ada kesempatan lagi gitu Mas?" Tanyaku yang sepertinya aku sudah kebawa perasaan. Iya, penuturan Mas Gavin tadi masih terbayang-bayang dalam benakku.
"Gak ada." Tegas Mas Gavin.
"Saya maunya kita temanan saja. Saya gak pernah mandang kamu sebagai wanita." Lanjut Mas Gavin.
"Sekalipun Mas gak pernah ngerasa deg-degan dekat aku? Sekalipun Mas gak pernah mandang aku sebagai wanita?" Tanyaku sekali lagi memastikan.
Oh tolonglah kendalikan dirimu Zel, kalau volume suaraku lebih besar lagi mungkin aku dan Mas Gavin sudah menjadi bahan tontonan orang-orang.
"Maaf." Hanya satu kata yang berhasil lolos dari mulut Mas Gavin.
"Maaf?" Ujarku mengulangi.
"Untuk apa? Mas ngerasa bersalah kalau aku suka sama Mas?" Tanyaku diiringi dengan nada frustasi.
"Maaf Zel."
"Terserah." Ujarku yang lalu pergi untuk menenangkan diri.
***
"Ky, gue kayaknya udah capek deh suka sama Mas Gavin." Ucapku secara random yang berhasil membuat Ricky menatapku agak lama.
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke apartemen Ricky setelah insiden ribut aku dan Mas Gavin tadi.
"Lu kesambet?" Tanya Ricky setelah sekian lama hanya melihatku dengan raut wajah bingung.
"Iya, rasanya gue bucin banget gak sih? Mas Gavin gak pernah hirauin gue, gak pernah peduli sama gue. Mau gue bilang cinta beribu kali juga kayaknya gak bakal ngaruh." Gumamku sembari merenungkan kejadian tadi siang.
"Baru sadar?" Sarkas Ricky yang membuatku mengacak rambutku saking kesalnya.
"Iya. Gue bodoh banget, kenapa gue harus cinta sama manusia kayak gitu?" Ungkapku dengan nada frustasi.
Ricky mendekat kepadaku, mengelus puncak rambutku pelan seperti ingin memberikan aku rasa nyaman, "Gak selamanya cinta itu harus saling memiliki, Zel. Lu berani jatuh cinta? Ya berarti lu juga harus siap buat ngerasain sakit. Gak ada dalam sejarah yang namanya jatuh itu gak sakit."
Tumben Ricky sok iya banget nasihatinnya.
"Hibur gue."
"Lu mau apa?"
"Makan. Masakain dong. Lu kan juga pintar masak."
"Lidah lu kan udah sering nyicip makanannya Gavin, ntar masakan gue lu lepehin. Macem chef Una."
"Apaan sih chef Una?"
"Suka-suka gue mau nyebutnya apaan."
"Kok lu lama-lama ngeselin sih Ky."
"Lu yang ngeselin. Setiap kali dateng ke gue kalau lagi galau. Apaan coba."
"Orang yang bisa mengerti gue kan cuman lu doang Ky."
"Bacot." Ucap Ricky yang disambut dengan toyoran manis dariku.
"Gak boleh gitu sama cecan."
"Kalau lu cewek cantik, Gavin pasti udah klepek-klepek sama lu."
"Kok lu kalau ngomong suka bener ya."
"Iyalah, pulang sono. Dicariin mamas lu tuh." Cerocos Ricky saat melihat ponselku yang layarnya sedang menampilkan notifikasi pesan dari Mas Gavin.
"Bodo amat. Gue mau move on!" Iya, ini udah yang keberapa ratus kalinya aku mendeklarasikan mau move on. Tapi kenyataannya selalu gagal.