Kawan Main Bimbim

1727 Words
Usiaku enam belas tahun sekarang. Dan Bimbim jauh di atasku. Dia dua puluh tiga. Ketika aku lahir ke tengah-tengah keluarga, kakakku berusia tujuh dengan kemampuan menyerap pengetahuan yang payah. Sehingga ibu merasa perlu untuk menitipkan gelar sang penjaga padaku. Di usianya yang sekarang, Bimbim adalah Bimbim yang sama saat tujuh belas tahun lalu. Dia masih gemar mencakar diri ketika marah dan bicaranya tidak begitu jelas. Hanya orang yang sering berinteraksi dengannya sehari-hari yang mampu memahami maksudnya. Dan itu adalah kami, satu-satunya. Bimbim tidak punya kawan atau lebih tepat dikatakan ia dan anak-anak desa yang tidak tahu bagaimana tata cara tepat untuk berkawan. Kakakku tidak suka berbagi permen dan mainan dan ia tidak bisa dijadikan pemeran utama bahkan figuran saat anak-anak lain bermain sandiwara. Bimbim bermain dengan dirinya sendiri, di tengah-tengah permainan yang sedang kami mainkan. Pernah sekali waktu, saat kami sedang bermain batu dampar, Bimbim berada di tengah-tengah arena lempar batu. Dan susah sekali memaksanya minggir. Seorang kawan yang kesal dan gemas nekat melemparkan batu dengan niatan membidik batu-batu yang ditata di garis di ujung arena. Atau jika pun ia memiliki niatan untuk melempar Bimbim, siapa pula yang akan tahu? Dan tanpa perlu mengulur narasi yang lebih lama, aku beritahu kalian bahwa batu yang melesat itu mengenai dahi Bimbim yang tiba-tiba berlari seakan ia menyongsong kedatangan benda alam itu. Dan tanpa perlu kujelaskan dengan berbelit-belit lagi kepada kalian, duhai pembaca, ibu sudah jelas melimpahkan kemarahannya padaku. Katanya saat ia mendapati aku pulang menggamit lengan Bimbim dan dahinya berlumur darah adalah: "Kamu gagal menjaga Kakakmu hari ini, Sena." Lalu Bimbim berlari ke pelukannya dan ibu mengajaknya ke kamar untuk merawat lukanya.Tanpa menolehku lagi atau mengajukan secuil pertanyaan basa-basi, lalu bagaimana denganmu Sena? Apa kamu baik-baik saja? Tidak tahukah ibu bahwa aku juga terluka saat itu? Jauh di dalam diriku. Di dalam sebuah tempat yang bernama benak yang aku tak tahu di mana letaknya hingga hari ini. Usiaku, seingatku, menjelang dua belas saat batu kali berbentuk lempeng itu menyabet jidat Bimbim. Apa sih yang ibu harapkan dari anak seusiaku agar selalu mengawasi gerak-gerik Bimbim yang saat itu baru saja merayakan ulang tahun kesembilan belas? Tubuh kami bagai hiu dan remora. Dan barang tentu akulah remora itu. Setiap kali aku akan berangkat bermain, Bimbim akan berdiri menghadangku, kedua tangannya menggenggam sejumlah koin dari lipatan daun pisang, dan ia memandangku penuh selidik. "Mau kemana?" katanya. Ia bertanya dan suara yang keluar dari mulutnya adalah blup blup blup gelembung air. Namun aku telah makan dan tidur berdampingan dengannya selama belasan tahun jadi, memahami perkataannya adalah perkara mudah meski ada satu atau dua waktu terasa sukar. Sebab, sebagaimana sifat gelembung yang meletup-letup, Bimbim pun begitu. "Jangan ikut! Aku akan pergi ke tempat berbahaya. Kalau kamu memaksa ikut kakimu akan dipatuk ular sawah," sahutku sembari menoleh seluruh sudut rumah--khawatir jika ibu tiba-tiba muncul dan menegur ucapanku. Sebenarnya, jika memungkinkan, ibu ingin aku senantiasa di rumah, bermain saja berdua bersama kakakku. Tapi itu mustahil. Rumah, pada saat-saat tertentu adalah tempat yang menjemukan.Terlebih, bermain bersama kakakku hanyalah berarti bahwa aku harus mengasuh bayi. Aku selalu punya janji dengan kawan sekolah. Kami akan bertemu sepulang sekolah, memainkan banyak permainan seru dan lalu merendam tubuh di sungai sebagai penutupan acara harian kami. Aku akan kembali ke rumah saat larut dan hari sudah surut. Apalagi saat itu musim panen padi baru saja berakhir dan sawah menjadi tempat yang menyenangkan untuk menerbangkan layangan. Mengajak Bimbim hanya akan merepotkanku. Larinya tidak seimbang dan bahkan ia tidak bisa menolong dirinya sendiri saat tercebur lumpur sawah. "Kamu akan ke sawah?" sahut remaja menjelang dewasa itu. Ia mengenakan kaos cokelat s**u yang semakin mengesankan tubuh tambunnya menjadi berkali-kali tambun. "Aku mau ikut." Ia mengabaikan penolakanku bahkan sebelum ia mengutarakan keinginannya. "Tidak boleh." "Ikut, Sena. Aku mau ikut." "Jangan kataku." Bimbim merengut. Perutnya naik turun seiring dengan helaan napasnya. "Ikut!" Ia berseru setengah berteriak. "Tidak!" Sahutku tak kalah keras. "Kuadukan kamu pada Ibu." "Adukan saja. Aku tidak takut." Kakiku menyuruk sandal jepit merah yang permukaannya telah tipis dan pecah-pecah dan di garis pecahannya ada noda hitam tanah dan kotoran yang sukar dihilangkan. Sandal itu menyerap sempurna noda. Bimbim akan mengikuti gerakanku tapi aku menendang sandalnya hingga halaman. Ia histeris. Aku lalu menoleh kakakku, menghadiahinya seulas senyum picik dan menjukurkan lidahku dan lalu berusaha berlari sekuat tenaga, meninggalkan ia dan tangisnya di belakang. Sering upaya itu berhasil. Namun, bukan berarti kegagalanku menjadi lebih sedikit. Kadang-kadang ibu muncul dari dapur, dari halaman, dari kamar, dari sumur, dan dari mana saja saat ia mendengar adu mulut kami. Lalu ia akan mengeluh. Kamu apakan Kakakmu, Sena? Sena. Oh, Sena. Berapa kali Ibu katakan untuk tidak mengganggu Kakakmu? Sena! Sini! Kembali. Mau kemana? Kalau tidak pergi bersama Kakakmu sebaiknya kamu bermain di rumah saja. Coba lihat Kakakmu, Sena. Dia menangis. Apa kamu tidak kasihan? Butuh waktu berjam-jam agar ia kembali tenang dan berhenti memukul-mukul tubuhnya. Hari itu aku sedang beruntung dengan tidak bertemu ibu. Barangkali ibu sedang menjemur pakaian di halaman belakang atau mandi sehingga tidak memungkinkan baginya turun tangan melerai kami. Aku melesat keluar dari pintu pagar. Ayah yang sedang melayani pembeli di toko bersama seorang pekerjanya hanya melihatku sekilas. Ia paham apa yang sedang terjadi dan ia enggan berupaya mengambil sikap untuk menahanku. Aku begitu menyukainya, pada saat tertentu, seperti siang itu. Bimbim pernah punya beberapa kawan sebaya di desa. Mereka bermain bersama, meski pada kenyataannya lebih banyak olok-olok yang kakakku terima dari mereka. Saat mereka beranjak dewasa dan kumis dan jakun menjadi penunjang tampilan mereka yang tampak matang, dan mereka mulai kerap mencemooh kanak-kanak yang gemar merendam diri di kali dan berburu belalang dan buah manting di kebun orang sebagai sesuatu yang telah kadaluarsa dan memalukan jika dilakukan oleh orang dewasa setengah matang, maka saat itu Bimbim tetaplah Bimbim yang gemar bermain koin daun pisang dan sikap kekanakan masih melekat padanya, menjadi sesuatu yang utuh yang belakangan aku menyadari merupakan Bimbim yang itu. Yang jika kau melihatnya dari jarak sekian meter dan pandanganmu menjadi terbatas, maka kau akan yakin bahwa dialah Bimbim. Hanya Bimbim. Kalian tahu maksudku, bukan? Kakakku serupa seekor kambing yang tersesat dari rombongannya di padang rumput dan lalu memilih bergabung bersama gerombolan sapi namun sayangnya, ia tak mendapat sambutan baik.Kawan sebayanya telah melesat meninggalkannya jauh di belakang, menjelma lelaki setengah matang yang mulai main percintaan dan belajar ciuman di pojok-pojok warnet dan gedung, memberanikan diri menyulut rokok, menonton gambar dan video b***l, dan sebagainya. Mereka--remaja seusia itu--meyakini perilaku semacam itu sebagai sebuah simbol kedewasaan. Bimbim bisa diibaratkan tinggal kelas dalam dunia perkawanan. Tahun-tahun berlalu, level kelasnya tahu-tahu menjadi sama dengan persebayaku. Dan semua itu tentu saja tidak menyelamatkannya dari mendapatkan cemoohan. Mulut kanak-kanak sebayaku yang kasar sering mengolok-olok Bimbim dengan panggilan i***t gondrong, kambing jenggotan, dan siluman dugong. Rambut kakakku memang ikal kecil-kecil dan dibiarkan panjang sebahu. Ia enggan rambutnya dipotong. Sebab katanya ia ingin rambutnya persis milik ibu. Kulit Bimbim cemerlang. Ibu menggosoknya dengan batu apung setiap kali mandi. Bahkan di umurnya yang sekarang, ia masih dimandikan ibu. Berbeda denganku yang diharuskan mandi sendiri sejak kelas dua sekolah dasar. Meskipun terkadang aku membenci kakakku, tetapi aku juga dongkol jika kawan-kawan mengolok-oloknya dan ia hanya diam saja. Astaga, manusia satu itu. Apa dia bahkan bisa berpikir? "Lawanlah mereka, Bimbim. Kau harus berjanji padaku untuk melawan mereka jika anak-anak tengil itu merebut koin daunmu. Kalau tidak akan kupulangkan kamu. Mengerti?" kataku suatu siang. Saat itu aku kedapatan oleh ibu akan meninggalkannya sendirian di rumah dan dengan keterpaksaan yang bercampur kemarahan yang kemudian dipanggang matahari siang yang lalu melejit menjadi hasrat marah yang berkobar-kobar. Kalian pernah menyaksikan bendera merah putih yang dihempaskan angin Agustus? Ya. Serupa itulah hasratku. Bimbim mengangguk mantap sekali. Wajahnya begitu riang dengan bola mata yang membesar. Ia berputar-putar di sisiku sembari bilang yes yes yes di tengah-tengah teriakannya. Ia pasti tak begitu peduli dengan permintaanku barusan. Maka aku merasa perlu mengulangi ucapanku. "Kau dengar kataku tidak?" Bimbim masih berputar-putar. Aku menarik bahunya dan mengunci pandangannya. Ia menghentikan ritual tarinya dan setelah bertemu pandang mataku sekilas, ia buru-buru merunduk melepaskan tatapannya dari kuncianku. Ia mengerang kecil dan berusaha melepaskan tanganku yang meremas bahunya. "Kamu dengar aku bilang apa tadi?" Bimbim menggeleng. Namun sejurus kemudian ia mengangguk. "Kau dengar?" Bimbim tampak gelisah. "Ya," sahutnya. Aku menyeringai kecil. Kakakku sedang berbohong. Aku tahu betul itu. Aku lalu melepaskan tanganku dari bahunya. Saat itu kami sedang berada di jalan setapak pinggir kali yang akan membawa langkahku--maksudku aku dan Bimbim menuju sebuah lapangan kecil tempat aku dan kawan sekolahku janjikan sebagai arena permainan gobak sodor. "Aku bilang apa tadi? Coba ulangi perkataanku." Bimbim kembali mengerang. Ia mencubit-cubit dan lalu mengelopek kutikula kukunya. Aku menegur tindakannya itu. Kubilang ia akan melukai jari-jarinya, tetapi Bimbim malah memindahkan tangannya ke belakang, meneruskan aksinya tanpa ketahuan aku--begitu pikirnya. Aku mendesah panjang. "Baiklah Bimbim. Biar aku saja yang mengulanginya. Jadi dengarlah dengan baik. Kamu harus melawan bocah tengil yang mengganggumu nanti. Jangan diam saja dan malah mencakar pipimu sambil menangis. Mengerti?" Bimbim mengangguk. Aku menantangnya mengulang perkataanku. Ia menjawab dengan lancar dengan suaranya yang meletup-letup serupa gelembung. Mendengar jawaban Bimbim, aku menjadi sedikit lega kendati pada akhirnya aku tahu, ia tak akan sanggup melakukan pesanku itu. Setiba di lapangan, Bimbim aku minta melihatku bermain dari jarak aman. Aku bilang padanya bahwa permainan ini berbahaya dan aku juga mengungkit-ngungkit kejadian lalu saat dahinya terkena lempar batu sebagai peringatan baginya. Siang itu aku dan kawan-kawanku bermain dengan tenang tanpa gangguan berarti dari Bimbim. Sesekali aku memandanginya yang sedang menghitung koin-koinnya dengan serius. Ia duduk bersandar pada batang pohon kenitu di samping barisan sepeda kawan-kawanku yang diparkir sembarangan. Mulut kakakku komat-kamit merapal angka. Saat permainan geobak sodor berakhir. Kami mengistirahatkan tubuh dan berembuk perihal kelanjutan dari hari kami yang masih panjang. Perihal permainan apa lagi yang mesti kami mainkan. Seseorang di antara kami menyalahi Bimbim, menggaburkan letak koin-koinnya. Bimbim hanya merunduk. Tidak melakukan apa-apa. Semua anak tertawa kecuali diriku. Mereka memekik i***t gondrong oh i***t gondrong. Aku memaki-maki dalam hati. Lawan Bimbim! Lakukan sesuatu! Namun Bimbim tak bergeming. Ia kembali mengopek kutikula kukunya. Aku jengkel melihat semua itu. Dan sayangnya tak ada yang bisa aku lakukan. Jika aku terang-terangan membela Bimbim saat itu maka, harga diri kami berdua akan hancur. Dan bocah-bocah tengil itu juga akan memasukkan namaku dalam daftar orang wajib dicemooh berikutnya. Dan mereka akan memutus perkawanan denganku. Jadi aku diam saja. Dan saat sudah tak tahan sekali, aku berteriak pada kawan-kawan bahwa sebaiknya kami melanjutkan permainan--semata-mata hanya supaya mereka berhenti menganggu Bimbim.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD