Ibu meninggal di rumah sakit kabupaten ketika aku berulang tahun yang ketujuh belas. Dua bulan lalu. Ia hamil lima setengah bulan dan kehilangan banyak darah setelah keguguran anak ketiga.
Usia ibu mendekati paruh baya. Bidan desa yang memeriksanya bilang kehamilan di usia itu sangat beresiko. Baik aku maupun ayah--saat diberitahu ia hamil lagi--menyarankan agar ia melepas kehamilannya. Penting juga bagi ibu untuk memperjuangkan nyawanya. Namun ibu menolak saran kami, ia bilang akan menjaga janin dalam kandungannya dan membesarkannya. Dan selang beberap hari sejak ucapannya itu, ia--bersama janinnya meninggalkan kami selamanya, dalam artian yang sebenar-benarnya meninggal.
Nawang Wulan telah pulang ke kayangan, selamanya.
Saat sirine ambulan membelah udara sore itu, saat jenazah ibu tiba di halaman, para sepupu dan kerabat bergegas menyambutnya lalu mengurusnya. Ayah mengunci diri di kamar beberapa jam sesaat setelah aku mencengkram kerah bajunya di depan orang ramai. Aku memiliki hak untuk marah padanya setelah apa yang ia sembunyikan. Aku dan Bimbim tidak diberitahu apapun sebelumnya. Kami mendengar kabar kematian ibu justru dari pengeras suara masjid.
Kalian, pembacaku yang setia. Apa kalian sudah pernah ditinggal mati seseorang yang melahirkan kalian, yang rahimnya pernah menjadi rumah kalian? Jika belum, maka akan kuberitahu rasanya. Tapi aku tidak bisa menjanjikan kalian akan tegar meski telah mengetahui pengalamanku ini jika seandainya, pada suatu hari nanti orang itu dipanggil Tuhan, meninggalkan kalian. Sebab kalimat motivasi dan ajakan untuk baik-baik saja terdengar bagai bualan yang memuakkan. Kalian hanya menginginkan orang-orang berhenti bicara seperti itu, saat itu–percayalah padaku. Dan bagi kalian, pembacaku–yang telah atau baru saja mengalami apa yang juga menimpaku, maka dengarkan ini: jangan baik-baik saja. Ya, jangan baik-baik saja sebab kalian memang tidak.
Setelah menarik-narik kerah baju ayah dengan disertai u*****n yang keluar dari mulutku, aku ditarik sepupuku untuk duduk di kursi lalu diambilkannya aku segelas air. Namun aku enggan meminumnya. Kerongkonganku menolak air itu. Mataku menolak melihat jasad ibuku. Pikiranku menolak kematian itu. Satu-satunya yang aku tahu yang aku bisa lakukan hanyalah menyangkal. Aku bahkan tidak ingat ada Bimbim yang harus aku pastikan keadaannya.
Seseorang–entah–aku tidak ingat siapa–berbisik padaku. Rasa-rasanya suara perempuan. Yah, sebatas itu yang ingatanku mampu lakukan. Ia bertanya apa aku kuat ikut menshalati ibu atau tidak. Dan tepat saat itu aku menyadari penyangkalanku adalah kerja bodoh otak yang sia-sia. Ibuku mati. Itulah kenyataannya. Kemudian, air mata yang sangat terlambat mengalir dari pelupuk mata turun ke pipi dan dagu dan leher.
“Di mana Bimbim?’’ tanyaku saat itu.
“Dia sedang bersiap-siap untuk ikut menshalati Ibumu.”
Aku terkejut mendengar ucapan orang itu. Saat aku menoleh ke arahnya, punggungnya sudah ditelan tubuh manusia lainnya di ruang utama rumahku. Aku mengusap air mataku dan bergegas mendatangi pusat keramaian di halaman rumah. Jasad ibu sudah berbalut kafan. Semerbak bubuk cendana dan bunga tabur menguar kemana-mana. Bimbim ada di sana, ia begitu dekat dengan jasad ibu. Ia memakai sarung dan baju koko yang tampak memaksakan diri muat di tubuh bongsornya. Aku juga melihat ayahku berdiri tak jauh dari sana, dikerumuni orang yang berbela sungkawa.
“Hai,” aku menyapa Bimbim setelah duduk bersisian dengannya. Kami begitu dekat hingga aku bisa merasakan lengannya yang berlemak yang bergesekan dengan lenganku.
“Ibu akan naik haji ke rumah Tuhan.”
“Apa katamu?”
“Ibu akan naik haji ke rumah Tuhan. Kita masih kecil untuk boleh ikut.”
“Siapa yang mengatakannya padamu?”
“Orang-orang itu. Mereka semua mengatakan begitu.”
Aku tidak yakin apa ekspresiku saat itu. Aku menoleh Bimbim. Ia tak berkedip menatap jasad ibu yang beberapa bagian mukanya telah tertutup oleh potongan-potongan kapas. Tidak ada air mata dan gurat sedih di wajah Bimbim. Ia seperti baru saja bangun tidur terlalu pagi dan menemukan ibu masih pulas dalam tidur dan dengkur.
“Ibu sedang menunaikan kewajibannya sebagai hamba Tuhan. Ibu akan pulang secepatnya.”
“Bagaimana jika tidak?”
“Tidak?”
“Ya, bagaimana jika Ibu,” ucapanku terhenti, akan getir sekali kedengarannya nanti, tapi–”Bagaimana jika Ibu tidak kembali?”
“Ibu tidak mau pulang?”
Aku mengangguk. Setengah mati aku menahan agar air mataku tidak sampai jatuh.
“Kenapa tidak mau pulang? Itu tidak mungkin. Ibu akan merindukanku. Ibu–hm–Ibu tidak akan kuat berpisah denganku lama-lama.”
Aku diam saja. Bimbim menolehku. Ia meringis, katanya:” Ibu belum berangkat tapi kamu sudah menangis.”
Suara Bimbim tertelan oleh suara orang ramai yang membaca surat yasin. Namun tetap saja, suaranya bisa terdengar olehku–sangat jernih, diucapkan tanpa prasangka, serupa gelembung yang pecah di dalam gendang telinga. Agak mengganggu sebenarnya–dan sakit.
“Bimbim.” Aku berujar lirih.
“Hm.”
“Bimbim.”
“Hm.”
Aku menamatkan tatapanku pada wajah ibu dan Bimbim dan aku tak sampai hati mengolok-olok keluguannya. Bimbim bukannya tidak pernah melihat sesuatu yang hidup lalu mati. Ia pernah. Ia pernah bersamaku menguburkan kupu-kupu biru yang mati dimakan semut yang kami temukan di lantai kamarnya. Kupu-kupu biru itu kehilangan sebagian sayapnya. Kami masih kecil kala itu. Aku juga pernah mengajak Bimbim bermain ketapel. Kami membunuh seekor anak ayam saat itu dan juga menguburkannya agar pemiliknya, seorang nenek sebatang kara tetangga kami, tidak mampu mengendus ulah kami–maksudku ulahku. Bimbim justru merupakan saksi dari pembunuhan sadis itu.
Bimbim tahu, saat jam dinding mati, maka baterai harus diganti. Dan, benarkah saat ini Bimbim tidak tahu bahwa ibu telah mati? Benar-benar tidak tahu? Bagaimanapun juga, ini adalah pengalaman kami begitu dekat dengan jasad orang meninggal–bisa dibilang pertama kalinya. Dan sial sekali, jasad itu adalah ibu kami. Nawang Wulan kami.
Keluguan Bimbim tidak patut lagi aku pertanyakan, bukan? Apalagi orang-orang telah menjejalinya doktrin bahwa manusia yang meninggal adalah manusia yang akan naik haji ke rumah Tuhan. Entah mengapa ada bagian dari dalam diriku yang lega akan kepalsuan itu. Yah, setidaknya mereka yang pernah mengolok-olok Bimbim itu mau berbaik hati sehari dengan mengatakan hal itu–jika kalian juga menyebutnya sebagai kebaikan.
Bimbim menggeser duduknya mendekat ke jasad Ibu. Ia mengelus pipi Ibu dan membuka kapas yang menutupi mata perempuan nomor satu di hidup kami itu. Bimbim mengejutkanku dengan ciuman yang ia berikan pada dahi dan mata dan pipi ibu. Dan aku semakin terkejut saat ia bertanya, “Sena, kamu juga mau mencium Ibu?”
“Tidak. Aku sudah besar. Aku tidak mau mencium dicium Ibu dan dilihat orang banyak. Itu membuatku tampak seperti kanak-kanak.”
“Tidak mau mencium Ibu, benar?” Bimbim menolehku.
Seketika itu ingatanku melemparku ke masa-masa awal sekolah dasar. Setiap saat ibu akan mendaratkan kecupan di pipiku saat mengantar sekolah, setiap itu pula aku mengusap-usap pipiku dan marah-marah. Aku sudah besar dan aku tidak mau lagi mendapatkan ciuman berangkat sekolah seperti saat TK dari ibu. Ibu hanya tertawa dan ciumannya kemudian beralih menjadi ciuman selamat tidur saja.
Aku menggeleng. "Tidak, Bimbim," kataku. Aku tidak akan mampu melalukan ciuman perpisahan itu. Air mataku pasti akan jatuh dan membasahi wajah ibu. Kata guru mengajiku saat sekolah dasar dulu, air mata kita tidak boleh jatuh mengenai jasad orang yang meninggal sebab itu akan memberatkannya. Saat itu aku cukup dengan hanya melihat ibu, menamatkan rupanya yang tampak tenang dan anggun dan lapang.
Bimbim tidak memaksaku lebih jauh. Ia kembali menciumi dahi dan pipi ibu. Seraya membetulkan letak kapas di atas kelopak mata ibu, Bimbim berujar: " Sampai bertemu lagi, Bu. Aku akan merindukanmu."