Calon Mommy Kamu

2094 Words
"Saya bilang jangan turunin tangan kamu!" Anyelir mengerucutkan bibir. Shakalon marah besar padanya setelah tahu di sekolahnya yang baru, ia membuat tiga orang siswi babak belur. "Aku nggak salah. Kenapa aku malah dihukum? Harusnya mereka ya—" "Siapa yang nyuruh kamu ngomong?!" sentak Shakalon. Kedua bahu perempuan itu terangkat kaget. Suara Shakalon sangat besar, memekakkan telinganya. Salah Shakalon sendiri kenapa tidak memasukkan Anyelir ke kelas kepribadian terlebih dahulu sebelum mendaftarkannya ke sekolah. Di hari pertama Anyelir masuk sekolah, Anyelir sudah membuat masalah. Shakalon malu karena ditelepon guru Anyelir dan mengabarkan bahwa putrinya telah membuat keributan. Anyelir mengangkat dua tangannya ke atas sambil berlutut di bawah lantai. Anyelir kira Shakalon akan baik-baik saja jika ia membuat ulah di sekolahnya. Tunggu. Tidak bisa dibilang membuat ulah juga sih. Kan, Winona dan teman-temannya duluan yang menyerangnya. Anyelir hanya berusaha membela diri. Kalau ada orang yang berusaha menyakiti dirinya, Anyelir tidak boleh diam selama ia tidak melakukan kesalahan. Kelakuan anak-anak zaman sekarang memang mengerikan. Di sekolah Anyelir dulu, biar bukan sekolah elit dan mahal, tetapi kelakuannya masih bisa disebut manusia. Ya ada lah yang nakal, badung, tengil. Tapi masih dianggap wajar. Tidak ada yang namanya perundungan atau yang biasa disebut bully kalau zaman sekarang. Walau Anyelir hanya pura-pura menjadi siswi berusia tujuh belas tahun, namun kedatangannya ke sekolah memang untuk belajar. Bukan mencari musuh apalagi sampai diajak tawuran seperti tadi. Karena pada dasarnya Anyelir bandel, keras kepala dan berani, maka Anyelir pun tidak tinggal diam jika seseorang berusaha menyakitinya. Memang salah ya kalau membela diri? Apa Anyelir harus berperan juga sebagai anak lemah lembut yang hanya diam saat dirundung? Anyelir mengangkat kepala dan menatap Shakalon di sampingnya. Lelaki berusia tiga puluh tujuh tahun tersebut memegangi tongkat di tangannya dengan pandangan mata tertuju fokus padanya. Sesaat Anyelir mendengkus. Dalam hati ia bergumam, "Modelan Daddy gadungnya saja begini. Kenapa Anyelir harus berperan sebagai anak yang lembut? Dilihat dari perangai Shakalon saja jelas-jelas sangat galak!" "Tiga siswi tadi kamu apain di sekolah?" tanya Shakalon menunjuk ujung tongkat ke hidung Anyelir. Kepala Anyelir mundur ke belakang menghindari ujung tongkat yang diarahkan Shakalon padanya. Tidak, tidak. Jangan berburuk sangka pada lelaki ini. Shakalon membawa tongkat hanya untuk menakut-nakutinya saja. "Mereka jambak duluan." Anyelir menelan ludah, "Ya aku bales jambak." "Tiga-tiganya?" tanya Shakalon. Anyelir mengangguk kecil. "Iya." Shakalon memasang wajah seolah sangat takjub. "Wah! Hebat!" sindirnya lalu bertepuk tangan. "Terus, apalagi? Nggak mungkin cuma jambak-jambakan sampai wajah kalian pada biru-biru begini." Anyelir dibuat terkejut. Jantungnya seperti melompat-lompat hingga membuatnya linglung selama tiga detik. Shakalon tahu-tahu duduk berjongkok di depannya lantas memegangi pipinya yang terdapat bekas cakaran dari kuku Winona. "Ini bisa hilang apa nggak?" gumam Shakalon menarik tangannya menjauhi pipi Anyelir. "Apa perlu kita temui Dokter bedah wajah?" Kedua mata Anyelir melebar. "Maksud kamu, mukaku harus dioplas, gitu?! Nggak ya! Enak aja!" Shakalon mengernyitkan dahi. "Kalau wajah kamu ninggalin bekas luka, gimana?" Anyelir menggigit bagian dalam pipinya. Dasar orang kaya! "Ini cuma bekas dicakar! Jangan lebay deh!" timpal Anyelir mulai keki. "Bener?" tanya Shakalon tidak yakin. "Akh," Anyelir mendesah. Ujung jarinya menunjuk Shakalon dengan berani. "Ketahuan banget waktu SMA nggak pernah ikut tawuran," ejeknya. "Emang kamu pernah?" Shakalon menatap Anyelir tidak percaya. "Sering," jawab Anyelir bangga. "Kamu, kan, perempuan." Shakalon meringis, memandangi tubuh Anyelir yang tidak tinggi-tinggi sekali. Badannya juga tidak bisa dikategorikan besar, tapi juga tidak bisa dibilang kurus. Sudah ia tebak jika masa remaja Shakalon Malik sangat membosankan. Lelaki itu tidak tahu cara menikmati masa-masa SMA, ya? Selain tawuran, Anyelir bahkan pernah bolos, tidur di kelas saat pelajaran berlangsung, pura-pura sakit dan izin guru untuk ke UKS padahal nongkrong di kantin. Ah... itu semua hanya segelintir dari kenakalan Anyelir saat berusia remaja. Shakalon tidak menghiraukan ocehan Anyelir. Lelaki itu kembali berdiri dan menginterogasi apa yang sudah dilakukan Anyelir kepada tiga siswi di sekolahnya sampai babak belur. Kalau cuma saling menjambak, rasanya tidak mungkin sampai ketiga siswi itu, juga Anyelir memiliki bekas luka cakaran di pipinya. Bahkan setelah Shakalon berada di sana dan melihat situasi, dua di antara ketiga siswi tersebut ketahuan menangis sambil memegangi lukanya. "Mereka nendang, ya aku balas tendang juga." Anyelir mengatakannya dengan jujur. "Emang aku salah kalau membela diri ya? Kalau aku diam aja waktu dirundung, itu sama aja kayak setor nyawa." Perempuan itu menggeleng dan mendesah panjang. "Aku belum mau cepat-cepat menghadap Tuhan." Shakalon memijat keningnya. Anyelir mengatakan itu usaha membela diri karena dirundung tiga orang siswi secara tiba-tiba. Anyelir juga mengatakan kalau setelah perkenalan di kelasnya, salah satu perundung itu hendak menjegal kakinya namun Anyelir dengan cepat menyadari sebelum jatuh dan menjadi bahan tertawaan satu kelas. Lelaki itu duduk di sofa. Anyelir menengok, memandangi Shakalon dari tempatnya berlutut sambil mengangkat kedua tangannya. Anyelir mendengkus, mengejek dirinya sendiri karena mau-mau saja diperlakukan seperti anak remaja sungguhan. Anyelir sudah dua puluh tiga tahun. Hanya perannya saja yang mengharuskannya bertindak seperti anak remaja berusia tujuh belas tahun. Anyelir bukan tipikal orang yang akan diam saat seseorang berusaha merundungnya. Maka dari itu ia melawan Winona dan kedua temannya. Seperti katanya tadi, ia belum mau bertemu Tuhan lebih cepat. "Aku pegel. Udah boleh berdiri, nggak?" tanya Anyelir pada Shakalon. Shakalon mengibaskan tangan memberi isyarat kalau Anyelir sudah boleh berdiri. "Saya sudah minta ke pelayan buat siapin keperluan kamu di kamar," ujar Shakalon. "Sebentar lagi Dokter akan datang untuk memeriksa luka kamu." "Ha?" Anyelir membeo. "Luka ini—aduh." Tanpa sengaja Anyelir menekan bekas luka cakaran di pipinya. "Nggak usah, deh. Kurang dari seminggu juga bakal hilang bekasnya kali. Suka amat menghambur-hamburkan uang!" Shakalon menengok tepat Anyelir berjalan menuju anak tangga. Perempuan itu, astaga. Kenapa bisa sangat santai. Padahal luka di pipinya terlihat begitu mengerikan di mata Shakalon. Anyelir menaiki anak tangga, gayanya santai dan tenang. Bahkan saat ia interogasi tadi jawabannya sangat jujur dan tidak panik sama sekali. *** Sudah Anyelir katakan untuk tidak memanggil Dokter hanya untuk memeriksa luka di pipinya. Ini, tuh, luka ringan. Sakitnya bahkan tidak seberapa. Rasa perihnya juga sudah hilang. Tinggal menunggu beberapa hari saja agar bekas lukanya menghilang. Dokter mengangkat dagunya, memeriksa bekas cakaran di pipi Anyelir. "Muka saya kenapa diobok-obok, sih, Dok?" protes Anyelir. "Saya lagi periksa kamu," katanya, menarik tangannya dari pipi Anyelir. "Tapi emang lukanya nggak apa-apa. Bekasnya nggak bakal lama juga hilang." "Tuh, kan." Anyelir menjentikkan kedua jarinya. Dokter itu selesai memeriksa luka di pipinya. Anyelir mengambil cermin lantas mengamatinya sekali lagi. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri lantas mendecakkan lidah. Memang dasarnya Shakalon saja yang berlebihan.hanya karena pipinya ada bekas luka cakaran, sampai memanggil Dokter ke rumah. Ini belum seberapa. Sebelumnya lelaki itu berniat memanggil Dokter bedah wajah hanya karena bekas lukanya tidak bisa hilang. Tingkah orang kaya memang suka aneh-aneh ya. Ada saja alasannya ingin menghamburkan uang. Apa Shakalon tidak tahu seberapa inginnya Anyelir menjadi kaya hingga banting tulang dari pagi hingga malam sebelum menjadi putri palsunya? Saking ingin kayanya, pun, Anyelir selalu menghemat uangnya. Setiap hari makan memakai lauk tahu-tempe agar tabungannya cepat banyak dan ia bisa membeli rumah sendiri. Anyelir keluar kamar. Dokter yang memeriksanya sudah turun ke lantai bawah lebih dulu. Entah ke mana perginya Daddy gadungannya itu. Tadi sewaktu Dokter memeriksanya, masih ada, kok. Kenapa sekarang tidak ada? Anyelir sampai di anak tangga paling bawah. Di sana, tepat di sofa ruang tamu ada Andreas Malik dan seorang perempuan cantik dengan tinggi semampai. Di depan Andreas ada Shakalon yang duduk membelakanginya. Andreas Malik adalah orang pertama yang menyadari keberadaannya. Lelaki tua itu sampai meletakkan cangkirnya kembali ke meja hanya karena melihatnya. Anyelir melirik Shakalon kemudian mencebikkan bibir. Lihat saja, lelaki itu bahkan tampak biasa-biasa saja setelah heboh ingin memanggil Dokter bedah wajah ke rumah ini. "Anye, sini." Andreas Malik menepuk sofa. "Kata Daddy kamu tadi, kamu langsung tidur sepulang sekolah." Anyelir melewati Shakalon dan perempuan cantik yang ia lihat tadi. Ia duduk di samping sang Kakek. "Ah, nggak. Daddy bohong, Kek." Andreas menyadari ada luka di pipi Anyelir. "Pipi kamu kenapa, Anye?" "Ish," ringis Anyelir kala Andreas tanpa sengaja menekan lukanya. "Pelan, Kek. Ini sakit, tahu!" "Ck." Shakalon berdecak, menatap Anyelir, sinis. "Tadi bilangnya udah nggak sakit. Kenapa sekarang ngeluh?" "Ya nggak sakit emang. Tapi kalau ditekan kayak barusan ya sakit," elaknya. Interaksi Anyelir dan Shakalon menarik perhatian perempuan di tengah-tengah mereka. Perempuan itu ikut tertawa melihat pasangan Ayah dan anak tersebut saling berdebat hanya karena hal sepele. Soal Anyelir yang membuat keributan di sekolah dengan membuat babak belur tiga orang siswa diadukannya kepada Andreas. Bukannya ikut mengomeli Anyelir, Andreas justru mendukung keputusan cucunya untuk melawan para perundung itu. Dan mengenai lukanya, Andreas setuju dengan Anyelir kalau bekas luka di pipinya akan cepat hilang tanpa harua memanggil Dokter bedah wajah. Andreas memegangi dagu cucunya. Lelaki itu melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Dokter yang memeriksanya tadi. "Biar ada bekas cakaran, Anyelir masih cantik, kok. Nggak merubah apa-apa." Shakalon mendengkus. Sebal sekali rasanya melihat Papa dan putri palsunya sangat kompak. "Kamu protektif banget sama Anye, ya," ujar perempuan di samping Shakalon. "Kayaknya kamu sayang banget sama anak kamu." Anyelir memandang takjub pada perempuan itu. Dari jatak jauh memang terlihat sangat cantik. Namun lebih cantik lagi saat ditatap sedekat ini. Bibir Anyelir bergerak, mengucapkan, "Wah!" tanpa mengeluarkan suara. Kalau ia bisa berdiri dan bertepuk tangan, ia akan lakukan sekarang. "Oh ya, Anye," Andreas menepuk sebelah bahu cucunya. "Kenalin, ini Krystal. Jadi, Tante Krystal ini anaknya teman Kakek dulu zaman sekolah." Anyelir mengangguk kecil dan tersenyum. Dalam hati ia tidak setuju dengan sang Kakek. Tante Krystal? Wajahnya saja masih sangat muda. Anyelir yakin jarak usia antara ia dan perempuan itu tidak jauh. Sepertinya, akan lebih cocok jika Anyelir memanggil Kakak. "Masih muda banget, Kek," ujar Anyelir cengengesan. "Kenapa harus panggil Tante?" Anyelir memfokuskan pandangannya pada Krystal di depannya. "Aku panggil Kakak aja mungkin, ya?" Bibir Krystal meloloskan suara tawa yang renyah. Haduh, bahkan suara tawanya saja terdengar sangat cantik di telinga Anyelir. "Jangan Kakak dong, Nye," timpal Andreas. "Karena Kak Krystal juga masih muda, Kek," balas Anyelir. "Kakek malah maunya kamu panggil Mommy ke Krystal." "Hm?" Anyelir mengangkat dagu. Matanya membeliak. Andreas tertawa sambil menepuk-nepuk bahu Anyelir. "Lon, kamu belum cerita ke Anye soal Krystal ya?" Anyelir ikut-ikutan menatap Shakalon. Di keningnya seolah tertulis, "Apaan nih? Kok tiba-tiba minta dipanggil Mommy?" Wajah masam Shakalon sudah tidak asing lagi di mata Andreas. Lelaki itu bahkan sangat jarang tersenyum ramah. Sehari-hari selalu memasang tampang galak, judes, dan bicaranya yang ketus. Jangankan berbicara padanya. Kalian lihat sendiri bagaimana ketusnya Shakalon bicara pada putrinya padahal dengan niat yang baik. "Mungkin Daddy kamu lupa," kata Andreas melirik dua orang di depannya. "Jadi, Krystal ini calon Mommy kamu, Nye. Gimana? Kamu setuju kalau Daddy nikah, kan?" *** Anyelir menemukan keanehan di sekolah pagi ini. Hampir di sepanjang lorong sekolah, ia diperhatikan olah semua murid. Anyelir mendesis, menebak-nebak kenapa semua orang tampak tertarik padanya. Kenapa ya? Anyelir menurunkan kepala, memerhatikan dandanannya ke sekolah hari ini. Tidak ada masalah. Anyelir bergumam sendiri. Ia mengenakan seragam lengkap. Baunya juga wangi. Aksesoris yang kenakan juga terlihat biasa-biasa saja. Oh, apa riasannya terlalu tebal sehingga semua murid mulai mencurigainya? Ah, tidak. Jangan sampai salah satu murid itu menyadari usia Anyelir yang sesungguhnya. "Anyelir Malik?" Langkah Anyelir berhenti tepat segerombolan anak perempuan menyegat langkahnya. Anyelir sontak mengangguk. Heran sekali dengan orang-orang di sekolah ini. Kenapa suka sekali menyebut nama lengkapnya sih? Kan, mereka bisa memanggilnya dengan panggilan singkat. Misal, Anye atau sekalian Anyelir, gitu. "Oh, dia..." Salah satu siswi itu menunjuknya dengan raut wajah meremehkan. Anyelir mengerutkan dahinya. Oh, mungkin anak-anak ini teman-teman Winona juga? Bisa saja Winona mengadu ke teman-temannya yang lain setelah ia buat wajahnya biru-biru. Anyelir mendengkus, menggulung lengan jas-nya hingga ke siku. "Apaan lagi?" tanya Anyelir, santai. "Ikut kita. Ada yang mau ketemu sama lo," katanya sambil mendorong teman di sebelahnya memberi Anyelir jalan. "Ke mana?" Anyelir bertanya lagi. "Lo nggak lihat sekarang udah jam berapa? Bentar lagi bel masuk kelas." "Lo takut?" "Emang lo Tuhan?" timpal Anyelir. Mereka semua diam. Anyelir mengamati wajah-wajah di depannya. Tunggu dulu. Sepertinya anak-anak ini bukan berasal dari kelas Anyelir. Segerombolan anak-anak perempuan tersebut memberi isyarat agar Anyelir mengikuti langkahnya. Perempuan itu diam, tetapi sambil melangkahkan kaki mengikuti pergerakkan gerombolan anak-anak tadi. Anyelir tidak takut pada siapa pun selain pada Tuhan. Mau itu Winona atau penguasa sekolah lain di sekolah ini. Anyelir sudah dibekali ilmu beladiri bahkan ketika dirinya masih duduk di sekolah dasar. Menghadapi anak-anak menye sok berkuasa seperti Winona kemarin jelas bukan tandingan Anyelir. Anyelir menggeleng, dalam hati ia akan mendapat amukan Shakalon Malik lagi jika dirinya membuat masalah baru. Anyelir mengangkat sebelah tangannya, ujung jarinya menunjuk anak-anak di depannya, menghitung jumlah mereka. Ada lima orang murid. Ssst... kalau Anyelir membuat babak belur mereka semua, apa ia bisa dikeluarkan dari sekolah? Lalu, bagaimana reaksi Daddy gadungannya itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD