Cucu Dadakan Malik

1361 Words
Anyelir sontak menurunkan kepala dan menatap kedua kakinya yang dibungkus sepatu sekolah. Bukan. Masalahnya bukan berada di sepatu yang ia kenakana. Tapi, masalahnya ada di seragam SMA yang melekat di tubuhnya. Usianya sudah menginjak dua puluh tiga tahun. Dan dengan sintingnya Shakalon Malik memintanya kembali bersekolah? Sungguh? Anyelir mendengkus lalu tertawa seperti orang gila. Kepala perempuan itu agak terangkat, lantas meniup poninya dengan seluruh tenaga. Haha! Sinting. Benar, kalau waras, Bukan Shakalon Malik namanya. "Non, Daddy-nya Non—" "Stop!" Anyelir menunjukkan telapak tangannya di depan wajah Pak Dimas, supir yang ditunjuk Shakalon Malik mengantar-jemputnya ke sekolah. "Kenapa, Non? Ada yang ketinggalan?" tanya Pak Dimas. Akh! Sial. Anyelir lupa kalau tidak ada satu pun, termasuk Pak Dimas yang tahu—kalau Anyelir itu cuma anak palsu Shakalon Malik. Selain ia, Kalon, dan asisten lelaki itu, tidak ada yang tahu siapa Anyelir sebenarnya. Anyelir meniup poninya lagi. Sudah kepalang tanggung, kan. Ia sudah menandatangani surat perjanjian dengan putra sulung keluarga Malik. Mau tidak mau, suka atau tidak, Anyelir harus menurut walaupun enggan. "Saya masuk ya, Pak." Anyelir berpamitan pergi kepada Pak Dimas. Anyelir berdiri di sebuah sekolah elit di depannya. Perempuan itu memandangi penampilannya sekali lagi sebelum memasuki gedung sekolah barunya. Anyelir mendengkus. Rasanya ia ragu masuk ke dalam sana. Bagaimana kalau orang-orang curiga ia memalsukan usianya? Setelah menarik napas dan mengembuskannya, Anyelir masuk ke dalam gedung sekolah. Penampilannya sudah seperti anak-anak yang bersekolah di sekolah elit. Mulai dari seragam, sepasang sepatu mahal, sampai tas hingga ponsel yang diberikan Kalon adalah yang paling mahal. Bahkan seumur hidupnya, sebelum menjadi anak palsu Kalon, Anyelir belum pernah memegang ponsel mahal yang biasa dipamerkan orang-orang sombong di sosial media. Iya, yang itu. Yang logonya buah digigit setengah, eh. Benar apa tidak ya? Sekolah elit yang akan menjadi sekolahnya mulai hari ini sangat besar. Anyelir pikir, ini bukan sekolah, tetapi sebuah hotel. Semua murid yang ia temui di sepanjang lorong semuanya memakai aksesoris mahal. Baik sepatu, tas, ponsel, dan segala pernak-pernik yang melekat di tubuh mereka. Anyelir menggeleng, tanda heran. "Anyelir Malik?" tanya seorang guru sembari mendorong kacamatanya ke tengah-tengah hidung. "Iya, Pak." "Oh, oke. Mari ikut saya ke kelas." Sang guru menunjuk ke luar ruangan guru. Anyelir mengekor di belakang guru lelaki. Kepalanya bergerak ke kanan ke kiri tidak berhenti menatap takjub sekolah barunya ini. Zaman Anyelir sekolah SMA dulu, sekolahnya tidak sebagus ini, seragam yang dipakai tidak sekeren seragam yang ia kenakan. Semua tampak biasa, tidak ada yang istimewa. "Anye?" tegur si guru. Anyelir tersadar. Ia terlalu banyak melamun. "Eh? Iya, Pak. Maaf." Anyelir dibawa masuk ke dalam kelas yang berisik. Mulai dari siswa dan siswi, semuanya berisik dan heboh. Ada segerombolan anak lelaki sedang berkumpul di meja paling depan sembari guyonan, sisanya fokus bermain ponsel. "Anak-anak, tolong minta waktunya sebentar." Pak Guru mengetuk mejanya dua kali. Fokus para murid mulai terbagi. Yang tadinya sedang mainan ponsel, memasang liptint, menggosip, kini mengarahkan pandangannya ke depan tempat pada Anyelir dan Pak Guru. Mereka menatap Anyelir, beberapa berbisik, apalagi murid lelaki yang tidak berhenti mengamati Anyelir dari bawah hingga atas. "Kalian kedatangan teman baru. Anye, silakan maju dan perkenalkan diri," pinta Pak Guru menunjuk ke depan. Anyelir berpindah di depan Pak Guru. "Halo, kenalin, nama gue Anyelir Malik." Perempuan itu berjalan mundur kembali ke tempat berdirinya semula. Pak Guru menengok, memandangi Anyelir bingung. "Udah? Gitu aja?" "Iya, Pak." Anyelir mengangguk, menggaruk ujung keningnya. "Ya udah, kamu silakan duduk ya. Hmm...." Pak Guru mengedarkan pandangan mencari meja kosong. "Kamu bisa duduk di kursi paling ujung. Iya... sebelahan sama Btara." Anyelir agak berjinjit, mengikuti ujung jari Pak Guru menunjuk. "Oh, oke Pak. Terima kasih." Setelah dipilihkan tempat duduk oleh guru, Anyelir pergi ke kursinya. Anyelir berjalan santai, tidak terburu, tidak peduli dengan pandangan teman-teman barunya itu. Sampai langkah Anyelir berhenti, menyadari seseorang yang hendak menjahilinya. "Oh, halo!" seru Anyelir menginjak sepatu seorang murid. Muris tersebut shock. Anyelir tahu-tahu menginjak sepatu mahalnya tanpa permisi dulu. Anyelir memegangi tali tasnya yang terpasang di kedua bahunya. Sebelumnya Anyelir terlihat seperti murid biasa, yang bisa ia rundung bersama teman-temannya. Tapi, Anyelir justru memberi reaksi berbeda kala ia hendak menjegal kaki perempuan itu. "Kata orang, nginjek sepatu sama kayak ucapan perkenalan." Anyelir menyunggingkan senyum. Rambut sebahunya yang baru dipotong semalam membuat kepalanya jadi lebih ringan. "Cuma, ada saran dari gue. Cara lo ngajak kenalan dengan mau buat gue jatuh, tuh, udah jadul banget. Kurang keren, ah. Coba lebih kreatif lagi. Semangat!" Interaksi Anyelir dan murid perempuan tersebut menarik setengah murid di kelas. Khususnya Btara, murid yang akan menjadi teman bangku Anyelir. Menurut mereka, Anyelir sangat berani. Padahal ia adalah murid baru yang seharusnya agak sungkan. Tapi, di hari pertamanya masuk ke sekolah ini, Anyelir sudah memberi kejutan untuk mereka. "Lo tahu siapa mereka?" Anyelir menengok. Sosok Btara mengajaknya berbicara. "Siapa?" Kepalanya berputar ke kanan ke kiri. "Winona sama temen-temannya," tunjuk Btara. "Oh." Anyelir kembali ke isi tasnya. "Tahu. Mereka manusia sama kayak gue, kan?" Btara mendengkus. Anyelir belum tahu saja sepak terjang Winona di sekolah ini. "Oh, oke. Kayaknya lo emang nantang mereka." Anyelir mengangkat kedua bahunya tidak peduli. Kelas pertama akan dimulai, tapi ia malas mengikuti pelajaran. Zaman dia sekolah dulu saja banyak tidur di kelas daripada mengerjakan tugas kok! *** "Ada jadwal apalagi setelah ini?" tanya Shakalon Malik pada asistennya. "Pak Kalon ada pertemuan dengan—" Kata-kata sang asisten terjeda. Ponsel di sakunya berdering, membuat ruangan atasannya berubah bising. "Maaf, Pak. Ada telepon dari sekolahnya Anyelir." Shakalon Malik mengangkat dagu, matanya menatap sang asisten tajam. "Kamu aja yang angkat." "Baik, Pak." Asisten Kalon mengangguk patuh. Shakalon Malik menunggu si asisten selesai berbicara dengan pihak sekolah Anyelir lewat telepon. Kalon teringat hari ini perempuan itu mulai beraktivitas sekolah. Semalam ia membawa orang kepercayaannya untuk mengubah dandanan Anyelir jadi kelihatan lebih muda. Bagaimanapun Anyelir berusia dua puluh tiga tahun dan harus berperan sebagai remaja berusia tujuh belas tahun. Ini semua Andreas Malik, papanya! Andai saja papanya tidak menekan Kalon untuk menikah dan mempunyai anak dalam jangka waktu dua tahun. Huh. Menikah? Kalon mendengkus lalu menyeringai. Menikah tidak pernah ada dalam daftar kehidupan yang ia rancang. Menikah sama saja tidak menyayangi dirinya. Ia memutar otak. Permintaan papanya sungguh membuat Kalon kesulitan. Demi menguasai seluruh aset Andreas Malik, Kalon harus menikah dan memiliki anak terlebih dahulu. Sementara itu, Kalon tidak berniat menikah. Sekalipun itu hanya sebatas kontrak. Tidak. Kalon tidak mau dibuat repot nantinya. Satu ide muncul di kepala Kalon. Jika ia mencari perempuan untuk dijadikan istri kontrak, rasanya itu sudah biasa. Toh, yang ia hadapi adalah Andreas Malik, papanya. Lelaki itu sangat licik dan banyak akalnya. Kalon yakin papanya akan tahu detik itu juga ia menikahi perempuan secara kontrak. Maka jalan yang dipilih Kalon justru sebaliknya. Karena papanya menekankan ia harus punya anak baru seluruh aset akan diberikan padanya, Kalon jadi berpikiran untuk memiliki seorang anak tanpa menikah. Bukan. Kalon tidak akan mencari seorang bayi. Karena bayi tidak mungkin bisa diajak bekerjasama, bukan? Dan pilihan Kalon adalah Saiva, yang kini ia ubah namanya sebagai Anyelir Malik. Sebut saja perempuan itu Anyelir mulai dari sekarang. Karena Kalon tidak memiliki cara selain ini, Kalon membuat sebuah kontrak bersama seorang perempuan. Namun bukan sebagai istri, melainkan sebagai seorang anak haramnya. Saiva akan berperan sebagai Anyelir, anak haram Shakalon Malik. Ia membuat pengakuan palsu dengan mengatakan pada papanya, bahwa semasa kuliah dulu pernah menghamili perempuan. Dan putri yang ditunjuknya adalah Anyelir. Andreas Malik meradang. Ia tidak menduga jika putra sulungnya yang terkesan menjauhi perempuan justru pernah menghamili seseorang dan menghasilkan anak yang kini berusia tujuh belas tahun. Andreas sampai jatuh pingsan. Ia sangat shock. Ia memang menginginkan cucu dari Shakalon. Tapi tidak mendadak begini, apalagi sudah sebesar Anyelir. Kalon itu banyak akalnya, sama seperti Andreas. Sebelumnya Andreas tidak mengira akan diberi kejutan seperti ini. "Pak Kalon...." Lamunan Kalon buyar detik itu juga. Bayangan Andreas Malik yang jatuh pingsan seketika digantikan sosok sang asisten berdiri di depan mejanya dengan ekspresi panik. "Ada apa? Apa kata sekolahnya Anye?" "Anu, Pak..." "Kenapa muka kamu panik?" "Itu..." Asisten Kalon menggenggam ponsel di tangan. "Di sekolah.... Anyelir...." "Ada apa sama Anye? Dia diganggu sama murid lain? Atau dibully?" "Lebih parah lagi, Pak!" Shakalon Malik berdiri dari kursi. "Ngomong yang jelas. Anye kenapa di sekolah?" "Anyelir bikin babak belur tiga orang siswi, Pak!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD