Si pintar VS si bodoh

2125 Words
“Kamu telat dua menit.” “Cuma dua menit, Pak,” ucap Raisa dengan manik yang memohon meminta pengertian. Setelah mempertimbangkan semalam, Raisa memilih tinggal di sini meskipun flatnya masih harus dia bayar perbulannya. Tidak mungkin dia selamanya di sini bukan? “Hampir saja saya mau telpon teman saya yang ada di kepolisian.” “Ngancemnya gitu mulu heran.” “Kamar kamu yang itu.” menunjuk sebuah kamar yang ada di samping Kenzo. Dia pikir dirinya akan ditempatkan di sebuah kamar bekas pengasuhnya, tapi ternyata tidak. “Tadi Kenzo bangun terus nanyain kamu terus, karena dia sadar kalau pengasuhnya itu harus 34 jam ada di sekitarnya.” “Iya, Pak. Paham.” Raisa masuk ke ruangan tersebut diikuti Juan dari belakang. “Kamu tau kan apa saja tugas kamu? Udah nelpon Bibi?” “Udah, Pak.” Ya ampun, dekan fakultas hukum yang katanya pendiam dan dingin, tapi nyatanya terus saja bicara membuat telinga Raisa merasa sakit di telinga. “Cepetan, kamu harus siapin sarapan. Jangan sampai gosong juga, plus ngerugiin saya.” “Iya. Ini mau cek Kenzo dulu.” Karena anak itu sekolah pada pukul delapan, maka Raisa harus membangunkannya sekarang sesuai arahan Bibi Nita. Untung saja anak ini lucu hingga Raisa memiliki daya Tarik terhadapnya. “Dek, bangun ayok. Kan mau sekolah.” “Antee?” “Iya, ini Tante Ica. Yuk bangun, kan mau sekolah. Adek mandi ya, Tante bikini sarapannya. Oke?” Beruntungnya Kenzo bisa mandi sendiri, jadi tidak terlalu merepotkan. Namun tetap saja ada beban pikiran tersendiri untuk Raisa. Dia juga masuk kuliah pukul delapan, pulang juga biasanya lebih dari jam sebelas. Bagaimana dia bisa menjadi pengasuh bersamaan menjadi mahasiswa. “Kamu masuk jam berapa?” tanya pria yang sedang membuat kopi, pasti untuk dirinya sendiri. “Jam delapan, Pak.” “Ini jadwal baru kamu.” Raisa menerimanya, itu masih dalam bentuk rancangan. Memang ya, dekan fakultas hukum bisa melakukan apapun. Termasuk mengganti jadwal kuliah Raisa dari senin sampai rabu. Dimulai dari pukul delapan sampai pukul setengah sebelas. “Kok bapak bisa seenaknya ganti ganti jadwal kayak gini sih? ini kan wewenangnya wakil dekan I? bagian akademik?” “Ya terus, mereka Cuma wakil. Saya Dekan nya. Ya saya berhak menyarankan apa yang terbaik buat fakultas. Cepetan masak kamu.” Juan kembali mengingatkan. Raisa sebal dengan pria berkacamata itu. “Bapak, kalau saya telat gimana? Kan Kenzo juga masuknya jam delapan, saya juga.” “Ya anterin Kenzo dulu lah. Terus kamu berangkat.” Tidak ingin jujur, tapi ini permasalahannya. “Saya gak bawa mobil, Pak. Mobil saya diambil Ayah. Kan jauh dari sini ke kampus.” “Itumah derita kamu, yang penting kamu urus Kenzo dengan baik, dan lakuin tugas kamu.” Oke, Raisa enggan bicara lagi dengan pria itu. padahal harapannya adalah Juan yang akan mengajaknya ke kampus. Cukup diturunkan di depan, jadi tidak akan ada yang tau. “Tante?” “Eh, anak ganteng udah cakep,” ucap Raisa memuji anak itu. Namun Kenzo malah tertawa dan berkata, “Iya dong ganteng, masa cantik. Ya, Pa, ya?” Oke, mereka sama sama menyebalkan. Namun setidaknya anak itu memiliki sisi manis, seperti sekarang dia mendatangi Raisa dan menarik ujung roknya. “Tante mau dibantu?” “Gak usah, Kenzo duduk aja ya.” “Duduk aja, Kenzo,” ucap Juan tanpa mengalihkan perhatian menatap iPad di tangannya. Kacamatanya memantulkan apa yang sedang pria itu lihat. “Biarin aja itu udah tugasnya dia.” “Kasian, nanti kayak Eyang Putri kecapean di dapur terus pingsan.” Manik Raisa membulat seketika, ada apa dengan pikiran orang orang ini? *** Raisa berangkat naik kendaraan umum ke kampus. Beuntungnya Kenzo mudah diatur meskipun sedikit protes karena datang terlalu awal ke sekolah. Nanti jam sebelas, Raisa akan menjemputnya lagi di tempat yang sama tapi gedung yang berbeda mengingat itu adalah less. Raisa sudah punya nomor telpon guru lessnya, jadi dia akan menitipkan Kenzo dulu jika dirinya belum datang. Dan dikarenakan angkutan umum tidak mengantarkan sampai fakultas, Raisa harus berlari dari halte kampus menuju ke ruang kelas. Fakultas hukum ada di samping rektorat, tepat di pinggir jalan raya sehingga tidak terlalu menguras waktu. “Lari cepetan. Mahasiswa harus disiplin, ini udah jam delapan lewat lima menit,” ucap seorang pria yang baru saja turun dari mobil. Itu Juan. “Makasih udah ngingetin, Pak,” ucap Raisa buru buru masuk kelasnya, mengabaikan Juan yang terlihat bahagia melihatnya menderita. Sudah ada dosen di sana, beruntung sekali Raisa diizinkan masuk, dia buru buru duduk dengan terengah engah. Tumben sekali, biasanya dosen akan telat setengah jam. “Di sini siapa saja yang mata kuliah Kemahiran hukum IV nya di bawah C?” Raisa mengangkat tangannya sendiri. Sial! “Oh, kamu doang ya? syarat kalau mau masuk kelas saya, harus lulus dulu mata kuliah itu. minimal C. kamu berapa?” “Nilainya gak keluar, Pak.” “Parah banget. Jarang masuk?” “Hehehehe.” Hanya malas saja dengan dosen yang bersangkutan. “Nanti ke Tata Usaha ya minta buat perbaikan.” Apalah daya, Raisa harus menghamburkan lagi uang dengan pergi ke ruang tata usaha saat jam istirahat dan menanyakan prosedur perbaikan nilai. Dia belum pernah melakukannya, tapi yang dia dengar kalau hanya memerlukan uang saja. tapi ternyaata tidak semudah itu. “Nanti saya dikasih tugas sama dosen mata kuliah ini, Bu?” “Enggak, nanti ke penanggung jawabnya yaitu Pak Dekan. Kamu bawa surat pengantar ini ya, nanti Pak Dekan yang akan menentukan perbaikan kamu bagaimana sistemnya.” “Baik, Bu.” Dengan lesu mengambil surat pengantar itu, pergi ke ruangan Juan dan mendekati sekretarisnya yang ada di luar. “Bu, maaf, saya mau perbaikan dan penanggung jawabnya Pak Dekan.” “Sebentar ya, tadi Pak Dekan minta buat gak diganggu.” Menelpon terlebih dahulu sebelum akhirnya mengatakan, “Silahkan masuk.” Dengan jantung berdetak kencang, kenapa Raisa harus selalu berurusan dengan pria itu? ruangan yang luas, bahkan terdiri dari dua ruangan. Sepertinya ada ranjang di dalam sana. “Bagaimana?” tanya Juan dengan nada dingin, tanpa beralih dari kertas di sana. “Saya mau perbaikan, Pak. Kalau nilai kemahiran hukum IV saya jelek, saya gak bisa ikut mata kuliahnya Pak Hendi.” Memberikan map di tangan, Raisa gugup bukan main bahkan enggan untuk duduk. “Perubahan nilainya tergatung kamu sendiri.” Mengambil map itu dan terkekeh. “Kosong nilainya?” “Jadi, gimana, Pak? Saya membutuhkannya cepat, karena minggu depan kan mata kuliah Pak Hendi.” “Saya ada dua cara untuk kamu mendapatkan nilai. Dengan cara cepat yaitu test lisan selama empat kali berturut turut, atau mengulang kembali dengan adik tingkat?” Juan selalu membuat hidup Raisa dipenuhi pilihan yang keduanya sama sama sulit. “Kalau ngulang lagi nanti saya dapet nilainya lama dong, Pak?” “Ya itumah resiko kamu. Nanti kamu ngulang lagi aja buat mata kuliah Pak Hendi.” “Saya mau test lisan aja, Pak. Tapi dalam satu minggu ini bisa?” “Saya bilang semuanya tergantung kamu.” Membuka buku tebalnya. Sayangnya Raisa tau apa niatan pria itu hingga berkata, “Dimulainya besok bisa nggak, Pak? Kan saya perlu persiapan juga.” Juan menghela napasnya dalam. “Yasudah, saya kasih keringanan karena masakan kamu enak.” “Hhhh?” “Nanti saya makan malam di rumah.” “Oh iya.” *** “Raisa, lu mau ikut nongkrong gak? Gue gak ada tebengan nih?” “Sorry, mobil gue diambil Bokap. Gue juga ada kerjaan euy.” Menolak permintaan sang sahabat yang sekarang memperlihatkan raut wajah sedihnya. “Ngomong ngomong, lu tau sesuatu gak tentang Pak Juan?” “Hah? Tau apa?” Penasaran. “Tentang apa gitu? Masa dia jomblo terus?” “Ya emang iya, kan kutukan.” “Kalau ternyata dia udah punya anak gimana?” Malah tertawa kencang dan berkata, “Gak mongkeeenn! Mana ada yang mau sama itu cowok kolot sama galak kayak dia. Ganteng sih, tapi akhlaknya minus.” Terkekeh, ternyata itu adalah sebuah rahasia. Memilih jalur aman, Raisa segera menjemput Kenzo di sekolahnya. Masih banyak hal yang harus dia lakukan, belum beres beres di kamarnya dan juga tugas yang menumpuk. “Makasih ya, Bu. Maaf saya terlambat.” “Gak papa, tadi juga nemenin anak yang lain,” ucap Ibu Guru yang menjaga Kenzo. “Maaf ya lama, tadi Tante kuliah dulu.” “Gak papa, Tante boleh mam ice cream gak?” “Bikin aja ya? tante yang bikini.” “Boleh.” Kemudian anak itu merentangkan tangan meminta digendong, tentu saja Raisa melakukannya. Dia mengecup kening Kenzo yang terluka akibat Raisa sebelumnya. “Ini masih sakit?” “Dikit kok.” Diberikan pin apartemen, Raisa mengasuh seharian itu. kenzo cepat akrab dengannya, dia terbuka dan anak itu sangat suka dengan pelukan. Katanya Juan akan pulang saat jam makan malam, tapi pria itu tidak kunjung datang di saat Kenzo dan dirinya siap makan. Menghubungi dahulu Juan, pria itu menolak panggilannya dan memberikan pesan untuk makan duluan. Kenzo terlihat sedih. “Papanya kerja, jadi Kenzo sama Tante ya makannya.” “Papa kerja mulu, ngurusin orang mulu. Papa gitu.” “Kan Papa juga kerja buat Kenzo mam.” “Mam nya mau diusapin Papa, gak papa makannya sama tempe juga,” ucap anak itu seolah tau perbandingan harga tiap makanan. Dan Raisa merasakannya, bagaimana sakitnya diacuhkan oleh orangtua. Jadi setelah Kenzo tidur dan dirinya selesai membereskan kamarnya, Raisa menunggu Juan pulang sembari menyiapkan makan malam. “Tadi saya bilang sama Kenzo kalau bapak mau makan malam di sini. tapi kenyataannya enggak, Kenzo kecewa.” “Saya ada kasus yang harus saya tangani.” Ingin sekali menghakimi, jika sudah mendapatkan posisi dosen dan dekan, kenapa posisi pengacara itu masih dia kejar? “Orangnya gak mampu, saya mau wakilin dia sebagai kuasa hukum. Kebetulan dulu dia tetangga Ibu saya.” “Kenzo Cuma punya waktu sama Bapak pas pagi aja.” “Iya, selanjutnya saya bakalan luangin waktu lebih banyak buat dia.” Juan menghela napasnya dalam melihat makanan yang sudah tersaji di sana. “Kenapa? mau dimasakin yang lain?” “Saya mau mandi, siapin airnya ya.” “Iya.” Melihat Raisa melangkah pergi, focus Juan pada p****t perempuan itu. yang membuatnya menggelengkan kepala berulang kali. Tidak boleh, dia harus tetap waras. Tapi melihat tingkah konyol dan bodoh Raisa memberikan hiburan tersendiri untuknya. *** Masuk ke kamar Juan, rapi sekali mengingat ini yang pertama kalinya. “Jiir, iri gue sama kamar mandinya yang gede gini. Lumayan banget ini.” menyalakan air hangat untuk mengisi bathub. Ketika Raisa keluar dari kamar mandi, Juan sudah masuk, “Siapin juga bajunya.” “Perasaan Bibi Cuma nyuruh setrika cuci deh, gak nyampe siapin baju buat tidur juga? Kalau saya pilihin jas gimana?” “Gak normal berarti kamu. Lagian kan kamu pembantu sekaligus pengasuh, bebas dong kalau saya nyuruh apa aja.” Juan melangkah santai ke kamar mandi. Menghentakan kakinya kesal dan masuk ke walk in closet untuk memilihkan pakaian. Saat hendak keluar, Raisa baru sadar kalau pintu kamar dikunci. What?! Dia mendekati kamar mandi dan mencoba bicara dengan Juan, tapi pria itu tidak menjawab sama sekali. “Pak! Saya mau keluar! Pintunya kenapa dikunci?!” sambil memukul mukul pintu. Hingga kesekian kalinya, akhirnya pintu terbuka dan memperlihatkan Juan yang hanya memakai handuk melilit di pinggang saja. wajah Raisa langsung berhadapan dengan d**a bidang pria itu. “Ih Bapak!” teriaknya tidak suka dan mundur seketika. “Pintunya dikunci! Saya gak bisa keluar!” “Berisik banget kamu. Mana baju saya?” “Buka dulu pintunya, saya mau keluar.” Memalingkan mata untuk tidak melihat wajah Juan karena malu. Pria itu menyeringai. “Raisa, kamu bodoh kan?” “Maksud?” Raisa tidak terima. “Nilai kamu itu D semua, malah ada yang kosong, yang B Cuma berapa biji. Kalau yang A, udah punah.” “Bapak ngejek saya?” “Saya itu dekan, kalau kamu jadi istri saya, pasti kamu bakalan pinter soalnya dapet less private dari saya yang notabenya seorang penngacara. Mau?” “Ogah!” teriak Raisa sambil terus mundur karena Juan mendekat padanya. “Bapak mundur! Bapak mau apa ih!” “Kamu kayaknya enak deh.” Mata Raisa membulat seketika, punggungnya sudah berbenturan dengan tembok dan pria itu terus mendekat. “Bapak kalau berani lakuin sesuatu sama saya gak akan saya biarin. Kejahatan bapak ini melanggar pasal 81 Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002!” Juan terdiam seketika. Dengan nada menggoda kembali berucap, “Raisa, itu undang undang perlindungan anak. Emang kamu anak anak? Duh, makin suka saya kalau sama anak anak.” Mempermainkan Raisa. “Bapak jangan!” teriaknya. Tangannya reflex memegang pigura yang ada di nakas dan dengan mata terpejam memukulkannya pada Juan. BRUK! Terdengar suara tubuh yang jatuh. Mata Raisa perlahan terbuka dan membulat. “Bapak!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD