Kecelakaan

772 Words
Saat Allen tengah menemui Sam, Ham diam-diam pergi meninggalkan Aira seorang diri di rumah. Sebuah panggilan dari penagih hutang membuatnya penasaran. "Aku mau pergi sebentar," pamit Ham berjalan tergesa sambil mengalungkan kamera. Mereka biasa keluar bersama, melihat Ham tiba-tiba ingin pergi tanpanya, Aira tentu saja curiga. "Hanya sebentar. Maaf membuatmu khawatir, kita bisa bicara nanti," kata Ham mencoba meminta pengertian. Ia lenyap di balik pintu menuju garasi mobil, meninggalkan Aira yang murung seorang diri. Tak lama berselang, mobil APV hitam yang dikendarai Ham sudah mengaspal ke jalanan. Ponsel di dekat kemudi kembali berdering, minta diambil. "Iya, sebentar lagi saya sampai," kata Ham membelokkan mobil ke arah jalan yang lebih sepi. Apa iya ini perbuatan Sam? Bagaimana kalau orang-orang itu salah mengira? Seharusnya, Ham tidak memasang fotonya di laman media sosial. Selang sepuluh menit, Ham menghentikan kendaraannya di lahan kosong dekat pabrik lama. Di sana, segerombolan orang berpakaian hitam berdiri, menghalangi jalan. "Sedang apa mereka?" gumam Ham urung keluar. Firasatnya tiba-tiba buruk. Bodoh sekali mau datang ke tempat asing hanya karena panggilan tidak dikenal. "Keluar!" teriak seorang dari mereka, memukul kaca mobil. Pinggiran matanya terlihat melepuh, seperti bekas disiram air keras. Di masa lalu, mereka adalah orang yang sering berurusan dengan Sam. Lebih tepatnya, salah satu anggotanya cedera karena kalah di arena tinju liar. Ya, Sam pernah beberapa kali naik ke atas ring demi jumlah uang yang sedikit. Sialnya, ia malah berurusan dengan geng berbahaya. "Benar dia orangnya?" tanya seorang lagi, menepuk pundak temannya sangsi. Meski sudah lama, ia masih ingat, Sam punya wajah bengis, tidak seperti Ham yang gampang cemas dan kebingungan. "Beri aku pemukul," perintah pria pertama. Ia melotot, seakan siap dengan skenario terburuk. Ham tidak punya pilihan lain. Ia menyalakan mesin mobilnya lagi, tapi  berakhir urung karena banyaknya orang di kanan kiri. Pria itu terkepung, seperti siput yang berlindung si cangkangnya. BUG. BUG. BUG. Ham menjerit, mencoba memanggil nomor darurat polisi, tapi tangannya terlalu licin. Ponselnya jatuh ke bawah kemudi. Terlambat. Dipukulan kelima, jendela mobil sudah pecah separuh. Kini dengan leluasa, Ham diseret keluar. Tanpa ampun, tubuh lemah pria itu dipukuli, hingga terkapar, hampir tidak sadarkan diri. "Hei, berhenti. Jangan sampai dia mati!" teriak Jord, pria yang sedari tadi diam, hanya mengawasi. Sebagai pemimpin geng, ia tentu saja khawatir kalau mereka terlibat masalah besar. Di jaman sekarang, pembunuhan tidak bisa disembunyikan. Ya, si kurang ajar Sam sejak awal harusnya tidak berurusan dengan mereka. "Dia masih bernapas. Sudah cukup, ayo kita pergi saja," kata Jord memberi isyarat agar para anak buahnya masuk ke mobil masing-masing. Di area sana tidak ada cctv karena dekat dekat pabrik terbengkalai. "Tolong, kumohon tolong aku. Kalian salah orang," ucap Ham di sela napasnya yang tersengal. Dadanya serasa penuh, mungkin karena ada luka dalam. Kalau ia sampai hilang kesadaran, tidak ada harapan untuk selamat. Ham berusaha merangkak, meraih pintu mobil dengan tangan penuh darah. Ah, apa ini yang dinamakan dari akhir kehidupan? Batin Ham merasakan penglihatannya kabur. Ia tidak berhasil menemukan ponselnya. Padahal jelas-jelas dering panggilan terdengar dari dalam mobil. "Aku akan mengemudi ke jalan yang lebih ramai," gumam Ham menyalakan mesin mobil. Jemarinya gemetar, menahan sakit sekujur tangan, pasti ada tulang yang patah. Di belokan pertama, pandangan Ham tiba-tiba saja kabur total. Ia jatuh pingsan tepat ketika akan menghindari tiang listrik. Mobil itu tak ayal berhenti, menabrak pagar rumah orang. Sialnya, Ham lupa memakai sabuk pengaman. Saat beberapa orang mendekat, kepala pria itu terlihat luka parah. ___ Sam mendengar dering ponsel Allen berkali-kali. Tapi, panggilan menganggu itu tidak kunjung diangkat. Wanita itu lebih memilih mendebat Sam daripada mendengar sang penelepon. Allen muak, benar-benar muak saat mendengar alasan Sam menghubungi Ham. Uang? Bahkan orang gila sekalipun akan menanyakan kabar lebih dulu. Tapi bagi Sam, basa basi payah itu tidak berarti apapun. Jelas siapa yang sedang kesulitan. Kabar? Ham seribu kali lebih bahagia dari hidupnya. Allen ingin mengatakan bagaimana perjuangan Ham menjalani kehidupan tidak normalnya, tapi apa itu berguna? Pasti hanya terdengar seperti alasan menyedihkan. "Angkat teleponmu. Jangan mengomeli orang yang tidak kau kenal. Ngasih juga enggak," dengkus Sam membuang ludah. Kebiasaan itu ia lakukan kalau sedang kesal. Menurutnya, tidak ada salahnya meminta bantuan sebagai seorang saudara. Toh, ia tidak memaksa. Kenapa menganggapnya sebagai gangguan? Padahal mereka tidak pernah bertemu dan saling kenal. "Apa benar ini ibu dari saudara Imanuel Hamsi?" tanya seorang dari seberang. Allen terkejut karena mendengar suara orang lain dari nomor Ham. Ia berdiri, meninggalkan Sam tanpa permisi. Waktunya serasa terbuang percuma karena menasihati makhluk tanpa etika. "Cih." Ham kembali meludah, memasang batang rokok pada mulutnya. "Ini siapa?" "Saya polisi lalu lintas mengabarkan kalau saudara Emanuel Hamsi mengalami kecelakaan." Pekikan kaget Allen, mengundang rasa penasaran Sam. Pria itu berdiri, mengikuti langkah Allen yang berlari tergesa menuju mobil. Taksi?  sepertinya tidak terlalu mahal kalau cara itu bisa mengantarkannya pada Ham.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD