Titik balik

701 Words
Semingguan ini, Ham berdebat dengan dirinya sendiri. Allen benar-benar tidak setuju dengan niatannya menemui Sam. Alasannya jelas, Sam pernah dipenjara karena membuat cacat orang lain. Sudah pasti perilakunya kasar dan jahat. Allen takut Sam akan membuat masalah. Terlebih sebentar lagi Ham akan menikah. Pesta kecil dengan beberapa kenalan juga tetangga sudah lebih dari cukup. Tidak pernah ada teman. Mereka jelas menutup diri, menghabiskan waktu dengan pendidikan online yang  minim interaksi. Beberapa mantan pelanggan butik juga pengguna jasa fotografi adalah nama terakhir di daftar undangan. ... "Siapa?" tanya Aira sesaat lalu setelah mendengar dering ponsel Ham. Tak biasanya pria itu lebih fokus ke benda elektronik. "Bukan apa-apa kok," sahutnya buru-buru memasukkannya ke dalam laci. Beberapa hari terakhir, bunyi ponsel terdengar lebih sering. Kadang panggilan, tapi lebih sering pesan. Aira penasaran, tapi enggan menanyakan. "Tuxedo yang kemarin lebih bagus dari hari ini," kata Aira menggeser halaman website penyewaan setelan pengantin. Ham hanya bergumam, tidak antusias sama sekali. Kemarin saat mereka menghabiskan waktu untuk memilih perhiasan juga sama. Pikirannya seakan tersita untuk hal lain. Tapi apa? Sekeras apapun Aira berpikir, Ham hanya punya dirinya dan Allen. "Ham?" panggil Aira mendapati pria itu tengah melamun, mencoba mengambil kembali ponselnya dari dalam laci meja. Tepat saat itu juga, ponsel kembali berdering, panggilan dari nomor tidak dikenal. Ham langsung menyingkir, berjalan menjauhi Aira yang menatap bingung pada tingkahnya. "Sam? Ini Sam?" Ham nyaris berbisik, memastikan suaranya tidak keluar dari dalam kamar mandi. Dalam tiga hari terakhir, ada tiga sampai empat nomor asing yang mengiriminya pesan berantai. Isinya tentang penagihan hutang kartu kredit. Tentu saja, atas nama Sam. Entah bagaimana teror tagihan itu malah menyasar nomornya. "Tut." Sambungan telepon diputus. Benar-benar tidak jelas. Itu memang nomor bisnis yang terpasang di laman website, tapi tetap saja panggilan gelap membuatnya tidak nyaman. Tok. Tok. Tok. Aira mengetuk pintu kamar mandi tak sabar. Sabarnya sudah habis karena menghadapi Ham yang tiba-tiba berubah aneh. "Tunggu, a-aku sakit perut," sahut Ham pura-pura merintih kesakitan. Padahal ia sendiri juga bingung harus berbohong sampai kapan. Kalau saja Allen memberi toleransi sedikit saja, Sam tidak akan mengganggunya. Di balik pintu itu, Aira menghembuskan napas panjang. Kecurigaannya tidak berarti apa-apa. Ia harus percaya pada Ham. Satu pikiran tidak sehat akan berpengaruh buruk pada batinnya. ... Sam membuat kartu kredit agar Ham mau menemuinya. Belakangan ini, keuangannya juga memburuk karena masih terlibat dengan hutang masa lalu. Saat masih hidup di panti asuhan, ada beberapa tahun sulit yang memaksa pemilik panti mengambil pinjaman. Tapi karena tidak kunjung dibayar, bunganya semakin hari semakin besar. Pada saat itu, Sam yang bingung nekad mencopet di pasar dan pusat perbelanjaan. Tapi ia malah ditangkap dengan tuduhan kekerasan. Polisi yang gila jabatan memaksanya mengakui kejahatan orang lain. Dari ketidak adilan itu Sam belajar banyak hal. Salah satunya adalah ia harus bertahan hidup meski di jalan yang salah. Sore itu, di depan sebuah mini market, ia duduk, menanti kedatangan Ham yang ia kirimi pesan tadi malam. Apa gerangan yang akan ia katakan nanti? Lelucon, kah? Rasanya aneh melihat dirinya dengan gaya juga pakaian orang kaya. Sam nyaris terbahak membayangkan bagaimana ia pernah menyayangi adiknya lebih dari apapun. Tapi, apa balasannya? Setelah sukses, jangankan mencari, bertemu saja, Ham tak sudi. Di restoran pasta misalnya, Sam bukannya tidak tahu, tapi ia sengaja mengambil arah yang berbeda. Sam masih punya nurani dan takut adiknya akan malu karena sedang bersama wanita. Tapi sekali lagi, Sam merasa itu hanyalah kebodohan. Kini ia bertekad akan menemuinya dan meminta sejumlah uang sebagai ganti. Pikir saja, dulu karena sebuah sentimentil persaudaraan, Sam rela menyodorkan dirinya untuk dibawa ke panti. Andai saja Sam yang tetap tinggal, apakah semua akan berubah? "Wah, kamu benar-benar mirip Ham." Seorang wanita berjaket panjang menegurnya. Sam mendongak, memikirkan sebuah nama yang pernah ia dengar pasca ia keluar dari penjara. Itu Allen, ibu adopsi Ham. Perawakannya memang terlihat mungil, tapi Sam tahu, wanita itu bisa bela diri. Tidak mengejutkan, Ham yang ia kenal selalu mengandalkan orang lain. Tidak mandiri dan manja. Bahkan sudah dewasapun, sepertinya tidak berubah. "Jadi? Apa dia masih suka bersembunyi di ketiak seorang ibu adopsi?" celetuk Sam membuang puntung rokoknya tepat di bawah kaki Allen, nyaris mengenai. Dasar sampah, batin Allen menahan amarahnya kuat-kuat. Bagaimana bisa Ham yang lembut justru bertolak belakang dengan perangai busuk saudara kembarnya?  Matipun, Allen berjanji tidak akan membuat keduanya saling bertatap muka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD