Komitmen tanpa luka

710 Words
Cinderella hanya punya sepasang sepatu kaca. Ia menderita selama bertahun-tahun, tapi bahagia di waktu berikutnya. Aira, tidak pernah menyukai dongeng. Semanis apapun akhir sebuah kisah, penderitaan yang pernah dirasakan, pasti akan terus membekas. Seperti seorang pangeran dalam kisah Cinderella, Ham selalu berhasil menempatkan dirinya untuk menemukan perasaan Aira.  Ia bisa membaca hati gadis itu hanya dalam sekali lihat. Mereka akhirnya merencanakan sebuah pernikahan kecil bulan depan. Tugas yang diberikan dokter Anis, membuat keduanya sadar kalau sebuah ikatan tidaklah mengerikan. Mereka bisa berkomitmen tanpa luka. Meski itu bukan pernikahan yang baik-baik saja. __ Di seberang meja kerjanya, Ham mengumpulkan banyak foto hasil jepretannya minggu lalu. Beberapa kepunyaan klien, sisanya milik Aira. Pria tinggi itu tak habis-habisnya menatap gadis yang akan segera ia nikahi. Apa niatannya sudah benar?  Bagaimana kalau tidak? Wajah bahagia Aira serasa asing dan membuatnya tidak nyaman. Ham bahkan bingung harus menanggapi bagaimana. Di saat bingung itu, sebuah foto menarik perhatian Ham. Pria itu nyaris tidak percaya ketika menemukan sosok familiar di foto terakhir Aira. Seseorang tertangkap tengah menatap Aira dari kejauhan. Lebih tepatnya menatap lurus pada bidikan kamera. Sam? Batin Ham. Saking terkejutnya,  ia menjatuhkan sebotol tinta hitam yang tergeletak di dekat printer. Cairan pekat itu menetesi lantai, membuat noda di sepatu juga meja. Jadi, apa Sam sebenarnya lebih dulu menemukan Ham? Lalu menguntit? Bulu kuduk Ham meremang, takut kalau Sam tiba-tiba menerornya. Bukan tanpa alasan, tapi kenangan terakhir mereka sungguh buruk. Ditambah kehidupan saudara kembarnya itu terlihat miskin, berbeda jauh darinya. "Kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Allen muncul dari balik pintu.  Ia membawa sebotol air jeruk untuk ditempatkan di lemari pendingin, tapi tidak jadi. "Tidak, bukan apa-apa," sahut Ham buru-buru menyembunyikan foto itu ke balik saku jeans. Allen tidak boleh tahu. Wanita itu sangat sensitif dan selalu membesar-besarkan masalah paling kecil. "Kemarikan. Jangan menyembunyikan sesuatu dariku." Allen menunjuk ke arah saku. Apa boleh buat, Ham tidak suka berdebat. Ia mengalah, mengeluarkan foto itu ke atas meja. Perlu lima menit untuk Allen. Hingga perempuan paruh baya itu sadar kalau foto itu bermasalah. "Sudah, itu pasti cuma kebetulan," kilah Ham berusaha merebut foto itu, tapi Allen lebih gesit dan menyembunyikannya di saku kemejanya. "Jangan anggap remeh hal-hal yang menganggu. Selagi masih kecil, kita harus mengurusnya. Sam pasti salah paham padamu dalam banyak hal. Aku akan meluruskannya untukmu," kata Allen menolak menerima alasan lagi. Ia memilih pergi, berbalik ke arah dapur. "Ibu, jangan lakukan hal konyol, oke?" seru Ham menghela napas panjang. Terakhir, Allen berdebat dengan banyak orang yang menawarinya untuk menjadi model. Ya, pertengkaran sengit dan hampir berakhir ke meja hijau. "Ai? Kok bangun?" tegur Ham terkejut. Sosok ngantuk dengan wajah lesu itu menghampirinya, meminta ditemani hingga terlelap lagi. Tanpa pikir panjang, Ham menggendong Aira menuju kamarnya. Mungkin butuh satu jam hingga Aira kembali tidur nyenyak. Jika hal sepele itu saja Aira sampai bergantung, bagaimana dengan hal lain? Kalau dipikir ulang, bukankah itu berbahaya?  Benar kata dokter Anis, mereka harus berusaha mandiri agar saat perpisahan itu terjadi, salah satu tidak depresi. ___ Seminggu kemudian, pasar pagi. Sebuah keranjang berisi ikan segar diangkat ke sebuah kotak, disusun hingga kemudian ditaruh pada bahu seorang lelaki pekerja kasar. Lantai becek pasar itu, beraroma amis, nyaris busuk. Orang yang tidak biasa dengan baunya, pasti muntah dan pusing. Penjual di setiap counter ikan dihampiri lelaki itu satu-satu. Lele, patin, kembung, hingga nila ditaruhnya setelah menerima pembayaran di muka. "Sam, kurang satu ekor, nih," protes seorang ibu yang baru saja selesai melakukan pembayaran. Lelaki itu--Sam, tidak percaya begitu saja. Ia berjongkok dan menemukan satu ekor lagi di bawah meja si ibu. "Ini, jatuh." Sam meringis, setengah mengejek. Bukan satu dua kali. Hampir setiap hari ia selalu menemukan penjual yang mencoba mengecohnya. Untung tidak seberapa, masih berpotensi kena tipu. "A-aku benar-benar tidak tahu," kilah si ibu meringis malu. Ah, andai Sam masih seperti dulu, ia sudah tentu berteriak, mengumpati ibu itu dengan nama seluruh binatang. Tapi sekarang buat apa? Selepas mendekam lima tahun di penjara, ia kapok. Sel kecil, toilet kotor juga bau keringat busuk dari penjahat lain, membuatnya pikir-pikir untuk melakukan kejahatan lagi. "Ah, b*****h itu," gumam Ham duduk setelah melakukan pengantaran terakhir. Ia menghembuskan nikotin sambil memikirkan nasib Ham yang jauh berbeda dengannya. Kalau Ham masih pengecut seperti dulu, mungkin ia tidak keberatan untuk memberinya sedikit uang dari kekayaannya. Ia bahkan punya gadis cantik di saat keadaanku macam pengemis, batin Sam meludah, lalu akhirnya mengumpat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD