Masa lalu Ham

736 Words
Ham punya lebih banyak kenangan buruk dibandingkan Aira. Pelecehan seksual yang dialaminya tidak hanya sekali, tapi berkali-kali.  Profesi busuk sang ibu membuatnya tumbuh di lingkungan prostitusi.   Saat hutang tidak bisa dibayar, Ham kecil akan disuruh-suruh. Entah itu mengantar minuman atau mencuci pakaian. Ibu Ham sempat menikah, tapi sang suami keburu mati. Saat Ham dan Sam lahir, karena alasan ekonomi, keduanya dibesarkan di tempat berbeda. Sam dititipkan di panti asuhan sedang Ham ikut sang ibu, hidup terpuruk. Ia bertemu Allen saat pergi dari rumah. Nasibnya mirip Aira, hanya saja pelaku pelecehan Ham tidak pernah tertangkap. Kejahatan seksual memang berbeda dengan kasus lain. Saat bukti dan korban tidak bicara, hukum tidak akan pernah berjalan. Di balik itu semua, Ham yakin keadilan tidak sepenuhnya ada di dunia.  Saat mereka bertemu Tuhan, penjahat akan diberi balasan lebih pedih. ... "Ham?" tegur Allen saat melihat Ham duduk, menatapi sesuatu dalam genggaman tangannya. Itu foto Sam, diambil saat mereka masih berumur 7 tahun. Setahun sebelum mereka berpisah. Tak ada kenangan yang tersisa. Waktu yang pernah dihabiskan bersama terlalu sedikit, terkikis waktu. "Ah, kenapa tiba-tiba ingat Sam?" tanya Allen duduk, meletakkan secangkir teh hangat ke atas meja ruang tamu. Aira sudah tidur dua jam lalu, kelelahan di ruang film. "Aku melihatnya di restoran pasta tadi siang," jawab Ham ragu. Ia buru-buru mengembalikan foto usang itu ke dalam selipan buku. Allen yakin, tidak mudah bagi Ham untuk membahas saudara kembarnya. Saat mengadopsi Ham, sang ibu hanya mengucapkan terima kasih. Tidak sedih atau keberatan sama sekali. Kalau bukan karena pengacaranya yang bicara, Allen tidak akan tahu kalau Ham punya saudara kembar. "Kenapa sedih?" Ham tak segera menyahut, mungkin sedang menyiapkan kata-kata yang paling pas. Tapi berakhir tidak bisa. Ia hanya diam, menghela napasnya dalam-dalam. "Jangan dipikir terlalu serius. Kamu tipe orang yang gampang stres. Lihatlah Aira, saat kamu ada masalah, dia ikut kebingungan." Allen mencoba mengalihkan topik pembicaraan mereka. "Hari ini berjalan lancar?" tanyanya melihat hasil foto lewat lensa kamera.  Dari sekian puluh foto, beberapa terlihat bagus, sedang sisanya kurang fokus. Ham masih diam, larut dalam pikirannya sendiri. Apa lebih baik ia menemui Sam? Tapi buat apa?  mereka tidak punya alasan untuk saling sapa. --- Dalam tidur, Ham sempat mengingau tentang kenangannya bersama Sam. Bagaimana kakak lelakinya itu memilih lapar dan memberinya sisa roti. Ham punya penyakit maag, biasa sakit kalau terlambat makan. Sam berwatak sedikit kasar, tapi hatinya baik. Ia suka berteriak seperti sang ibu, melawan dan paling anti disuruh-suruh. Alasan itu membuat Yus, sang ibu memberi hak asuhnya pada ketua panti. Ham ingat, Sam tidak kecewa sedikitpun. Namun, di hari perpisahanan mereka, Ham mendengar Sam menangis dan bersumpah tidak akan mau bertemu mereka lagi. Ia pasti sakit hati, merasa dibuang. Dalam sebulan, tidak terhitung Ham memimpikan sang kakak. Ia meringkuk, mengabaikan kekhawatiran Aira. Gadis itu tidak boleh tahu kalau hidupnya penuh kekhawatiran. . "Hari ini kita ke mana?" tanya Ham memutar kemudinya ke arah kota. Di sekitar pasar baru, ada toko aksesoris.  Semalam, Aira tertarik untuk melihat souvenir pengantin. Hanya untuk referensi dan memotretnya saja. "Sejak kemarin, kamu aneh. Nggak sakit, kan?" tanya Aira khawatir. Ia enggan bertanya, tapi tidak bisa abai begitu saja. Ham buru-buru menggeleng, menunjukkan wajah biasa. "Cuma ngantuk kok." _ Dari sekian toko, Aira tidak menemukan apa yang menarik perhatiannya. Ham dengan sabar menunjuk setiap benda, tapi Aira sudah terlalu bosan. Mereka kemudian memutuskan untuk istirahat, di kafe mall. "Cincin? Kemarin kamu ingin cincin, kan?" tanya Ham berusaha mengubah  wajah murung Aira. Kalau menyangkut perasaan, Aira susah dibohongi. Setiap Ham berusaha menyembunyikan sesuatu, ia yang pertama kali tahu. "Aku tiba-tiba malas. Kita pulang saja, ya?" Es Boba itu, seketika serasa hambar di mulut Ham. Ia bingung harus membujuk Aira seperti apa. Kadang, gadis itu hanya perlu diam sendiri lalu membaik di hari berikutnya. Tapi, ia lebih sering tidak sabar, memilih membujuknya seharian. "Ai, menurutmu bagaimana kalau kita menikah. Maksudku, menikah sungguhan," kata Ham, meraih lembut jemari gadis yang kemudian, menatapnya kebingungan. Butuh beberapa menit untuk menebak isi hati masing-masing. Ham menutup matanya rapat-rapat, tidak sadar dengan apa yang ia katakan. Menikah? Kenapa mulutnya jahat sekali? Mereka bahkan bukan pasangan normal. Aira terlalu syok untuk menanggapi lamaran penuh omong kosong itu. Tapi, ia tidak benci. Membayangkan bagaimana Ham dengan setelan tuxedonya, wajahnya mendadak bahagia. "Aku mau. Maksudku, kalau kamu memaksa, aku tidak punya pilihan lain," gumam Aira membuat alasan tidak masuk akal. Ia menyedot habis isi gelasnya, canggung. Ham tidak yakin apa ia harus senang atau menganggap telinganya tuli saja. Tapi, rona pipi gadis itu, membuat dadanya yang semula kosong, serasa hidup. Berdetak seperti bom.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD